Generasi Sandwich: Terjepit
Tanggung Jawab, Terlupakan Diri
Oleh: Febri Satria Yazid
Banyak yang mengira
anak muda zaman sekarang hidup santai. Foto-foto di Instagram menampilkan gaya
hidup yang tampak menyenangkan, nongkrong di kafe, bekerja dari coworking
space, liburan ke luar negeri. Senyum cerah terpajang di linimasa hampir setiap
saat. Namun, siapa sangka, di balik senyuman itu tersembunyi beban yang tidak
ringan. Mereka bangun pagi dengan cemas, memikirkan cicilan yang harus dibayar,
target kerja yang semakin menekan, dan ekspektasi keluarga yang terus
menggunung.
Menjadi dewasa ternyata
bukan hanya tentang kebebasan memilih, tapi juga tentang tanggung jawab yang
sering kali lebih besar dari kemampuan pundak menanggungnya. Anak muda hari ini
banyak memberi waktu, tenaga, pikiran, untuk pekerjaan, keluarga, bahkan relasi
yang kadang tidak memberi balasan setimpal. Mereka merawat yang tua, menjaga
yang muda, tapi siapa yang merawat mereka? Hidup mereka tidak semudah filter
media sosial. Mereka tersenyum, namun tak semua tahu bahwa senyuman itu adalah
bentuk paling sopan dari rasa lelah yang mendalam. Mereka terjepit di tengah
harapan dan kenyataan, antara keinginan membahagiakan semua orang dan
pertanyaan yang terabaikan: "Siapa yang membahagiakan aku?"
Istilah "generasi
sandwich" diperkenalkan pertama kali oleh Dorothy A. Miller pada tahun
1981. Ia menggambarkan individu yang secara finansial dan emosional berada di
antara dua generasi: orang tua yang mulai renta dan anak-anak yang masih membutuhkan
banyak dukungan. Layaknya isi roti lapis, mereka terhimpit di tengah. Di satu
sisi, mereka harus membiayai dirinya sendiri atau bagi yang telah berkeluarga
harus bertanggungjawab terhadap pendidikan dan kehidupan anak-anaknya, di sisi
lain mereka menanggung biaya kesehatan dan kebutuhan hidup orang tuanya.
Di Indonesia, fenomena
ini semakin nyata. Banyak orang tua yang memasuki masa tua tanpa bekal
finansial yang cukup. Kurangnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan
jangka panjang membuat sebagian besar dari mereka tidak memiliki tabungan
pensiun, asuransi, atau sumber penghasilan pasif yang dapat diandalkan.
Akibatnya, ketika mereka tidak lagi produktif, anak-anaklah yang menjadi
sandaran utama. Lebih dari itu, tak jarang orang tua yang masih dalam usia
produktif pun mulai membebankan tanggung jawab finansial kepada anaknya. Bisa
karena pengelolaan keuangan keluarga yang buruk, atau karena beban nafkah yang
tak seimbang, misalnya anak banyak, penghasilan terbatas, atau bahkan akibat
kegagalan ekonomi yang mereka timpakan pada anaknya demi “penyelamatan
keluarga.”
Dalam budaya kita,
berbakti kepada orang tua adalah nilai luhur yang dijunjung tinggi. Namun,
nilai ini sering dibelokkan maknanya, terutama dalam urusan finansial. Tidak
sedikit orang tua yang secara halus, bahkan terang-terangan menuntut anak-anak
mereka untuk menopang hidup mereka, dengan dalih bahwa itu adalah bentuk bakti
yang wajib. Padahal, bila ditelaah lebih dalam, bantuan anak kepada orang tua
seharusnya bersifat sukarela, bukan paksaan emosional. Banyak orang tua yang
selama masa produktifnya tidak memiliki perencanaan finansial. Fokus mereka
hanya pada kebutuhan saat ini, tanpa berpikir tentang hari tua. Sebagian
lainnya menganggap bahwa anak adalah "tabungan masa depan". Pandangan
seperti ini tumbuh kuat dalam budaya Timur, tapi konteks zaman telah berubah.
Biaya hidup meningkat, pekerjaan semakin kompetitif, dan tekanan sosial kian
tinggi. Anak-anak yang kini menjadi tulang punggung keluarga, harus berjuang
membangun masa depan, namun di saat yang sama mereka juga harus menambal
kekurangan masa lalu yang bukan kesalahan mereka.
Ketika orang tua tidak
memiliki dana pensiun, anak-anak pun harus mengambil peran sebagai penopang
utama. Mereka harus membagi pendapatan untuk kebutuhan sendiri, anak-anak
mereka, dan orang tua. Tak jarang, hal ini menimbulkan tekanan finansial yang
serius. Bahkan tidak sedikit yang harus mengorbankan mimpi pribadi, menunda
memiliki rumah, atau menanggung utang yang menumpuk. Namun, lebih dari sekadar
soal uang, ketergantungan ini juga berdampak pada kesehatan mental. Anak-anak
yang awalnya ingin berbakti, bisa berubah menjadi pribadi yang lelah, mudah
tersulut emosi, dan menyimpan kejengkelan tersembunyi. Sementara orang tua yang
bergantung terus-menerus, bisa merasa tidak berdaya atau kehilangan harga diri.
Hubungan pun menjadi dingin, atau bahkan rusak, karena komunikasi berubah
menjadi beban, bukan kasih sayang.
Membantu orang tua
adalah perbuatan mulia. Namun, membantu bukan berarti mengorbankan hidup dan
keluarga sendiri. Perlu ditegaskan bahwa bantuan anak kepada orang tua,
terutama dalam hal finansial, adalah bentuk sedekah, bukan hutang atau
kewajiban mutlak. Anak boleh memberi saat mampu, dan tidak berdosa saat belum
sanggup. Apalagi bila anak tersebut masih harus membiayai keluarga inti,
membangun karier, dan menjaga keseimbangan mental serta fisiknya sendiri. Orang
tua yang bijak seharusnya memahami realitas ini. Mereka perlu menyadari bahwa
tanggung jawab utama anak dewasa adalah menjalani kehidupannya sendiri, membangun
keluarga, menata masa depan, dan menjaga kesehatan jiwa. Memberikan tekanan
dengan alasan budaya atau agama, tanpa memahami kondisi anak, bisa menjadi
bentuk ketidakadilan yang terselubung dalam kemuliaan.
Karena itu, penting bagi
setiap individu, terutama yang masih berada di usia produktif, untuk mulai
merencanakan masa tua sejak dini. Perencanaan pensiun bukan hanya soal uang,
tetapi juga soal menjaga martabat dan kemandirian. Investasi, tabungan jangka
panjang, asuransi, dan literasi keuangan adalah pilar penting yang harus
dibangun. Bagi orang tua yang terlambat menyadari pentingnya perencanaan, masih
ada jalan untuk memperbaiki kondisi. Mungkin dengan mencari penghasilan
tambahan yang ringan, mengurangi gaya hidup konsumtif, atau memanfaatkan aset
yang ada untuk menciptakan kemandirian. Masa tua seharusnya menjadi fase tenang
dan bermartabat, bukan masa bergantung yang penuh beban dan rasa bersalah. Sebaliknya,
generasi muda juga perlu belajar untuk menetapkan batas sehat antara kasih
sayang dan pengorbanan yang merusak. Mereka perlu menyadari bahwa mencintai
diri sendiri juga merupakan bentuk tanggung jawab. Ketika seseorang mampu
mencintai dirinya, ia akan lebih sehat secara mental, lebih kuat secara
finansial, dan lebih tulus ketika membantu orang lain, termasuk orang tuanya.
Generasi sandwich
bukanlah generasi yang lemah. Mereka adalah generasi yang sedang berjuang di
tengah badai, berdiri di antara dua generasi, memberi tanpa henti, tapi sering
kali tak sempat menerima. Maka jangan anggap enteng senyum mereka, karena bisa
jadi itu adalah cara paling santun untuk
menyembunyikan luka. Sudah saatnya kita meluruskan makna berbakti, menumbuhkan
kesadaran finansial, dan membangun budaya saling memahami. Jika anak memberi,
biarlah itu tumbuh dari cinta, bukan dari tekanan atau rasa bersalah.(fsy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar