Selasa, 07 Januari 2025

Memahami Fenomena "Playing Victim" dan Dampaknya

 

Memahami Fenomena  “Playing Victim”  dan Dampaknya

Oleh ; Febri Satria Yazid

·         Pemerhati Sosial

                Playing victim adalah perilaku di mana seseorang berpura-pura atau melebih-lebihkan perannya sebagai korban dalam suatu situasi, meskipun sebenarnya ia tidak sepenuhnya berada di posisi tersebut. Tujuan utama dari perilaku ini sering kali untuk mendapatkan simpati, perhatian, pembelaan, atau bahkan untuk menghindari tanggung jawab atas kesalahan atau situasi yang sebenarnya ia ciptakan dengan menyalahkan orang lain atas masalah yang ia alami. Selain itu, ia tidak mau menerima kritik atau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan,  justru memosisikan diri sebagai pihak yang dirugikan. Ia juga menggunakan rasa kasihan orang lain untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri, seperti perhatian atau pembelaan. Selain itu ia selalu merasa bahwa dirinya diperlakukan tidak adil, meskipun kenyataannya tidak demikian. Kehidupannya penuh dengan drama yang sensasional.

            Perilaku “playing victim”, bisa disebabkan oleh trauma masa lalu dengan beberapa faktor penyebab  yang memengaruhinya seperti pernah mengalami kekerasan fisik, emosional, atau penelantaran mungkin merasa bahwa menjadi korban adalah bagian dari identitasnya. Hal ini bisa berasal dari rasa tidak berdaya yang dialami selama trauma. Bisa juga disebabkan oleh rasa ketidakadilan yang belum terselesaikan, trauma yang tidak diakui atau tidak mendapatkan resolusi sering menimbulkan perasaan bahwa dunia tidak adil. Individu merasa harus selalu melindungi diri dengan menunjukkan bahwa mereka adalah korban.

            Trauma menciptakan pola pikir defensif sebagai cara melindungi diri dari ancaman lebih lanjut. Dengan memosisikan diri sebagai korban. Trauma masa lalu dapat mengubah cara seseorang melihat dunia. Beberapa distorsi yang umum adalah pandangan dunia sebagai tempat yang berbahaya. Individu merasa semua orang berpotensi menyakitinya, sehingga yang bersangkutan lebih mudah merasa "diserang."

Hal lain yang dirasakan oleh “playing victim” adalah rasa rendah diri yang mendalam, merasa tidak mampu atau tidak layak, sehingga menggunakan peran korban sebagai cara untuk mendapatkan penerimaan.

            Untuk mengatasi perilaku "playing victim" akibat trauma, diperlukan pendekatan yang mendalam terhadap penyebab trauma dengan melakukan terapi psikologis, konseling atau terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yaitu pendekatan psikoterapi yang terstruktur dan berbasis bukti yang dirancang untuk membantu individu mengidentifikasi, memahami, dan mengubah pola pikir serta perilaku yang negatif atau tidak sehat. CBT berfokus pada hubungan antara pikiran, perasaan, dan tindakan, dengan tujuan membantu individu mengatasi masalah emosional dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Pikiran negatif dapat memengaruhi perasaan dan perilaku seseorang. Misalnya, keyakinan seperti "Saya tidak cukup baik" dapat menyebabkan perasaan sedih atau tidak berdaya, yang kemudian memengaruhi tindakan, seperti menarik diri dari interaksi sosial. Dengan pemahaman yang lebih baik dan dukungan yang tepat, individu yang menunjukkan perilaku "playing victim" akibat trauma masa lalu dapat belajar untuk mengatasi luka mereka dan membangun hubungan yang lebih sehat.     

            Fenomena playing victim memiliki relevansi yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan pribadi maupun profesional, karena perilaku ini dapat memengaruhi dinamika hubungan antar individu, suasana kerja, dan kualitas interaksi sosial secara keseluruhan. Dalam hubungan keluarga, persahabatan, atau asmara, perilaku playing victim dapat memicu konflik yang dapat meluas. Seseorang yang selalu memosisikan dirinya sebagai korban sering kali menyalahkan pihak lain, sehingga menimbulkan ketegangan. Orang yang mempraktikkan playing victim sering menggunakan rasa kasihan untuk memanipulasi pasangan atau anggota keluarga dan teman kerja, yang dapat menyebabkan ketidakadilan emosional bagi pihak lain. Kebiasaan berpura-pura menjadi korban dapat membuat orang di sekitarnya kehilangan kepercayaan, sehingga hubungan menjadi tidak sehat.

            Dalam dunia kerja, seorang rekan yang sering playing victim cenderung menghindari tanggung jawab atas tugas yang tidak terselesaikan. Hal ini dapat meningkatkan beban kerja anggota tim lain dan menurunkan produktivitas secara keseluruhan. Perilaku ini dapat menciptakan suasana kerja yang penuh drama, di mana konflik dan kesalahpahaman sering terjadi akibat pola komunikasi yang manipulative

             Jika playing victim menjadi pola umum dalam suatu komunitas, masalah yang sebenarnya membutuhkan tanggung jawab kolektif cenderung tidak terselesaikan, karena setiap individu lebih sibuk mencari simpati daripada solusi. Fenomena ini dapat menimbulkan skeptisisme di masyarakat. Orang menjadi lebih sulit membedakan antara korban sejati dan mereka yang hanya berpura-pura, yang pada akhirnya dapat mengurangi empati terhadap korban yang sebenarnya.

            Penting memahami relevansi ini untuk  mengetahui kesadaran diri, agar seseorang dapat mengenali apakah dirinya atau orang lain terjebak dalam pola ini. Dengan memahami dampaknya, individu dapat berupaya untuk membangun hubungan yang lebih jujur dan saling mendukung. Mengatasi perilaku playing victim membantu menciptakan lingkungan pribadi dan profesional yang lebih positif dan produktif. Memahami relevansi playing victim bukan hanya membantu individu untuk menghindari perilaku ini, tetapi juga untuk menghadapi orang yang melakukannya dengan cara yang konstruktif, karenanya penting untuk  memahami perilaku playing victim untuk menjaga hubungan sosial yang sehat.

            Beberapa dampak bagi  pelaku playing victim adalah ia akan kehilangan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya, kesulitan memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Sedangkan bagi korban  (orang yang dimanipulasi) akan muncul perasaan frustrasi, lelah secara emosional, dan kehilangan rasa percaya, terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat. Sementara itu bagi lingkungan sosial  bisa berdampak  terjadinya konflik dan perpecahan dalam kelompok atau komunitas.

            Diperlukan cara yang tepat untuk menghadapi dan mengatasi playing victim oleh diri sendiri dengan metode melakukan introspeksi dan meningkatkan kesadaran diri. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah. Jika sudah berada pada situasi akut, perlu mencari bantuan profesional, seperti konselor atau psikolog, jika diperlukan. Bagi yang menghadapi pelaku playing victim diperlukan sikap yang tetap tenang dan tidak terpancing emosi dan menetapkan batasan yang jelas serta memberikan dukungan tanpa memanjakan perilaku manipulatif.

        “Menjadi korban bukanlah kelemahan, tetapi berpura-pura menjadi korban hanya akan melemahkan dirimu dan hubunganmu dengan orang lain”.  Berhentilah terjebak dalam peran korban yang semu hadapi kenyataan dengan keberanian, karena hanya dengan menerima tanggung jawab, kita dapat menemukan kekuatan sejati dan membangun hubungan yang lebih harmonis.(fsy)