Senin, 30 April 2018

Ujaran Kebencian


UJARAN  KEBENCIAN
Oleh : FebriSatriaYazid
*pemerhati sosial

Mengapa manusia tega secara terus menerus menyebarkan kebencian kepada sesama?. Apa yang sesungguhnya hilang pada manusia berperilaku begini ?. Benarkah yang bersangkutan tidak memahami bahwa sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang berbuat baik kepada sesama?. Lantas hal apa yang mengalahkan pemahaman itu ?. Benarkah karena ambisi yang menghalalkan segala cara ? atau karena sifat egois , yang tidak peduli pada derita sesama asal tujuannya bisa diwujudkan.?
          Sederet tanya tentang hal itu sering muncul   dalam pikiran saya, setiap melihat pola tingkah manusia dalam berkompetisi hampir di semua sektor dan aspek kehidupan. Jika disimpulkan karena kurangnya pemahaman tentang ajaran agama atau kurangnya etika dan etiket seseorang, tidak sepenuhnya benar, karena kondisi aktual di alam nyata, tidak sedikit manusia yang mempunyai intelektual tinggi, berpendidikan tinggi, punya etika dan beretiket tapi tetap saja terjebak dalam “pertarungan” tidak sehat, ambisi telah mengalahkan segalanya. Apa sebetulnya yang dikejar dan dicari manusia dalam kehidupannya?
          Padahal Sang Pencipta sudah jelas berfirman “ tidaklah Ku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada Ku “ dan manusia sendiri sudah berikrar yang diulang setiap hari saat menyembah Yang Kuasa bahwa sesungguhnya hidupku,matiku sepenuhnya bagi Allah Swt semata. Lantas dimana terjadinya bias antara tujuan penciptaan dan ikrar manusia itu ?,apa manusia termakan oleh pepatah Yahudi bahwa “ tidak ada teman abadi, tidak ada musuh abadi, yang abadi adalah kepentingan”, sehingga begitu bicara tentang kepentingan, maka seluruh koridor yang mengatur tata cara berkehidupan yang saling menghormati ditabrak begitu saja demi tercapainya tujuan. Komunikasi yang campur aduk akan menimbulkan percekcokan . Pesan yang disampaikan perlu disesuaikan dengan kaidah , baik tutur kata, bahasa tubuh agar tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir yang menyebabkan tujuan dari kita berinteraksi dengan baik kepada sesama tidak mencapai tujuan. Demikian pula jika ada hal-hal yang hendak dipertanyakan dalam memperjelas maksud yang hendak disampaikan oleh lawan bicara, hendaklah berpegang kepada kaidah dan pembatasan bahasan agar lawan bicara tidak tersinggung atau malah bersikap ekstrim . Mewujudkan kepentingan baik perorangan ataupun kelompok tanpa menyebar kebencian antar golongan tentu akan lebih elegan, adu argumentasi yang sehat ,kemudian menghormati pilihan masing-masing tanpa kekerasan tentu akan terasa lebih bernilai .
 (FSY)
         
                         

Minggu, 29 April 2018

Keseimbangan Hubungan

Keseimbangan Hubungan Orang Tua dan Anak
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial


          Saat menyaksikan video stand-up komedi di dunia maya, saya tersentak mendengarkan aspirasi yang disampaikan dalam bahasa komedi oleh seorang komedian , betapa sesungguhnya orang tua telah banyak merampas dan semena-mena kepada anak-anak, bertindak atas nama status ,membenarkan sepihak atas apa yang mereka lakukan kepada anak-anak mereka, mengontrol sedemikian rupa satu persatu aktivitas anak-anak, jika anak-anak lagi berkumpul dengan teman seusia, orang tua dengan kekuasaannya selalu ingin tahu apa yang dibicarakan anak-anak ,penuh curiga dan tidak bisa memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka.
          Memang aspirasi itu disampaikan dengan bahasa lucu dan dalam acara komedian, akan tetapi sesungguhnya apa yang diutarakan oleh Pati Undru sarat dengan pesan-pesan moril kepada orang tua bagaimana sebaiknya kita menjaga hubungan yang baik dan menempatkan anak-anak pada posisi yang tepat.
          Benar apa yang disampaikan Pati Undru,jika orang tua yang sedang berkumpul dan anak-anak mendekat meski sesungguhnya tidak dalam rangka mendengarkan apa yang dibicarakan orang tua dan hanya ingin duduk di pangkuan atau mendekat duduk dekat orang tua, . Jika anak-anak menolak untuk pergi, serta merta orang tua marah dan menyimpulkan anaknya kurang ajar.
          Tentu tidak semua orang tua berperilaku demikian. Ada juga orang tua yang mampu menempatkan anaknya pada posisi yang tepat ,berinteraksi dengan baik,menghormati posisi dan kedudukan masing-masing,sehingga hubungan harmonis dan memberi kenyamanan pada suasana bathin dapat dirasakan oleh anak.
Kasih sayang dan simpati orang tua bersifat khas. Bahkan, jika seorang anak berpaling dari orang tua dan menghinanya, mereka dengan sabar terus berdoa agar Allah Swt mengampuni dan membimbingnya, serta berharap mudah-mudahan sang anak menyadari kesalahannya. Ini mencerminkan hubungan luar biasa yang tidak dimiliki oleh mahluk lain dan hanya terdapat dalam lingkungan keluarga
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengalami berbagai konfrontasi yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif. Dalam sebuah keluarga, khususnya keluarga yang memiliki latar belakang agama yang baik, sekalipun orang tua menjadi sasaran kemarahan dan kejahilan perilaku anaknya, mereka tidak akan membuang sikap kasih sayang terhadapnya, tetapi justru dengan lemah lembut membimbing dan berdoa untuk menggapai keberhasilan dalam kehidupannya.
Pada hakekatnya hubungan orang tua dengan anak adalah hubungan dunia dan akhirat, yakni hubungan yang terus berjalan semasa hidup sampai wafatnya. Namun, hubungan tersebut akan terputus manakala akidah mereka berbeda. Hal ini dapat kita petik dari kisah keluarga Nabi Nuh As. ketika ia berusaha menolong anaknya yang hampir tenggelam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat Hûd ayat 45:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.
Lalu, Allah Swt. menjawab dengan firman-Nya:
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) sesungguhnya itu perbuatan yang tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak kamu ketahui (hakekatnya). Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu tidak termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”. (QS. Hûd: 46)
Perbedaan keyakinan tersebut dapat memutuskan hubungan anak dan orang tua di akhirat, namun tidak di dunia. Karena, bagaimanapun buruknya orang tua tetap harus dihormati dan seburuk-buruk anaknya dia adalah darah dagingnya sendiri, maka dalam kehidupan di dunia hubungan kekeluargaan dan silahturahmi tidak terputus.
Kegagalan Nabi Nuh As. dalam melindungi dan mendidik keluarganya dikarenakan istrinya yang berbeda keyakinan (kafir­). Dengan demikian, seorang ibu memiliki peran yang sangat vital bagi pertumbuhan pribadi anak. Hikmah yang tersirat adalah mendidik anak tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah saja, akan tetapi harus didukung penuh oleh sang isteri (ibu). Maka dari itu, keluarga yang baik akan tercipta apabila keduanya (suami-isteri) memiliki keyakinan yang sama.
Dalam hadits diriwayatkan bahwa jika seseorang telah wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang saleh (HR. Bukhari dan Muslim). Keterangan hadits tadi menjelaskan bahwa amal yang tidak terputus dari dunia sampai akhirat salah satunya adalah do’a anak yang saleh untuk kedua orang tuanya.
Dalil mengenai kewajiban seorang mukmin untuk melindungi keluarganya dari api neraka adalah QS. At-Tahrîm ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.


Hubungan anak dengan orangtuanya bersifat kekal. Tidak ada yang namanya mantan anak, tidak ada pula mantan ayah atau mantan ibu. Anak adalah amanah dari Allah Swt untuk orangtuanya. Amanah itu ialah para orangtua diberi kepercayaan untuk melahirkan, membesarkan, membimbing, dan mengantarkan anak untuk menjadi insan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah Allah Swt.
Saat anak dilahirkan, sungguh mendatangkan suasana bahagia yang tiada tara di dalam rumahtangga. Siapapun akan merasa gembira atas kehadiran seorang bayi di tengah-tengah keluarganya. Kelahiran anak menjadi bukti bahwa ayah dan ibu adalah manusia yang normal. Kelahiran anak yang menjadikan suasana bahagia merupakan permulaan tanggung jawab orangtuaBayi lahir disambut dengan tugas awal di antaranya dengan memberikan nama yang baik dan menyembelih hewan sebagai aqiqah.
Dalam pertumbuhan anakorangtua punya tanggung jawab untuk mewarnai bentuk kepribadiannya. Berbahagialah orangtua yang mampu mengantarkan anaknya ke dalam lingkungan yang baik. Sebaliknya, jika anak itu menjadi anak yang durhaka kepada Allah Swt di kemudian hari, maka orangtua harus mempertanggung-jawabkan sesuai dengan kemampuan serta kesalahan mereka dalam mendidik si anak.
Hadits menyebutkan, “Setiap bayi lahir dalam keadaan suci. Maka kedua orangtuanyalah yang membentuknya menjadi yahudi, nasrani, majusi,’ (HR. Bukhori)
Selain dipahami sebagai tanggung jawab dari orangtua atas “warna” anak setelah dewasa kelak, hadits tersebut juga menandakan bahwa lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar dan pembentukkankepribadian anak.
Kepastian bahwa seorang anak harus berbakti kepada kedua orangtuanya, disebutkan secara gamblang dan jelas dalam al-Quran di antaranya pada surat al-Israa ayat 23, an-Nisaa ayat 36, dan al-An’aam ayat 151. dalam surat al-Israa berbunyi, “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain DIA, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya...”.
Andaikan hubungan antara orangtua dan anak tidak penting, niscaya Allah swt tidak akan mencantumkannya dalam al-Quran. Islam memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya. Banyak anak yang memiliki nasib tidak beruntung karena tidak memiliki orangtua atau karena orangtuanya tidak mengerti serta menjalankan ajaran ini. Sebaliknya, tidak sedikit orangtua yang terlantar di hari tuanya, karena tidak terurus atau dibiarkan oleh anak-anaknya. 
Firman Allah Swt, “Jika salah seorang di antara kedua atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan perkataan ‘ah’. Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan rasa sayang dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua mendidik (menyayangi) aku sewaktu kecil,” (Q.S. al-Israa: 23)

Dalam memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anak, orangtua mestilah melakukannya dalam porsi yang tepat dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan Allah swt dan diajarkan Rasulullah saw.
Memisahkan tempat tidur anak dari orangtua adalah wajib hukumnya ,Rasulullah Saw . bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun; dan pisahkanlan tempat tidur mereka “ (HR. Abu dawud)
Pada umur tertentu anak-anak telah mempunyai kesanggupan untuk menyadari perbedaan kelamin. Hal ini umumnya dicapai oleh anak-anak yang telah berumur 10 tahun.
Perintah Rasulullah Saw. untuk melakukan pemisahan tempat tidur ini secara praktis membangkitkan kesadaran pada anak-anak tentang status perbedaan kelamin. Cara semacam ini disamping memelihara nilai akhlaq sekaligus mendidik anak mengetahui batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Islam menegaskan bahwa hubungan anak dengan orangtuanya adalah abadi. Tidak hanya sampai dengan si anak mulai mandiri saja. Oleh karena itu kesempatan berbakti kepada orangtua sampai mereka dipanggil oleh-Nya, dapat dimanfaatkan oleh si anak untuk berbuat amal baik terhadap keduanya serta senantiasa berusaha untuk membahagiakan mereka. Dan ingatlah selalu, “Sesungguhnya sebaik-baik di antara kalian di mata Allah adalah yang terbaik terhadap keluarganya,” (al-Hadits).
Semoga kita semua senantiasa dapat memegang serta memelihara amanah yang Allah Swt berikan kepada kita dan semoga pula kita menjadi orang tua dan anak  yang menempatkan rasa kasih dan sayang pada porsi yang pas dan tepat dengan berpegang pada kaidah akhlak yang diajarkan Rasulullah Saw.(FSY)




Sabtu, 28 April 2018

Kesenangan Etika


KESENANGAN ETIKA
oleh : Febri Satria Yazid *pemerhati sosial

Otak mendapatkan lebih banyak kesenangan etika,ketika membicarakan diri sendiri melebihi ketika seseorang mendapatkan makanan atau uang.( ahli syaraf Diana Tamir )
Hedonisme beranggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan sehingga kesenangan disetarakan dengan moralitas yang baik. Jika demikian,apakah ada jaminan bahwa kesenangan itu baik secara etis?
Etika berkaitan dengan bagaimana manusia harus bertindak dan untuk mendukung tindakan tersebut dilandasi filsafat moral, yang berisi norma-norma , seperti norma agama,norma hokum, norma sopan santun.
Dengan etika, kita dapat melatih diri tampil dengan keterampilan intelektual , dengan argumentasi kritis dan rasional, sehingga dengan demikian diharapkan kita mampu mengambil sikap wajar.
Lantas kenapa terjadi pengambilan sikap yang tidak wajar yang menyebabkan terjadinya pelanggaran etika?. Bisa jadi karena faktor kebutuhan pribadi, karena tidak ada pedoman yang jadi acuan dalam bersikap, bisa juga karena telah menjadi kebiasaan yang telah terakumulasi dan tidak membuka celah untuk dapat dikoreksi dan dikritisi,bahkan dalam kondisi ekstrim pelanggaran etika telah menjadi perilaku komunitas.
Mampukah norma(norma susila, norma kesopanan,norma agama,normahukum)yang merupakan kaedah bagi manusia dalam mengatur tingkah laku ,mengikat bagi manusia yang hidup dalam lingkungan ? ,karena norma merupakan unsur luar dari suatu ketentuan yang diharapakan bersinergi dengan “nilai” yang merupakan unsur kejiwaan. Sejauhmana norma mampu mempengaruhi diri seseorang dalam bersikap ,bekerjasama dengan nilai-nilai kejiwaan yang telah buil-in dalam diri manusia .
Sebagai pusat susunan saraf,otak mengatur dan mengkoordinir sebagian besar ,gerakan dan perilaku ,bertanggungjawab terhadap pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia.Kaitan erat antara otak dan pikiran sangat mempengaruhi perkembangan psikologis, pengenalan emosi, ingatan, pembelajaran motorik serta pembelajaran lainnya. Sejauhmana otak dapat memberikan kesenangan etika pada porsi yang tepat dan pas, tidak jadi bumerang bagi seseorang tentu sangat tergantung pada sejauhmana yang bersangkutan mampu memberikan inputan yang memenuhi norma,nilai ,moral yang di dapat dari lingkungan agar otak yang berkapasitas 1.350cc dan terdiri dari atas 100 juta sel saraf dapat mengatur perilaku manusia. (FSY)