Keseimbangan Hubungan Orang Tua dan Anak
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial
Saat menyaksikan video stand-up komedi di dunia maya, saya tersentak
mendengarkan aspirasi yang disampaikan dalam bahasa komedi oleh seorang
komedian , betapa sesungguhnya orang tua telah banyak merampas dan semena-mena
kepada anak-anak, bertindak atas nama status ,membenarkan sepihak atas apa yang
mereka lakukan kepada anak-anak mereka, mengontrol sedemikian rupa satu persatu
aktivitas anak-anak, jika anak-anak lagi berkumpul dengan teman seusia, orang
tua dengan kekuasaannya selalu ingin tahu apa yang dibicarakan anak-anak ,penuh
curiga dan tidak bisa memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka.
Memang aspirasi itu disampaikan dengan bahasa lucu dan dalam acara komedian,
akan tetapi sesungguhnya apa yang diutarakan oleh Pati Undru sarat dengan
pesan-pesan moril kepada orang tua bagaimana sebaiknya kita menjaga hubungan
yang baik dan menempatkan anak-anak pada posisi yang tepat.
Benar apa yang disampaikan Pati Undru,jika orang tua yang sedang berkumpul dan
anak-anak mendekat meski sesungguhnya tidak dalam rangka mendengarkan apa yang
dibicarakan orang tua dan hanya ingin duduk di pangkuan atau mendekat duduk
dekat orang tua, . Jika anak-anak menolak untuk pergi, serta merta orang tua
marah dan menyimpulkan anaknya kurang ajar.
Tentu tidak semua orang tua berperilaku demikian. Ada juga orang tua yang mampu
menempatkan anaknya pada posisi yang tepat ,berinteraksi dengan baik,menghormati
posisi dan kedudukan masing-masing,sehingga hubungan harmonis dan memberi
kenyamanan pada suasana bathin dapat dirasakan oleh anak.
Kasih sayang dan simpati orang tua bersifat
khas. Bahkan, jika seorang anak berpaling dari orang tua dan menghinanya,
mereka dengan sabar terus berdoa agar Allah Swt mengampuni dan membimbingnya,
serta berharap mudah-mudahan sang anak menyadari kesalahannya. Ini mencerminkan
hubungan luar biasa yang tidak dimiliki oleh mahluk lain dan hanya terdapat
dalam lingkungan keluarga
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengalami berbagai konfrontasi yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif. Dalam sebuah keluarga, khususnya keluarga yang memiliki latar belakang agama yang baik, sekalipun orang tua menjadi sasaran kemarahan dan kejahilan perilaku anaknya, mereka tidak akan membuang sikap kasih sayang terhadapnya, tetapi justru dengan lemah lembut membimbing dan berdoa untuk menggapai keberhasilan dalam kehidupannya.
Pada hakekatnya hubungan orang tua dengan anak adalah hubungan dunia dan akhirat, yakni hubungan yang terus berjalan semasa hidup sampai wafatnya. Namun, hubungan tersebut akan terputus manakala akidah mereka berbeda. Hal ini dapat kita petik dari kisah keluarga Nabi Nuh As. ketika ia berusaha menolong anaknya yang hampir tenggelam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat Hûd ayat 45:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.
Lalu, Allah Swt. menjawab dengan firman-Nya:
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) sesungguhnya itu perbuatan yang tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak kamu ketahui (hakekatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (QS. Hûd: 46)
Perbedaan keyakinan tersebut dapat memutuskan hubungan anak dan orang tua di akhirat, namun tidak di dunia. Karena, bagaimanapun buruknya orang tua tetap harus dihormati dan seburuk-buruk anaknya dia adalah darah dagingnya sendiri, maka dalam kehidupan di dunia hubungan kekeluargaan dan silahturahmi tidak terputus.
Kegagalan Nabi Nuh As. dalam melindungi dan mendidik keluarganya dikarenakan istrinya yang berbeda keyakinan (kafir). Dengan demikian, seorang ibu memiliki peran yang sangat vital bagi pertumbuhan pribadi anak. Hikmah yang tersirat adalah mendidik anak tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah saja, akan tetapi harus didukung penuh oleh sang isteri (ibu). Maka dari itu, keluarga yang baik akan tercipta apabila keduanya (suami-isteri) memiliki keyakinan yang sama.
Dalam hadits diriwayatkan bahwa jika seseorang telah wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang saleh (HR. Bukhari dan Muslim). Keterangan hadits tadi menjelaskan bahwa amal yang tidak terputus dari dunia sampai akhirat salah satunya adalah do’a anak yang saleh untuk kedua orang tuanya.
Dalil mengenai kewajiban seorang mukmin untuk melindungi keluarganya dari api neraka adalah QS. At-Tahrîm ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengalami berbagai konfrontasi yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif. Dalam sebuah keluarga, khususnya keluarga yang memiliki latar belakang agama yang baik, sekalipun orang tua menjadi sasaran kemarahan dan kejahilan perilaku anaknya, mereka tidak akan membuang sikap kasih sayang terhadapnya, tetapi justru dengan lemah lembut membimbing dan berdoa untuk menggapai keberhasilan dalam kehidupannya.
Pada hakekatnya hubungan orang tua dengan anak adalah hubungan dunia dan akhirat, yakni hubungan yang terus berjalan semasa hidup sampai wafatnya. Namun, hubungan tersebut akan terputus manakala akidah mereka berbeda. Hal ini dapat kita petik dari kisah keluarga Nabi Nuh As. ketika ia berusaha menolong anaknya yang hampir tenggelam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat Hûd ayat 45:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.
Lalu, Allah Swt. menjawab dengan firman-Nya:
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) sesungguhnya itu perbuatan yang tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak kamu ketahui (hakekatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (QS. Hûd: 46)
Perbedaan keyakinan tersebut dapat memutuskan hubungan anak dan orang tua di akhirat, namun tidak di dunia. Karena, bagaimanapun buruknya orang tua tetap harus dihormati dan seburuk-buruk anaknya dia adalah darah dagingnya sendiri, maka dalam kehidupan di dunia hubungan kekeluargaan dan silahturahmi tidak terputus.
Kegagalan Nabi Nuh As. dalam melindungi dan mendidik keluarganya dikarenakan istrinya yang berbeda keyakinan (kafir). Dengan demikian, seorang ibu memiliki peran yang sangat vital bagi pertumbuhan pribadi anak. Hikmah yang tersirat adalah mendidik anak tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah saja, akan tetapi harus didukung penuh oleh sang isteri (ibu). Maka dari itu, keluarga yang baik akan tercipta apabila keduanya (suami-isteri) memiliki keyakinan yang sama.
Dalam hadits diriwayatkan bahwa jika seseorang telah wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang saleh (HR. Bukhari dan Muslim). Keterangan hadits tadi menjelaskan bahwa amal yang tidak terputus dari dunia sampai akhirat salah satunya adalah do’a anak yang saleh untuk kedua orang tuanya.
Dalil mengenai kewajiban seorang mukmin untuk melindungi keluarganya dari api neraka adalah QS. At-Tahrîm ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.
Hubungan anak dengan orangtuanya
bersifat kekal. Tidak ada yang namanya mantan anak,
tidak ada pula mantan ayah atau mantan ibu. Anak adalah
amanah dari Allah Swt untuk orangtuanya.
Amanah itu ialah para orangtua diberi
kepercayaan untuk melahirkan, membesarkan, membimbing, dan mengantarkan anak untuk
menjadi insan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah Allah Swt.
Saat anak dilahirkan,
sungguh mendatangkan suasana bahagia yang tiada tara di dalam rumahtangga.
Siapapun akan merasa gembira atas kehadiran seorang bayi di
tengah-tengah keluarganya.
Kelahiran anak menjadi
bukti bahwa ayah dan ibu adalah manusia yang normal. Kelahiran anak yang
menjadikan suasana bahagia merupakan permulaan tanggung jawab orangtua. Bayi lahir
disambut dengan tugas awal di antaranya dengan memberikan nama yang baik dan
menyembelih hewan sebagai aqiqah.
Dalam pertumbuhan anak, orangtua punya
tanggung jawab untuk mewarnai bentuk kepribadiannya.
Berbahagialah orangtua yang
mampu mengantarkan anaknya
ke dalam lingkungan yang baik. Sebaliknya, jika anak itu
menjadi anak yang
durhaka kepada Allah Swt di kemudian hari, maka orangtua harus
mempertanggung-jawabkan sesuai dengan kemampuan serta kesalahan mereka dalam
mendidik si anak.
Hadits
menyebutkan, “Setiap bayi lahir
dalam keadaan suci. Maka kedua orangtuanyalah
yang membentuknya menjadi yahudi, nasrani, majusi,’ (HR.
Bukhori)
Selain dipahami sebagai tanggung jawab
dari orangtua atas
“warna” anak setelah
dewasa kelak, hadits tersebut juga menandakan bahwa lingkungan mempunyai
kontribusi yang sangat besar dan pembentukkankepribadian anak.
Kepastian bahwa seorang anak harus
berbakti kepada kedua orangtuanya,
disebutkan secara gamblang dan jelas dalam al-Quran di antaranya pada surat
al-Israa ayat 23, an-Nisaa ayat 36, dan al-An’aam ayat 151. dalam surat
al-Israa berbunyi, “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak
menyembah selain DIA, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu
dengan sebaik-baiknya...”.
Andaikan hubungan antara orangtua dan anak tidak
penting, niscaya Allah swt tidak akan mencantumkannya dalam al-Quran. Islam memerintahkan anak untuk
berbakti kepada kedua orangtuanya.
Banyak anak yang
memiliki nasib tidak beruntung karena tidak memiliki orangtua atau
karena orangtuanya
tidak mengerti serta menjalankan ajaran ini. Sebaliknya, tidak sedikit orangtua yang
terlantar di hari tuanya, karena tidak terurus atau dibiarkan oleh anak-anaknya.
Firman Allah Swt, “Jika salah seorang
di antara kedua atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan perkataan
‘ah’. Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan rasa
sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana
mereka berdua mendidik (menyayangi) aku sewaktu kecil,” (Q.S.
al-Israa: 23)
Dalam memberikan kasih
sayang dan perlindungan kepada anak, orangtua mestilah melakukannya dalam porsi
yang tepat dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan Allah swt dan
diajarkan Rasulullah saw.
Memisahkan tempat tidur
anak dari orangtua adalah wajib hukumnya ,Rasulullah Saw .
bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu
shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau
shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun; dan pisahkanlan tempat tidur
mereka “ (HR. Abu dawud)
Pada umur tertentu
anak-anak telah mempunyai kesanggupan untuk menyadari perbedaan kelamin.
Hal ini umumnya dicapai oleh anak-anak yang telah berumur 10 tahun.
Perintah Rasulullah Saw.
untuk melakukan pemisahan tempat tidur ini secara praktis membangkitkan
kesadaran pada anak-anak tentang status perbedaan kelamin. Cara semacam ini
disamping memelihara nilai akhlaq sekaligus mendidik anak mengetahui batas
pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Islam menegaskan
bahwa hubungan anak dengan orangtuanya
adalah abadi. Tidak hanya sampai dengan si anak mulai
mandiri saja. Oleh karena itu kesempatan berbakti kepada orangtua sampai
mereka dipanggil oleh-Nya, dapat dimanfaatkan oleh si anak untuk
berbuat amal baik terhadap keduanya serta senantiasa berusaha untuk
membahagiakan mereka. Dan ingatlah selalu, “Sesungguhnya sebaik-baik di
antara kalian di mata Allah adalah yang terbaik terhadap keluarganya,” (al-Hadits).
Semoga kita semua senantiasa dapat memegang
serta memelihara amanah yang Allah Swt berikan kepada kita dan
semoga pula kita menjadi orang tua dan anak yang menempatkan rasa kasih dan sayang
pada porsi yang pas dan tepat dengan berpegang pada kaidah akhlak yang
diajarkan Rasulullah Saw.(FSY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar