Jejak Kata,
Jembatan Waktu
Oleh ; Febri
Satria Yazid
Literasi sebagai fondasi
peradaban dan simfoni sebagai harmoni kehidupan dalam suatu orkestra tempat
dimana setiap individu memainkan instrumen pengetahuan, pengalaman dan nilai.
Literasi sebagai penyeimbang di tengah gempuran era digital dan derasnya arus
informasi . Kita mesti memandang literasi bukan hanya sebagai sarana tapi
sebagai simfoni kehidupan, yang mendamaikan yang retak, menyatukan yang
terpisah, karena manusia diciptakan
Allah SWT untuk terhubung, dengan dirinya, sesama, dan lingkungannya. Literasi menyuarakan
harapan di tengah keraguan. Setiap zaman punya tantangannya, dan dalam setiap
tantangan terselip keraguan. Literasi
hadir bukan untuk memberi semua jawaban, tetapi untuk menyalakan harapan,
mengajak kita berpikir kritis, menumbuhkan empati, dan menuliskan masa depan
yang lebih baik. Literasi sebagai simfoni kehidupan adalah tentang keberanian
menyatukan nada-nada yang berbeda menjadi harmoni. Ia bukan sekadar alat untuk
belajar, tapi cara untuk menyembuhkan, menghubungkan, dan menghidupkan harapan.
Karena dalam dunia yang sering gaduh oleh prasangka dan perpecahan, hanya lewat
pemahaman, yang dilahirkan oleh literasi, kita bisa menyusun simfoni yang
membawa damai bagi kehidupan.
Membangun jembatan antara
Digital Native dan Generasi Tradisional menjadi sangat penting di tengah
derasnya arus perubahan zaman, tantangan literasi tak lagi hanya soal akses
atau minat baca, melainkan juga tentang kesenjangan generasi. Fenomena ini
semakin terasa ketika generasi muda yang tumbuh dalam era digital (digital
native) harus berbagi ruang dengan generasi tradisional yang dibesarkan dalam
budaya analog. Keduanya membawa cara pandang, gaya belajar, bahkan nilai-nilai
yang berbeda. Maka, menciptakan ruang literasi yang inklusif menjadi pekerjaan
rumah bersama.
Generasi muda saat ini
terbiasa mengakses informasi dengan cepat melalui internet, belajar lewat video
interaktif, atau memahami konsep melalui infografik dan simulasi digital.
Sebaliknya, generasi tua masih memegang kepercayaan kuat pada buku fisik,
belajar dari mendengarkan secara langsung, atau berdiskusi dalam forum tatap
muka. Kondisi ini menghadirkan tantangan dalam menciptakan ruang belajar yang
mampu menampung keduanya. Bagaimana merancang program literasi yang tetap
relevan bagi kaum muda, namun tidak mengasingkan yang lebih tua? Apakah mungkin
menyandingkan teknologi digital dengan pendekatan personal secara harmonis?
Di ranah komunikasi, jurang
generasi juga tampak jelas. Generasi muda gemar menggunakan bahasa singkat,
slang, emoji, atau istilah populer dari budaya internet. Bagi generasi tua,
semua ini bisa membingungkan, bahkan membuat mereka merasa tidak dianggap.
Mereka cenderung memakai bahasa yang lebih formal, kaya nilai budaya, dan sarat
kesantunan. Kesenjangan bahasa ini tak jarang menimbulkan salah paham atau rasa
tidak nyambung dalam kegiatan bersama, termasuk saat menyampaikan pesan
literasi atau bekerja dalam proyek kolaboratif. Generasi muda memandang
literasi sebagai keterampilan multifaset, bukan hanya baca tulis, tapi juga
mencakup literasi digital, visual, finansial, hingga media sosial. Sementara
itu, generasi tua sering kali masih mengidentikkan literasi dengan kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung. Perbedaan ini menciptakan ketimpangan
pemahaman dan ekspektasi. Generasi tua bisa merasa “ketinggalan zaman” atau
dianggap tidak relevan. Sebaliknya, generasi muda bisa menganggap pendekatan
lama sebagai kuno dan tidak menarik. Ini dapat menghambat upaya membangun ruang
literasi yang saling menghargai.
Realita lain yang tak bisa
diabaikan adalah keterbatasan akses dan keterampilan teknologi di kalangan
lansia. Banyak dari mereka belum terbiasa, bahkan takut menggunakan gawai
seperti smartphone, laptop, atau platform e-book. Padahal, literasi masa kini
banyak bergantung pada platform digital, dari perpustakaan daring hingga kelas
virtual. Ketika teknologi menjadi pintu utama literasi, maka kelompok yang
tidak memiliki kunci akan tertinggal. Inilah pentingnya pendampingan
intergenerasi yang saling menguatkan, bukan saling menghakimi.
Generasi muda membawa semangat
ekspresi bebas, efisiensi, dan inovasi. Sementara generasi tua masih menjunjung
tinggi nilai kesantunan, kedisiplinan, serta norma sosial yang bersifat
hierarkis. Dalam ruang literasi, perbedaan ini sering terlihat dalam cara
menyampaikan ide, menulis cerita, atau berdiskusi. Tanpa kesadaran akan
perbedaan nilai ini, interaksi bisa berujung pada konflik atau ketegangan. Maka
diperlukan pendekatan yang empatik, di mana kedua pihak bersedia membuka diri
dan memahami lensa nilai masing-masing.
Kadang, generasi muda merasa
lebih unggul karena melek teknologi. Di sisi lain, generasi tua merasa semakin
terpinggirkan dari arus zaman. Ketimpangan ini bisa memunculkan rasa minder,
frustasi, atau bahkan penolakan terhadap upaya kolaborasi. Untuk itu, penting
membangun ruang literasi yang bukan hanya mempertemukan, tetapi juga menyatukan
kedua generasi dalam posisi sejajar. Setiap generasi memiliki kekuatan dan
warisan pengetahuan yang berharga, bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk
dipadukan. Literasi intergenerasi adalah jembatan yang tak hanya menghubungkan
dua zaman, tetapi juga dua cara pandang terhadap kehidupan. Dalam membangun
bangsa yang berdaya literasi, kita tidak bisa meninggalkan yang tua demi yang
muda, atau sebaliknya. Hanya dengan saling mendengar, saling belajar, dan
saling menghargai, maka simfoni literasi bisa dimainkan oleh semua generasi,bersama-sama.
Pendekatan intergenerasi saat ini menjadi relevan karena sejumlah
perubahan sosial, budaya, dan demografis yang menuntut kerja sama lintas usia
untuk menjaga keberlanjutan nilai, pengetahuan, dan harmoni sosial, didasari
oleh faktor bonus demografi dan penuaan penduduk
Indonesia dimana jumlah penduduk usia produktif tinggi, namun jumlah lansia
juga meningkat pesat. Hal ini menciptakan peluang dan tantangan, bagaimana
generasi tua dan muda bisa saling mendukung, bukan saling bersaing. Pendekatan
intergenerasi membantu menjembatani kesenjangan ini lewat kegiatan bersama, misalnya
anak muda mengajarkan teknologi, lansia membagikan nilai hidup dan sejarah
lisan.
Banyak nilai luhur, tradisi,
dan pengalaman hidup yang dimiliki generasi tua terancam hilang jika tidak
diwariskan. Literasi intergenerasi menjadi sarana transfer nilai budaya dan
kearifan lokal secara alami melalui dialog, cerita, dan kegiatan kolaboratif. Dunia
modern sering memecah ikatan sosial seperti keluarga terpisah jarak, generasi tidak lagi
sering berkumpul. Pendekatan intergenerasi bisa mengembalikan rasa kebersamaan,
gotong royong, dan empati lintas usia.
Pendekatan intergenerasi bukan
sekadar tren, tapi kebutuhan zaman. Ia mengajak kita untuk tidak hanya hidup
berdampingan, tapi saling mendengarkan, belajar, dan tumbuh bersama demi masa
depan yang berakar pada nilai, namun bersayap pada kemajuan. Manfaat literasi intergenerasi
bagi generasi muda adalah mendapatkan kearifan lokal, sejarah, nilai budaya
dari generasi tua dan memperkuat empati dan komunikasi lintas usia. Sedangkan Bagi
generasi tua akan merasa dirinya dihargai, didengar, dan berguna. Selain itu
generasi tua bisa belajar teknologi baru atau budaya baru dari generasi muda.
Bentuk Kegiatan Literasi
Intergenerasi dapat berupa Program baca
bareng kakek-nenek dan cucu, cerita rakyat dari orang tua untuk anak muda, lalu
ditulis/didigitalisasi atau mengadakan kelas menulis atau mendongeng bersama
lintas usia. Klub buku lintas generasi dapat melaksanakan Workshop teknologi
(generasi muda mengajarkan IT kepada lansia). Salah satu bentuk paling
menyentuh dari literasi intergenerasi adalah ketika peserta muda dan lansia
saling berbagi kisah. Melalui kutipan pengalaman pribadi, kita melihat bahwa
literasi bukan sekadar media belajar, tetapi ruang berbagi makna hidup.Seorang
remaja bisa berkata: "Saya baru benar-benar memahami arti kesabaran
setelah mendengar cerita perjuangan nenek menempuh pendidikan di masa
penjajahan." Sementara seorang lansia bisa mengungkapkan: "Saya
merasa dihargai kembali ketika cucu saya mengajarkan cara menggunakan aplikasi
membaca digital. Dunia terasa lebih luas". Pertukaran pengalaman ini tidak
hanya memperkaya wawasan, tapi juga mempererat empati, membangun jembatan batin
antar generasi.
Untuk memastikan literasi
intergenerasi tidak sekadar menjadi wacana, perlu dukungan konkret dari ,
pemerintah dengan menyusun kebijakan nasional yang mendorong integrasi program
literasi lintas usia, seperti Gerakan Literasi Keluarga dan Sekolah Ramah
Lansia. Sekolah dapat memberikan ruang dalam kurikulum untuk proyek kolaboratif
yang melibatkan wawancara dan dokumentasi cerita dari generasi sebelumnya.
Komunitas Literasi juga dapat
berperan menyelenggarakan klub membaca intergenerasi, dapat mendorong literasi
digital untuk lansia dengan pendekatan humanis, tidak menggurui, tapi
mendampingi. Literasi adalah jembatan cinta antar generasi, tempat kita saling
mengisi, saling belajar, bukan bersaing.
Dalam setiap dialog, cerita, atau tawa yang dibagikan, terdapat benih kasih
yang tumbuh, menghidupkan nilai-nilai, menghargai warisan, dan menyambut masa
depan. Generasi muda butuh akar, generasi tua butuh sayap. Literasi adalah
ruang di mana keduanya bertemu, saling menumbuhkan, saling menghidupkan.(fsy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar