Narsis
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial
Pagi ini selepas santap sahur, saya diskusi melalui whatsapp dengan teman kerja 23 tahun silam. Ada bagian-bagian yang membahas tentang kecerdasan , kedunguan, pengguna akal sehat untuk saling mematahkan argumentasi yang sudah menjurus pada perilaku narsis. Lalu saya menjawab dengan mengutip ucapan Hasan al-Bashri ; “Seandainya perkataan setiap orang itu jujur dan amalannya baik, ia bisa saja menjadi orang yang merugi.” Orang-orang berkata, “ Bagaimana bisa merugi?” Hasan al-Bashri seorang ulama dari kalangan tabi’in menjawab, “ Ia merugi ketika ia kagum dengan dirinya sendiri.” Dalam istilah psikologis hal ini dikenal dengan narsis. Percakapan di media sosial inilah yang jadi pemicu saya menulis tentang narsis.
Istilah narsis pada awalnya di populerkan oleh Psikolog asal Austria, yaitu Sigmund Freud. Freud mengambil tokoh mitologi Yunani yang bernama Narkissos, dewa sungai yang memiliki ketampanan luar biasa. Narkissos dikutuk oleh Nemesis untuk mencintai rupa dan bayangannya sendiri, sehingga Narkissos menghabiskan waktu yang sia-sia untuk melihat cermin dirinya di sungai. Saat ini, kata narsis kemudian disematkan pada sikap manusia yang terlampau mencintai atau mengagumi dirinya sendiri.
Narsis menurut para Psikolog sebenarnya adalah gejala yang bersifat manusiawi, wajar jika setiap orang ingin dipuji, wajar setiap orang ingin bahagia dengan kondisi dirinya tanpa harus mengikuti ocehan orang lain, namun yang berbahaya adalah jika sudah berlebihan. Orang yang terlampau narsis, ia berusaha menganggap dirinya sebagai sosok yang luar biasa, utama, dan melebihi yang lain dalam segala hal.
Sigmund Freud seorang psikolog menyebut Narcissistic dalam bukunya General Introduction to Psychoanalysis, merujuk kepada orang-orang yang merasa dirinya penting secara berlebihan dan ter okupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian dari lingkungannya. Secara umum, narsis adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan kecenderungan untuk memuja diri sendiri. Oleh karena itu, orang yang mengalami narsisisme ini biasanya memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi, menganggap diri sendiri paling pandaii, ,paling cerdas, paling cantik, paling ganteng, paling hebat, paling berkuasa, paling bagus, dan paling segalanya. Bahkan dalam hal menjalankan kehidupan beragama pun, seseorang merasa dirinya paling benar dan menilai orang lain sesat, menempatkan dirinya sebagai seorang yang lebih taat. Menurut Jalaluddin Rakhmat, orang yang terkena gejala narsis beragama di media sosial adalah mereka yang ingin dirinya terlihat lebih saleh, lebih religius, dan lebih agamis dari aslinya, sedangkan titik ekstremnya orang yang kelewat narsis atau “kelewat religius” merasa dirinya sebagai penganut agama yang benar dan paling selamat sehingga rasa empati terhadap orang lain berkurang .Tak jarang kita melihat orang-orang seperti itu paling semangat jika membahas agama dan paling pedas komentarnya bahkan menyakitkan hati lawan bicaranya yang dianggap sesat hanya karena berbeda keyakinan dengannya. Fenomena ini dimanfaatkan oleh politisi di negeri ini bermula ketika berlangsungnya pilkada Gubernur DKI pada tahun 2017. Terjadi dikotomi yang sangat kental dan nyaris keluar dari batas normal, Sifat dan perilaku narsis yang masih dalam batas normal sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan. Hal ini justru merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa cinta kepada dirinya sendiri dan menghargai dirinya sendiri dengan baik. Misalnya, dengan perilaku narsis yang wajar, seseorang bisa memiliki pikiran positif dan lebih bahagia dengan hidupnya, yang meski bila diukur berada di bawah parameter hidup layak, ini akan membantunya melewati masa-masa sulit. Perilaku narsis juga bisa menjadi sumber motivasi agar seseorang bisa menyelesaikan pekerjaan atau tantangan dengan baik tanpa merasakan frustrasi karena dia menempatkan dirinya sebagai seorang yang paling pintar dan mampu mengatasi kesulitan pekerjaan dan tantangan yang muncul.
Dalam interaksi sosial, menghadapi orang narsis, kita sebaiknya bersikap santai dan humor. Humor membuat suasana lebih cair dan lebih menyenangkan. Hindari respons negatif seperti menyindir karena orang narsis sangat peka terhadap dirinya. Meski begitu, sifat dan perilaku narsis ini sebaiknya jangan dipelihara karena bisa saja berkembang menjadi gangguan kepribadian narsistik . Ketika seseorang telah mengembangkan gangguan kepribadian tersebut, hal ini akan menyebabkan beragam masalah dalam hidupnya, baik itu masalah dalam hubungan sosial hingga pekerjaan. Seseorang dikatakan mengalami gangguan kepribadian narsistik jika merasa sulit untuk mengendalikan egonya, merasa paling penting dan cenderung merendahkan orang lain, atau memiliki tendensi untuk menjadi megalomania. Megalomania adalah sebuah keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia memiliki kebesaran, keagungan, atau kekuasaan. Keyakinan ini tidak hanya ditunjukkan dengan sikap sombong, tetapi juga bagian dari gangguan jiwa..
Kita perlu menjaga agar sesuatu itu berada pada takaran yang pas, tidak over agar tidak kehilangan makna, termasuk perilaku narsis. Sisi positif dari narsis seperti perasaan superior yang mereka miliki dapat membuat mereka memiliki mental yang lebih tangguh untuk tidak menyerah. Bahkan dalam dunia pendidikan dan dunia kerja, para narsis unggul karena mereka mempunyai harga diri yang tinggi, kepercayaan diri yang tinggi dan tertantang untuk melakukan hal-hal baru dalam kehidupannya. Menurut Dr. Kostas Papageorgiou dari Queen's University Belfast, pengidap gangguan narsis tidak akan terpengaruh dengan penolakan yang ia terima dari lingkungannya karena mereka hanya fokus pada dirinya sendiri (fsy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar