Rabu, 25 Juni 2025

Jejak Kata, Jembatan Waktu

 

Jejak Kata, Jembatan Waktu

Oleh ; Febri Satria Yazid

Literasi sebagai fondasi peradaban dan simfoni sebagai harmoni kehidupan dalam suatu orkestra tempat dimana setiap individu memainkan instrumen pengetahuan, pengalaman dan nilai. Literasi sebagai penyeimbang di tengah gempuran era digital dan derasnya arus informasi . Kita mesti memandang literasi bukan hanya sebagai sarana tapi sebagai simfoni kehidupan, yang mendamaikan yang retak, menyatukan yang terpisah, karena  manusia diciptakan Allah SWT untuk terhubung, dengan dirinya, sesama, dan lingkungannya. Literasi menyuarakan harapan di tengah keraguan. Setiap zaman punya tantangannya, dan dalam setiap tantangan terselip keraguan.  Literasi hadir bukan untuk memberi semua jawaban, tetapi untuk menyalakan harapan, mengajak kita berpikir kritis, menumbuhkan empati, dan menuliskan masa depan yang lebih baik. Literasi sebagai simfoni kehidupan adalah tentang keberanian menyatukan nada-nada yang berbeda menjadi harmoni. Ia bukan sekadar alat untuk belajar, tapi cara untuk menyembuhkan, menghubungkan, dan menghidupkan harapan. Karena dalam dunia yang sering gaduh oleh prasangka dan perpecahan, hanya lewat pemahaman, yang dilahirkan oleh literasi, kita bisa menyusun simfoni yang membawa damai bagi kehidupan.

Membangun jembatan antara Digital Native dan Generasi Tradisional menjadi sangat penting di tengah derasnya arus perubahan zaman, tantangan literasi tak lagi hanya soal akses atau minat baca, melainkan juga tentang kesenjangan generasi. Fenomena ini semakin terasa ketika generasi muda yang tumbuh dalam era digital (digital native) harus berbagi ruang dengan generasi tradisional yang dibesarkan dalam budaya analog. Keduanya membawa cara pandang, gaya belajar, bahkan nilai-nilai yang berbeda. Maka, menciptakan ruang literasi yang inklusif menjadi pekerjaan rumah bersama.

Generasi muda saat ini terbiasa mengakses informasi dengan cepat melalui internet, belajar lewat video interaktif, atau memahami konsep melalui infografik dan simulasi digital. Sebaliknya, generasi tua masih memegang kepercayaan kuat pada buku fisik, belajar dari mendengarkan secara langsung, atau berdiskusi dalam forum tatap muka. Kondisi ini menghadirkan tantangan dalam menciptakan ruang belajar yang mampu menampung keduanya. Bagaimana merancang program literasi yang tetap relevan bagi kaum muda, namun tidak mengasingkan yang lebih tua? Apakah mungkin menyandingkan teknologi digital dengan pendekatan personal secara harmonis?

Di ranah komunikasi, jurang generasi juga tampak jelas. Generasi muda gemar menggunakan bahasa singkat, slang, emoji, atau istilah populer dari budaya internet. Bagi generasi tua, semua ini bisa membingungkan, bahkan membuat mereka merasa tidak dianggap. Mereka cenderung memakai bahasa yang lebih formal, kaya nilai budaya, dan sarat kesantunan. Kesenjangan bahasa ini tak jarang menimbulkan salah paham atau rasa tidak nyambung dalam kegiatan bersama, termasuk saat menyampaikan pesan literasi atau bekerja dalam proyek kolaboratif. Generasi muda memandang literasi sebagai keterampilan multifaset, bukan hanya baca tulis, tapi juga mencakup literasi digital, visual, finansial, hingga media sosial. Sementara itu, generasi tua sering kali masih mengidentikkan literasi dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Perbedaan ini menciptakan ketimpangan pemahaman dan ekspektasi. Generasi tua bisa merasa “ketinggalan zaman” atau dianggap tidak relevan. Sebaliknya, generasi muda bisa menganggap pendekatan lama sebagai kuno dan tidak menarik. Ini dapat menghambat upaya membangun ruang literasi yang saling menghargai.

Realita lain yang tak bisa diabaikan adalah keterbatasan akses dan keterampilan teknologi di kalangan lansia. Banyak dari mereka belum terbiasa, bahkan takut menggunakan gawai seperti smartphone, laptop, atau platform e-book. Padahal, literasi masa kini banyak bergantung pada platform digital, dari perpustakaan daring hingga kelas virtual. Ketika teknologi menjadi pintu utama literasi, maka kelompok yang tidak memiliki kunci akan tertinggal. Inilah pentingnya pendampingan intergenerasi yang saling menguatkan, bukan saling menghakimi.

Generasi muda membawa semangat ekspresi bebas, efisiensi, dan inovasi. Sementara generasi tua masih menjunjung tinggi nilai kesantunan, kedisiplinan, serta norma sosial yang bersifat hierarkis. Dalam ruang literasi, perbedaan ini sering terlihat dalam cara menyampaikan ide, menulis cerita, atau berdiskusi. Tanpa kesadaran akan perbedaan nilai ini, interaksi bisa berujung pada konflik atau ketegangan. Maka diperlukan pendekatan yang empatik, di mana kedua pihak bersedia membuka diri dan memahami lensa nilai masing-masing.

Kadang, generasi muda merasa lebih unggul karena melek teknologi. Di sisi lain, generasi tua merasa semakin terpinggirkan dari arus zaman. Ketimpangan ini bisa memunculkan rasa minder, frustasi, atau bahkan penolakan terhadap upaya kolaborasi. Untuk itu, penting membangun ruang literasi yang bukan hanya mempertemukan, tetapi juga menyatukan kedua generasi dalam posisi sejajar. Setiap generasi memiliki kekuatan dan warisan pengetahuan yang berharga, bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk dipadukan. Literasi intergenerasi adalah jembatan yang tak hanya menghubungkan dua zaman, tetapi juga dua cara pandang terhadap kehidupan. Dalam membangun bangsa yang berdaya literasi, kita tidak bisa meninggalkan yang tua demi yang muda, atau sebaliknya. Hanya dengan saling mendengar, saling belajar, dan saling menghargai, maka simfoni literasi bisa dimainkan oleh semua generasi,bersama-sama.

Pendekatan intergenerasi  saat ini menjadi relevan karena sejumlah perubahan sosial, budaya, dan demografis yang menuntut kerja sama lintas usia untuk menjaga keberlanjutan nilai, pengetahuan, dan harmoni sosial, didasari oleh faktor  bonus demografi dan penuaan penduduk Indonesia dimana jumlah penduduk usia produktif tinggi, namun jumlah lansia juga meningkat pesat. Hal ini menciptakan peluang dan tantangan, bagaimana generasi tua dan muda bisa saling mendukung, bukan saling bersaing. Pendekatan intergenerasi membantu menjembatani kesenjangan ini lewat kegiatan bersama, misalnya anak muda mengajarkan teknologi, lansia membagikan nilai hidup dan sejarah lisan.

Banyak nilai luhur, tradisi, dan pengalaman hidup yang dimiliki generasi tua terancam hilang jika tidak diwariskan. Literasi intergenerasi menjadi sarana transfer nilai budaya dan kearifan lokal secara alami melalui dialog, cerita, dan kegiatan kolaboratif. Dunia modern sering memecah ikatan sosial seperti  keluarga terpisah jarak, generasi tidak lagi sering berkumpul. Pendekatan intergenerasi bisa mengembalikan rasa kebersamaan, gotong royong, dan empati lintas usia.

Pendekatan intergenerasi bukan sekadar tren, tapi kebutuhan zaman. Ia mengajak kita untuk tidak hanya hidup berdampingan, tapi saling mendengarkan, belajar, dan tumbuh bersama demi masa depan yang berakar pada nilai, namun bersayap pada kemajuan. Manfaat literasi intergenerasi bagi generasi muda adalah mendapatkan kearifan lokal, sejarah, nilai budaya dari generasi tua dan memperkuat empati dan komunikasi lintas usia. Sedangkan Bagi generasi tua akan merasa dirinya dihargai, didengar, dan berguna. Selain itu generasi tua bisa belajar teknologi baru atau budaya baru dari generasi muda.

Bentuk Kegiatan Literasi Intergenerasi dapat berupa  Program baca bareng kakek-nenek dan cucu, cerita rakyat dari orang tua untuk anak muda, lalu ditulis/didigitalisasi atau mengadakan kelas menulis atau mendongeng bersama lintas usia. Klub buku lintas generasi dapat melaksanakan Workshop teknologi (generasi muda mengajarkan IT kepada lansia). Salah satu bentuk paling menyentuh dari literasi intergenerasi adalah ketika peserta muda dan lansia saling berbagi kisah. Melalui kutipan pengalaman pribadi, kita melihat bahwa literasi bukan sekadar media belajar, tetapi ruang berbagi makna hidup.Seorang remaja bisa berkata: "Saya baru benar-benar memahami arti kesabaran setelah mendengar cerita perjuangan nenek menempuh pendidikan di masa penjajahan." Sementara seorang lansia bisa mengungkapkan: "Saya merasa dihargai kembali ketika cucu saya mengajarkan cara menggunakan aplikasi membaca digital. Dunia terasa lebih luas". Pertukaran pengalaman ini tidak hanya memperkaya wawasan, tapi juga mempererat empati, membangun jembatan batin antar generasi.

Untuk memastikan literasi intergenerasi tidak sekadar menjadi wacana, perlu dukungan konkret dari , pemerintah dengan menyusun kebijakan nasional yang mendorong integrasi program literasi lintas usia, seperti Gerakan Literasi Keluarga dan Sekolah Ramah Lansia. Sekolah dapat memberikan ruang dalam kurikulum untuk proyek kolaboratif yang melibatkan wawancara dan dokumentasi cerita dari generasi sebelumnya.

Komunitas Literasi juga dapat berperan menyelenggarakan klub membaca intergenerasi, dapat mendorong literasi digital untuk lansia dengan pendekatan humanis, tidak menggurui, tapi mendampingi. Literasi adalah jembatan cinta antar generasi, tempat kita saling mengisi,  saling belajar, bukan bersaing. Dalam setiap dialog, cerita, atau tawa yang dibagikan, terdapat benih kasih yang tumbuh, menghidupkan nilai-nilai, menghargai warisan, dan menyambut masa depan. Generasi muda butuh akar, generasi tua butuh sayap. Literasi adalah ruang di mana keduanya bertemu, saling menumbuhkan, saling menghidupkan.(fsy)

 

 

Senin, 02 Juni 2025

Dua Tradisi, Satu Nilai : Menjaga Warisan Budaya Perbedaan

 

Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan

Oleh ; Febri Satria Yazid

*pemerhati sosial

Tidak terasa tahun ini telah 39 tahun saya menetap di Tataran Pasundan. Meninggalkan Ranah Minang pada bulan Mei 1986, merantau ke Tanah Sunda yang  masyarakatnya tidak terlalu menekankan budaya merantau.  Orang Sunda lebih senang tinggal di tanah kelahiran. Sementara bagi “urang awak , merantau adalah bagian dari tradisi dan kebanggaan. Anak laki-laki didorong untuk merantau demi mencari ilmu dan rezeki. Tradisi pertama yang saya amati ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sunda.

Perbedaan antara kebudayaan Sunda dan Minangkabau mencerminkan kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Keduanya memiliki akar adat istiadat, nilai, dan gaya hidup yang khas. Dua tradisi, satu nilai. Filosofi Minangkabau “dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang” mempunyai makna di mana pun kita berada, kita harus menghormati adat, budaya, dan aturan setempat. Artinya, seseorang yang merantau atau hidup di luar kampung halamannya harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, bersikap toleran, menghargai orang lain, serta tidak memaksakan kebiasaan atau nilai sendiri di tempat baru. Nilai inilah yang menyebabkan para perantau Minang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan baik di perantauan.

Ketika jumpa pak Jumari Haryadi Kohar Pimpinan Redaksi Jawa Barat News, dalam acara pameran portofolio minggu lalu di Mozi Institut, Jalan Kamarung no.5B Citeureup Cimahi, disela acara kami “berbisik” (berbincang asyik) tentang  topik sesuai judul artikel ini ; Dua Tradisi, Satu Nilai: Menjaga Warisan Budaya dalam Perbedaan. Dalam bertutur, orang Sunda sangat sopan, terlihat dari saat melewati orang lain, mereka selalu katakan “punten”. Kata “punten” dalam bahasa Sunda adalah salah satu kata yang sangat khas dan sarat makna sopan santun, bentuk ungkapan permisi yang digunakan saat seseorang akan melewati orang lain (jika yang mau lewat lupa, yang dilewati sambil bercanda yang berkata “punten”), ungkap pak Jumari. Kata punten juga digunakan ketika akan masuk ke rumah atau ruangan, akan menyela pembicaraan dan jika ingin memulai percakapan dengan orang lain. “Punten” bukan hanya sekadar “permisi,” tapi juga mencerminkan ; kesopanan, kerendahan hati, rasa hormat terhadap orang lain, terutama yang lebih tua atau dihormati, misalnya  “Punten, tiasa naroskeun hiji hal?” (Permisi, boleh saya bertanya sesuatu?). Kini banyak orang non Sunda juga memakai “punten” dalam kehidupan sehari-hari, karena dianggap lebih halus dan menyenangkan didengar dibandingkan kata “permisi” . Menggunakan Bahasa Sunda, mempunyai tingkatan tutur berdasarkan sopan santun (lemes, sedang, kasar) yang disesuaikan dengan lawan bicara ( yang lebih muda, sepantaran atau kepada yang lebih tua ).

Dalam bahasa Minangkabau, dikenal istilah kato manurun (cara berbicara kepada orang yang lebih muda, sederajat, atau anak-anak), kato mandaki(cara berbicara kepada orang yang lebih tua, dihormati, atau berpangkat) , dan kato malereng (cara berbicara kepada orang yang sebaya atau sejajar, seperti teman atau rekan kerja), yang merupakan bagian dari tata krama bertutur atau etika berbicara yang mencerminkan nilai-nilai sopan santun, hierarki sosial, dan kearifan lokal. Tiga jenis "kato" ini adalah bagian dari nilai adat Minangkabau yang menjunjung tinggi kesantunan dan keseimbangan sosial. Masyarakat Minang percaya bahwa bahasa adalah cermin budi, dan bertutur dengan tepat adalah bentuk penghormatan terhadap orang lain. Menggunakan Bahasa Minangkabau, dengan dialek yang berbeda-beda tergantung daerah, tetapi tidak terlalu kaku dalam tingkatan tutur, mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Minang sangat menjunjung tinggi sopan santun dalam berbicara, namun bahasa Minang tidak memiliki sistem tingkatan bahasa. Tidak ada perubahan besar dalam bentuk kata, tetapi lebih pada cara penyampaian, intonasi, dan kehati-hatian dalam berkata. Tidak sekompleks atau sekaku seperti yang dimiliki oleh Bahasa Sunda (Loma – Sedeng – Lemes ).

Perbedaan lain yang kami cermati adalah tentang filosofi dan pandangan hidup. Orang Sunda cenderung menjunjung tinggi kesopanan, kelembutan, dan kehalusan budi (prinsip “someah hade ka semah”, ramah pada tamu). Sementara Orang Minangkabau Filosofi hidup lebih kuat pada kemandirian, keberanian, dan kecerdasan berdiplomasi. Prinsip hidup: “Alam takambang jadi guru” (alam semesta yang terbentang atau terbuka luas, menjadi sumber ilmu, pedoman, atau pembimbing). dan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (adat berpedoman kepada ajaran agama Islam dan ajaran Islam berpedoman kepada kitab suci Al-qur’an). Nilai utama orang Sunda adalah Kesopanan, kelembutan, harmoni, sementara orang Minagkabau kemandirian, kecerdasan, keberanian. Gaya hidup orang Sunda adalah dengan menghindari konflik, mengutamakan damai, sementara orang Minang pandai berbicara, suka merantau, berpikir maju.

Perbedaan lain dapat kita cermati dari sistem kekerabatan. Orang Sunda menganut sistem patrilineal, yaitu garis keturunan diambil dari pihak ayah. Sementara Minangkabau menganut sistem ma trilineal, yaitu garis keturunan diambil dari pihak ibu. Anak-anak termasuk ke dalam suku ibunya, dan harta pusaka diwariskan melalui garis ibu.

Dalam peran gender dan adat pernikahan kaum Laki-laki  Sunda lebih dominan dalam keluarga, namun hubungan antara suami-istri bersifat egaliter. Dalam pernikahan, pihak laki-laki biasanya datang melamar. Sementara Perempuan Minangkabau memegang peranan penting dalam keluarga karena sistem matrilineal. Dalam pernikahan, keluarga perempuan yang "menjemput" atau melamar laki-laki (tradisi bajapuik).

Rumah Adat disebut Imah, biasanya berbentuk panggung dengan atap pelana atau julang ngapak (sayap burung terbuka). Rumah adat disebut Rumah Gadang, dengan atap menyerupai tanduk kerbau yang melengkung, mencerminkan filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Untuk makanan khas Sunda cenderung ringan dan segar, seperti lalapan, karedok, sayur asem. Beda dengan suku Minangkabau yang makanan khasnya kaya rempah, berbumbu kuat dan pedas, seperti rendang, dendeng balado, gulai.

Dalam bidang Kesenian dan Musik  Alat musik  Sunda khas seperti angklung, kacapi, degung, dengan nada lembut dan menenangkan. Alat musik Minangkabau tradisional berupa saluang, talempong, gandang, dengan irama lebih cepat dan semangat.

Dari sisi keagamaan dan kepercayaan orang Sunda dan Minangkabau sama-sama mayoritas Islam, tetapi warisan budaya Hindu-Buddha dan animisme masih terasa dalam beberapa adat dan seni Sunda. Kedua suku ini  sangat kuat adat istiadatnya  dan kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam.

Meski berbeda dalam filosofi dan cara pandang hidup, Sunda dengan kelembutannya dan Minangkabau dengan ketegasannya, keduanya berakar pada nilai yang sama yaitu  menjunjung tinggi kehormatan, keselarasan hidup, dan keluhuran budi pekerti. Perbedaan bukanlah jurang pemisah, melainkan jembatan penguat dalam mozaik kebudayaan Indonesia. Satu nilai luhur yang menjadi benang merah dan kekuatan pemersatu adalah penghormatan terhadap sesama manusia dan lingkungan, sebagaimana tercermin dalam prinsip “someah hade ka semah” dan “alam takambang jadi guru”. Nilai-nilai inilah yang menghidupkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, bahwa dalam keberagaman terdapat kesatuan rasa dan cita. Dengan saling memahami dan merayakan perbedaan, kita bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga merawat jati diri bangsa.(fsy)

Sabtu, 03 Mei 2025

Perubahan NIlai Kekeluargaan di Era Digital : Antara Individualisme dan Pergeseran Struktur Sosial Tradisional

 

Perubahan Nilai Kekeluargaan di Era Digital: Antara Individualisme dan Pergeseran Struktur Sosial Tradisional

Oleh: Febri Satria Yazid

*Pemerhati Sosial

Era digital mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk pola hubungan keluarga. Di tengah gelombang teknologi yang melaju tanpa jeda, era digital telah merevolusi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, dari cara kita bekerja, belajar, berinteraksi, hingga membangun dan memelihara hubungan pribadi. Keluarga, sebagai unit sosial terkecil dan paling mendasar dalam masyarakat, tak luput dari perubahan ini.

Dulu, interaksi keluarga banyak terjadi melalui pertemuan langsung, makan bersama di meja makan, berbincang di teras rumah, atau berkumpul dalam acara keluarga besar. Keintiman terjalin melalui tatapan mata, sentuhan, dan percakapan hangat yang penuh makna. Nilai kekeluargaan tradisional, kekompakan, gotong royong, dan kolektivitas terbangun dengan baik.

Namun kini, kehadiran teknologi seperti ponsel pintar, media sosial, dan platform komunikasi virtual telah menggeser pola hubungan itu ke arah yang lebih instan dan jarak jauh. Komunikasi dalam keluarga saat ini sering kali terjadi melalui pesan singkat, grup percakapan keluarga, atau panggilan video. Walau secara teknis memperpendek jarak fisik, hubungan tersebut kadang terasa hampa, kehilangan kehangatan emosional yang hanya bisa hadir lewat interaksi nyata. Ironisnya, dalam satu rumah yang sama, anggota keluarga bisa lebih sibuk dengan layar masing-masing ketimbang berbicara satu sama lain. Fenomena ini juga memperlihatkan meningkatnya fokus pada kebebasan individu, ekspresi diri, dan mobilitas personal.

Selain itu, nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun, seperti rasa hormat, kebersamaan, pengorbanan, dan solidaritas, mulai mengalami redefinisi. Generasi muda yang tumbuh di era digital cenderung mengutamakan kebebasan individu, aktualisasi diri, dan kenyamanan personal. Pola ini berbeda dari generasi sebelumnya yang memandang keluarga sebagai pusat loyalitas dan sumber utama identitas sosial. Teknologi, dengan segala manfaatnya, secara halus telah memperkenalkan paradigma baru, yaitu konektivitas tanpa keintiman, kecepatan tanpa kedalaman, dan kemandirian tanpa keterikatan. Tanpa disadari, struktur sosial tradisional keluarga perlahan berubah, dari ikatan kolektif yang kuat menjadi hubungan yang lebih fungsional, fleksibel, dan kadang-kadang terpisah secara emosional.

Digitalisasi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1967 yang ditandai dengan masuknya teknologi komputer. Komputer pertama kali dibuat pada tahun 1822 oleh ahli matematika asal Inggris bernama Charles Babbage.

Memahami bagaimana era digital membentuk ulang relasi keluarga menjadi penting, agar kita dapat menemukan kembali jalan tengah, menjaga esensi kekeluargaan sambil tetap terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ketika bulan Agustus 2024 lalu saya diwawancarai oleh Darul Tauhid Peduli (DT Peduli) #TanyaSahabat, Bincang Hikmah, mempertanyakan bagaimana realitas sosial generasi saat ini, saya sampaikan bahwa interaksi sudah kian berkurang dan cenderung individualis. Saat dimintai pesan untuk generasi sekarang, saya sampaikan agar generasi muda tetap konsisten menjalin dua hubungan, yaitu habluminallah (hubungan yang baik dengan Allah) dan habluminannas (hubungan baik dengan manusia), karena keseimbangan itu penting agar kita menyadari bahwa keberadaan manusia di permukaan bumi ini diciptakan Allah untuk apa. Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Nya.

Fenomena ini bukan hanya perubahan gaya hidup, melainkan juga pergeseran nilai mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya nilai kekeluargaan yang selama ini menjadi fondasi struktur sosial tradisional, dari "kita" ke "aku". Generasi terdahulu tumbuh dalam tatanan sosial yang menjunjung tinggi kebersamaan. Keluarga besar, gotong royong, musyawarah, dan kepedulian sosial adalah nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Namun kini, generasi muda lebih akrab dengan gagasan "hidup untuk diri sendiri", "mengejar passion pribadi", dan "self-branding". Media sosial menjadi panggung utama, tempat identitas dibentuk secara individual dan pencapaian pribadi dipamerkan sebagai tolok ukur keberhasilan.

Perubahan ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Individualisme dapat mendorong kemandirian, kreativitas, dan kemajuan personal. Namun ketika nilai-nilai ini menggeser secara ekstrem prinsip kekeluargaan dan solidaritas sosial, maka yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan keterasingan. Salah satu dampak nyata dari individualisme ini adalah terpecahnya struktur keluarga tradisional. Dahulu, anak-anak tinggal bersama orang tua hingga menikah, bahkan dalam banyak kasus, keluarga besar hidup bersama dalam satu atap atau saling bertetangga. Kini, anak-anak berlomba-lomba keluar rumah sejak usia muda, merantau sejauh mungkin, dan membangun hidup baru yang tak jarang terlepas dari ikatan emosional dengan keluarga. Orang tua tidak lagi menjadi pusat rujukan nilai dan kebijakan. Bahkan dalam pengambilan keputusan penting, generasi muda cenderung mencari jawaban dari internet, influencer, atau komunitas virtual. Hubungan keluarga menjadi lebih fungsional daripada emosional. Orang tua menjadi "penyedia", bukan "pengasuh nilai". Kakek dan nenek sering kali hanya hadir saat Lebaran atau momen perayaan, kehilangan peran sebagai penutur kisah dan penjaga warisan budaya.

Pergeseran ini bukan hanya berdampak pada ranah domestik. Di tingkat sosial yang lebih luas, kita melihat menurunnya semangat gotong royong, meningkatnya individualisme dalam komunitas, dan memudarnya rasa tanggung jawab terhadap sesama. Masyarakat desa yang dulu saling bantu kini berubah menjadi komunitas-komunitas kecil yang eksklusif. Di kota-kota besar, tetangga tak saling mengenal, dan bantuan sering kali baru datang setelah viral di media sosial. Lebih jauh lagi, kesenjangan generasi menjadi makin lebar. Orang tua sulit memahami anak-anaknya, dan anak-anak menganggap nilai-nilai orang tua sebagai kuno. Ketika tidak ada ruang dialog, yang tersisa hanyalah jurang ketidakpedulian.

Kita tidak bisa memutar ulang waktu atau menolak perubahan. Individualisme adalah bagian dari perkembangan zaman. Namun, hal ini tidak berarti kita harus melepaskan nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi warisan luhur bangsa. Solusinya bukan kembali ke masa lalu, tetapi menanamkan kembali nilai-nilai kekeluargaan dalam bentuk yang relevan dengan zaman. Membuka ruang dialog lintas generasi, membangun komunitas berbasis solidaritas, dan menjadikan teknologi sebagai sarana memperkuat, bukan memisahkan, hubungan sosial.

Indonesia dibangun di atas semangat kekeluargaan dan gotong royong. Jika akar ini tercabut sepenuhnya, maka fondasi bangsa akan rapuh. Maka tugas kita hari ini bukan menolak individualisme, tetapi menyeimbangkannya dengan jiwa kolektif dan rasa tanggung jawab sosial. Lebih penting dari itu adalah menghidupkan kembali budaya kolektif di lingkungan hulu, membangun kembali nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian sosial di lingkungan yang paling awal membentuk karakter seseorang, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hulu adalah tempat anak belajar pertama kali, maka penting untuk menanamkan nilai saling tolong, berbagi, dan peduli sejak dini. Ini bisa dilakukan melalui contoh nyata dari orang tua yang mampu menjadi panutan, bukan hanya pengasuh fisik, pendidikan karakter di sekolah, serta kegiatan komunitas yang melibatkan partisipasi bersama. Jika hulu sehat dan kuat, maka hilir akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berjiwa sosial. Masyarakat harus membuka ruang gotong royong nyata, bukan hanya slogan. Individualisme tidak harus dimusuhi. Ia bisa menjadi bahan bakar untuk pencapaian, asal diarahkan oleh jiwa kolektif yang memberi makna. Anak-anak yang kuat secara pribadi, namun juga sadar sosial, adalah generasi ideal Indonesia masa depan.

Integrasikan nilai gotong royong, toleransi, dan empati ke dalam kurikulum dan budaya sekolah. Berikan pelatihan kepada orang tua tentang membangun keluarga yang hangat, terbuka, dan penuh komunikasi. Ciptakan program kepedulian sosial di tingkat akar rumput seperti forum remaja, posyandu remaja, dan kampung ramah anak. Program pelatihan disiplin harus bersifat remedial dan terbatas, serta didampingi pendekatan psikologis, sosial, dan edukatif.

"Hilir bisa berubah, tapi perubahan sejati harus mengalir dari hulu."

 Jika kita hanya membenahi anak-anak yang rusak, tanpa membenahi sistem keluarga, pendidikan, dan masyarakat yang melahirkan mereka, maka kita hanya akan mengganti wajah-wajah nakal dengan wajah baru. Kebijakan yang bijak adalah yang mengobati luka sambil menutup sumber perihnya. Perubahan nilai kekeluargaan adalah keniscayaan di era digital, namun bukan berarti nilai-nilai luhur harus hilang. Pentingnya menemukan keseimbangan antara kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Membangun model keluarga baru yang adaptif tetapi tetap berakar pada nilai gotong royong, saling peduli, dan cinta kasih.(FSY)