Gadget Jadi Pengasuh: Anak-anak
yang Kehilangan Pelukan Orang Tua
Oleh ; Febri Satria Yazid
Di pojok ruangan yang sunyi, dua anak bersaudara, usia
sepuluh dan tujuh tahun, duduk diam dalam hening yang panjang. Mata mereka
terpaku pada layar handphone, jari-jarinya lincah menekan ikon-ikon berwarna
yang bergerak cepat, menyala dan berbunyi ramai. Namun di antara kilau cahaya
layar itu, tak ada tawa. Tak ada panggilan hangat “Ibu”. Tak ada cerita atau
dekapan yang menenangkan. Hanya suara animasi yang dingin dan asing,
menggantikan suara ibu yang seharusnya membacakan dongeng sebelum mereka tidur.
Sudah lebih dari dua tahun mereka sering dibiarkan berdua di rumah hingga larut
malam. Ayah mereka sibuk dengan urusan di luar rumah, berangkat sejak pagi
buta, pulang menjelang tengah malam. Tak pernah ada ruang, bahkan sekadar
keingintahuan anak-anak tentang ke mana perginya ayah seharian, atau apa yang telah
mereka makan dan lakukan sepanjang hari. Semuanya menguap tanpa jejak
perhatian.
Sejak ayah dan ibu mereka berpisah, kedua anak ini "dibawa" sang
ayah, bukan atas kehendak mereka, melainkan karena keputusan yang dipaksakan.
Mereka sempat percaya bahwa tinggal bersama ayah akan menjadi awal yang baru.
Nyatanya, itu menjadi petaka yang sunyi. Hari-hari berlalu dalam pembiaran.
Mereka tumbuh dalam pelukan gadget, bukan dalam pelukan kasih. Tak ada
rutinitas yang menumbuhkan, tak ada kehangatan yang menyentuh. Namun hidup
memberi harapan. Ibu mereka, yang selama ini menahan rindu dan kegelisahan,
akhirnya bertindak. Ia mengambil kembali anak-anaknya, yang dari sisi usia
sebetulnya merupakan hak ibu untuk mengasuhnya, menyelamatkan mereka dari sunyi
yang membeku dan dari pengasuhan yang terabaikan. Kini, kehidupan anak-anak itu
perlahan berubah. Hari-hari mereka kembali berwarna. Ada waktu untuk belajar,
bermain di alam terbuka, bermain game yang tetap melibatkan interaksi nyata dan
emosi sosial dengan waktu bermain yang diatur. Ada tawa, ada pelukan,
dan yang paling penting: ada ibu. Setiap malam, mereka kini tertidur bukan
dalam sorotan layar, tetapi dalam dekapan hangat dan cerita pengantar tidur
yang lembut. Mereka tidak lagi tidur dengan mata lelah menatap gadget,
melainkan dengan hati yang damai dalam pelukan kasih sayang. Sebuah
penyelamatan, bukan hanya dari ketergantungan layar, tapi dari sepi yang
diam-diam bisa menghancurkan masa depan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan gadget seperti smartphone dan
tablet oleh anak-anak usia dini meningkat drastis. Anak-anak yang bahkan belum
lancar berbicara sudah akrab dengan layar sentuh dan video animasi. Anak usia
1–5 tahun kini terbiasa mengakses YouTube Kids, TikTok, hingga game daring
tanpa pengawasan yang memadai. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh lapisan
masyarakat, baik di kota maupun di desa. Gadget menjadi “mainan utama” yang
menggantikan peran boneka, buku cerita, atau aktivitas motorik seperti bermain
di luar rumah. Situasi ini diperparah saat pandemi COVID-19, ketika anak-anak
mulai belajar dari rumah dan screen time dianggap lumrah.
Orang Tua
Menyerahkan Peran Pengasuhan pada Gadget. Kesibukan orang tua, baik sebagai
pekerja kantoran maupun wirausaha, membuat interaksi dengan anak menjadi minim.
Pulang kerja dalam keadaan lelah, sebagian orang tua memilih memberikan gadget
agar anak tenang dan tidak rewel. Tanpa disadari, perlahan peran pengasuhan
berpindah tangan, dari pelukan orang tua ke layar gawai. Gadget digunakan sebagai alat
untuk menenangkan anak saat menangis, menggantikan kegiatan membacakan dongeng,
bahkan digunakan saat makan agar anak diam. Praktik ini, meskipun tampak praktis,
sebenarnya melemahkan ikatan emosional yang sangat penting pada masa emas
pertumbuhan anak.
Hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPPA) tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 65% anak usia 3–6 tahun di
Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per hari di depan layar. Sebagian
besar mengakses video hiburan, game, dan aplikasi tanpa pendampingan orang
dewasa. Laporan lain dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) juga menyebutkan bahwa penggunaan internet oleh anak-anak usia
prasekolah meningkat 2 kali lipat dibandingkan lima tahun lalu, terutama di
daerah perkotaan. Ini adalah sinyal darurat tentang kualitas pengasuhan dan
kebutuhan literasi digital di lingkungan keluarga.
Anak yang terlalu sering menatap layar cenderung pasif secara verbal dan
sulit berinteraksi secara alami dengan orang lain. Mereka lebih banyak menerima
stimulasi satu arah, bukan percakapan yang sehat. Perkembangan Bahasa dan
sosial terganggu. Selain itu, anak lebih mudah tantrum, sulit fokus, dan kecanduan.
Gadget memberi stimulasi instan yang membuat anak terbiasa dengan respon cepat.
Akibatnya, mereka jadi mudah marah jika keinginannya tidak segera dipenuhi,
sulit berkonsentrasi, dan sangat tergantung pada layar. Yang lebih fatal,
anak-anak akan kehilangan kesempatan untuk bonding emosional dengan orang tua. Waktu
bersama yang seharusnya digunakan untuk bercerita, bermain, dan berpelukan
tergantikan oleh gadget. Akibatnya, ikatan batin antara anak dan orang tua,
menjadi renggang dan hambar. Hal ini dapat terjadi karena kesibukan pekerjaan
membuat orang tua kurang energi untuk hadir secara penuh bagi anak. Dalam
kelelahan itu, perhatian pada anak jadi hal yang mudah terabaikan. Lalu orang
tua berpikiran gadget merupakan solusi yang
cepat. Padahal, ini hanya solusi instan yang menyimpan masalah
jangka panjang. Solusi orang tua ini disebabkan kurangnya edukasi tentang parenting
digital. Banyak keluarga belum memahami dampak penggunaan gadget secara
berlebihan. Tanpa bekal pengetahuan, penggunaan gadget dibiarkan tanpa batas
dan tanpa pendampingan.
Berdasarkan paparan di atas, maka
orang tua seharusnya melakukan pengaturan screen time secara bijak. Tetapkan
batas waktu harian, sesuai usia anak. Pastikan gadget bukan pengasuh utama,
melainkan alat bantu yang digunakan dengan pengawasan. Lalu gantikan waktu layar
dengan waktu bersama anak-anak. Gunakan waktu luang untuk mendongeng, bermain,
dan bercengkerama dengan anak. Kegiatan ini jauh lebih bermakna untuk tumbuh
kembang mereka. Anak butuh kehadiran yang utuh, didengar, dipeluk,
diperhatikan. Cinta dan koneksi emosional dari orang tua jauh lebih berharga
daripada gadget mana pun.
Pada awalnya, anak tidak pernah benar-benar membutuhkan gadget terbaru.
Mereka tidak meminta ponsel mahal atau tablet canggih. Yang mereka butuhkan
sesungguhnya adalah waktu, waktu yang utuh dan hadir dari orang tuanya. Justru
orang tua yang menyimpulkan, agar anak-anak lebih nyaman bermain game di
gadget, membelikan gadget terkini yang ‘performance’nya lebih baik dan itu
artinya akan membuat anak lebih betah dan nyaman di depan layar gadget. Dengan
demikian orang tua lebih “merdeka” dengan kegiatannya tanpa ada gangguan dari
anak-anak yang sebetulnya butuh perhatian, bukan hanya tatapan sekilas sambil
bermain handphone. Mereka rindu kasih sayang yang nyata, bukan pengganti
digital yang dingin dan tak bernyawa.
Gadget memang bisa menghibur, mengalihkan perhatian sesaat dari tangis atau
rewel. Tapi hanya pelukan orang tua yang bisa menyembuhkan luka batin yang tak
terlihat. Hanya kehadiran orang tua yang mampu membangun pondasi emosi anak
agar tumbuh menjadi pribadi yang sehat, bahagia, dan penuh percaya diri. Maka,
sebelum anak-anak kita terlanjur tumbuh dalam kesepian yang disamarkan layar,
mari kembali hadir untuk mereka. Hadir dengan hati, dengan pelukan, dan dengan
waktu yang berkualitas. Karena dalam pelukan orang tua, anak menemukan dunia
yang utuh, dunia yang tak bisa digantikan oleh layar secanggih apa pun.(fsy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar