Senin, 26 Juni 2023

Sifat Inklusif

Sifat Inklusif

Oleh ; Febri Satria Yazid

*pemerhati sosial

            Kepedulian sosial mengacu pada perhatian dan perasaan empati yang dimiliki seseorang, baik secara pribadi maupun kelompok terhadap kesejahteraan dan kebutuhan orang lain serta masyarakat pada umumnya. Hal ini mencakup kesadaran dan perhatian terhadap isu-isu sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan, permasalahan lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan berbagai masalah sosial lainnya. Kepedulian sosial melibatkan upaya nyata untuk membantu dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat, baik yang dilakukan secara  individu maupun yang dilakukan oleh yayasan-yayasan untuk kegiatan  berbagai  program dalam rangka mengentaskan  hal-hal yang disebutkan di atas menuju masa depan yang lebih  baik dan berkesinambungan melalui berbagai  pelatihan softskill,  kesiapan kerja, pelatihan kewirausahaan, magang dan vokasi untuk orang yang berada di sekolah luar biasa dengan  disabilitas. Untuk kelancaran Program dimaksud,  bisa saja  yayasan tersebut menggandeng organisasi yang menghimpun pelaku usaha mikro kecil dan menengah  untuk pelaksanaan pelatihan kewirausahaan bagi orang muda di sekolah luar biasa dengan disabilitas, mendidik dan mempersiapkan diri mereka menjadi seorang entrepreuneur ( menjalankan aktivitas kewirausahaan dengan karakteristik dan bakat khusus  dengan mengelola modal operasional dan memasarkannya ) dan membantu mereka menuju proses produksi yang lebih efektif dalam mengarahkan tujuan yang hendak dicapai dengan efisien yaitu dengan menyelesaikan proses produksi secara tepat , cermat dan berdaya guna.

            Ada beberapa gagasan yang dikembangkan untuk memperkuat program pelatihan kewirausahaan di sekolah luar biasa untuk melahirkan pengusaha dan  pemimpin muda untuk masa depan yang berkesinambungan  antara lain dengan  memperluas jangkauan orang muda  di sekolah luar biasa dengan disabilitas (usia 16 – 27 tahun) untuk mendapatkan   penguatan SEL (Social Emotional Learning) berupa pembelajaran yang akan memberi dampak positif dalam menghadapi dunia kerja ataupun berwirausaha.  Selanjutnya mengintegrasikan beberapa keterampilan baru yang sangat dibutuhkan dalam sistem kerja di masa depan di era digital, secara khusus keterampilan ‘growth mindset’ (pola pikir bertumbuh).dan  memberikan perhatian dalam mengimplementasikan keterampilan kesiapan kerja tersebut dalam dunia digital (digital lens) di samping dalam dunia nyata. Tujuan lain yang hendak dicapai adalah memperkuat keterampilan digital bagi orang muda dengan disabilitas serta memperkuat ‘pengarusutamaan’ (sebuah proses yang dijalankan untuk menggiring aspek-aspek yang sebelumnya tidak penting atau  bersifat marjinal ke dalam putaran pengambilan keputusan dan pengelolaan aktivitas utama kelembagaan  dan program kerja ) , seperti  gender dan inklusi sosial di dalam pelaksanaan program. Hal lain yang hendak dicapai adalah memberikan perhatian pada penguatan kemampuan manajemen lembaga pendidikan atau lembaga pelatihan dalam pengelolaan program pendidikan kesiapan kerja dengan memberi perhatian pada peran orang tua dalam memperkuat pendidikan kesiapan kerja bagi remaja dan orang muda dengan disabilitas. Lebih memperkuat komponen praktik atau magang kerja di dunia kerja atau dunia industri dengan lebih memperkuat jaringan kemitraan antara lembaga pendidikan dan pelatihan dengan lembaga pemberi kerja atau dunia usaha. Membangun jaringan kemitraan antara sesama lembaga pemberi kerja atau dunia usaha yang telah melibatkan orang dengan disabilitas dalam tempat kerjanya  serta mendorong perluasan perusahaan atau lembaga pemberi kerja yang inklusif. Memberikan penguatan keterampilan kewirausahan yang lebih ramah lingkungan (green entrepreuneur). Memberikan penguatan pada regulasi atau kebijakan pemerintah untuk mendukung program pendidikan kesiapan kerja bagi remaja dan orang muda dengan disabilitas ( ToR Yayasan Indonesia Bhadra Utama/Ibu Foundation )

            "Disabilitas" untuk menggambarkan kondisi fisik, kognitif (aktivitas mental yang saling berhubungan antara persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi), atau sensorik yang dapat membatasi aktivitas dan partisipasi seseorang dalam kehidupan sehari-hari. "Difabel" digunakan sebagai alternatif untuk istilah "disabilitas" yang mungkin dianggap memiliki konotasi negatif atau membatasi pandangan terhadap individu dengan kebutuhan khusus. Istilah ini menekankan bahwa meskipun individu dengan disabilitas mungkin memiliki keterbatasan dalam beberapa area, mereka juga memiliki keunikan, bakat, dan potensi yang dapat dikembangkan.

            Penting untuk dicatat bahwa penggunaan istilah "difabel" tidak begitu umum di Indonesia dan masih banyak yang lebih akrab dengan istilah "disabilitas". Penggunaan istilah ini dapat bervariasi tergantung pada preferensi individu dan konteks budaya masing-masing. Disabilitas merupakan kondisi keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama sehingga mengalami hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia   ,  "Difabel" adalah terjemahan langsung dari bahasa Inggris "differently abled", yang digunakan di beberapa negara untuk menggambarkan orang-orang dengan disabilitas dengan lebih positif. "Difabel" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang dengan disabilitas. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris "differently abled" yang berarti "berkebutuhan khusus" atau "berkebutuhan berbeda". Istilah ini menggambarkan pandangan yang lebih positif tentang kemampuan dan potensi individu dengan disabilitas.

            Seseorang yang memiliki kepedulian sosial umumnya memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap sesama manusia dan lingkungan di sekitarnya. Mereka dapat melakukan berbagai tindakan, mulai dari memberikan bantuan secara langsung kepada individu atau kelompok yang membutuhkan, hingga terlibat dalam upaya perubahan sosial melalui advokasi, kampanye, atau kegiatan sukarela. Kepedulian sosial juga melibatkan sikap inklusif  berupa usaha yang dilakukan seseorang untuk menempatkan dirinya ke dalam sudut pandang orang lain dalam memahami suatu hal atau masalah. Inklusif berasal dari bahasa Inggris (inclusion) yang berarti sebuah tindakan mengajak atau mengikutsertakan dan penghargaan terhadap keberagaman serta upaya untuk mempromosikan persamaan hak dan kesempatan bagi semua orang. Ini berarti tidak hanya memperhatikan kebutuhan sosial dan ekonomi, tetapi juga menghormati hak asasi manusia, keadilan, dan kesetaraan gender. Secara keseluruhan, kepedulian sosial mencerminkan sikap saling peduli dan bertanggung jawab sebagai warga negara yang berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup bersama dan mengurangi ketidakadilan sosial dalam masyarakat.

            Sikap sesama terhadap disabilitas sangat penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan adil bagi semua individu, termasuk mereka yang memiliki kecacatan atau disabilitas. Beberapa sikap yang bisa kita tunjukkan dalam berinteraksi dengan sesama yang memiliki disabilitas adalah adanya rasa  empati, menghindari prasangka, menghormati otonomi, kesadaran akan aksesibilitas berupa ukuran kemudahan lokasi untuk dijangkau dari lokasi lainnya melalui sistem informasi  dan menghindari  patronisasi ( dengan tidak merendahkan atau memperlakukan orang disabilitas sebagai obyek yang dikasihani , tetapi memperlakukan mereka sebagai individu yang setara ).Memberikan dukungan dan kolaborasi  orang disabilitas dengan memberikan dukungan dan kesempatan yang mereka butuh kan untuk mencapai potensi mereka. Berkolaborasi dengan mereka dalam proyek atau aktivitas, dan jangan ragu untuk menawarkan bantuan jika diperlukan, tetapi selalu dengan menghormati keinginan dan batasan mereka. Membuka pikiran dan belajar dengan memberikan ruang untuk belajar lebih banyak tentang pengalaman hidup orang dengan disabilitas dan tantangan yang mereka hadapi. Tulisan ini merupakan catatan yang saya rangkum dari proses mentoring 18 sekolah luar biasa yang berada di Bandung Raya  yang dilakukan  Kadin Kota Cimahi bersama Yayasan Ibu Foundation & Save The Children dari tanggal 12 -23 Juni 2023 (fsy)

 

 

 

Selasa, 20 Juni 2023

Berdusta

 

Berdusta

Oleh ; Febri Satria Yazid

·         Pemerhati sosial

             Menurut kamus besar bahasa Indonesia , berdusta adalah /ber·dus·ta/ v berkata tidak benar; berbohong.  Tentu ada hal yang mendasari atau menjadi alasan bagi seseorang untuk berdusta. Manusia merupakan makhluk sosial yang kompleks dan unik , karenanya  sangat menarik untuk diperhatikan tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan sesama, salah satunya hal-hal yang mendasari manusia untuk berdusta .  Manusia berdusta atas berbagai alasan yang kompleks, banyak hal yang mendasari seseorang melakukan perbuatan dusta ,  antara lain bertujuan untuk melindungi diri dari konsekuensi yang mungkin timbul akibat tindakan atau kesalahan yang mereka lakukan, bisa jadi karena  takut dihukum, kehilangan reputasi di mata kerabatnya, atau merusak hubungan dengan orang lain. Selain untuk melindungi diri , berdusta dilakukan manusia terhadap sesama disebabkan oleh keinginan untuk meraup keuntungan pribadi atau untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka mungkin menginginkan kekayaan, kekuasaan, atau pengakuan yang tidak dapat mereka per oleh dengan jujur, sehingga yang bersangkutan merasa perlu melakukan tipu-tipu untuk memuluskan jalan mencapai atau meraih kekayaan dan kekuasaan itu dengan cara apa pun.

             Selain itu manusia kadang-kadang berdusta untuk mempertahankan hubungan sosial dengan orang lain. Mereka mungkin takut bahwa kejujuran akan merusak hubungan, sehingga mereka memilih untuk menyembunyikan kebenaran atau memberikan informasi yang salah, meski tindakan tersebut dapat berdampak hilangnya kepercayaan dari orang yang dia dustai karena melanggar komitmen yang telah disepakati sebelumnya.

            Berdusta juga bisa dilakukan oleh karena adanya perasaan inferioritas  yaitu  perasaan yang berasal dari kekurangan diri (Nugrahaningtyas, 2014). Supraktinya (1993) mengemukakan inferioritas adalah perasaan yang timbul akibat lemahnya kondisi psikologis dan sosial yang dirasakan secara pribadi atau perasaan yang timbul karena kelemahan yang dimiliki atau cacat tubuh yang ada. Mereka berdusta karena mereka merasa tidak aman dengan diri mereka sendiri atau merasa bahwa kebenaran tentang diri mereka tidak cukup baik. Dengan berdusta, mereka berharap untuk menciptakan citra yang lebih baik atau lebih sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat, untuk menutupi rasa rendah diri dari orang lain. Kondisi seperti ini yang justru dapat mengembangkan rasa rendah diri dan inferior dalam diri individu, lalu mendorong dirinya untuk berdusta untuk menutupi kekurangan dirinya. Cara utama yang harus dilakukan untuk mengatasi inferioritas agar tidak berlanjut dengan tindakan berdusta  adalah dengan berhenti melihat perjalanan atau kehidupan kita sebagai perlombaan, membandingkan pencapaiannya yang belum sebaik teman, saudara atau tetangga mereka. Jadilah diri sendiri yang dapat menghargai pencapaian yang telah diraih, pasang “kaca mata” kuda yang fokus pada diri sendiri. Dengan demikian sikap ini dapat mencegah diri untuk melakukan tindakan dusta.

            Manusia bisa juga berdusta dengan tujuan untuk melindungi orang lain. Terkadang, orang berdusta dengan niat baik untuk melindungi perasaan atau kepentingan orang lain. Mereka mungkin berpikir bahwa kebenaran akan menyakiti atau merugikan orang yang mereka sayangi, sehingga mereka memilih untuk berdusta agar tidak menyebabkan rasa sakit atau kerugian. Dalam kehidupan bermasyarakat sering kita mendengar istilah “kebohongan putih” / white lie yang  merupakan tindakan menyampaikan pernyataan palsu dengan maksud / niat  untuk mencegah perasaan seseorang terluka. Jenis kebohongan ini sering kali dianggap sebagai kebohongan kecil yang tidak berbahaya dengan alasan “demi kebaikan”. Hal ini sesuai dengan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW bahwa "kedustaan itu tidak halal kecuali pada tiga hal; seorang suami yang berbicara terhadap istrinya agar dia ridha padanya, kedustaan pada peperangan, dan kedustaan yang dilakukan dalam rangka untuk mendamaikan (sesama) manusia." (HR Tirmidzi)

            Jika dalam masyarakat kita temukan seseorang berbohong tanpa disebabkan oleh uraian salah satu uraian di atas, bisa jadi yang bersangkutan mengalami apa yang secara medis disebut mythomania atau kebohongan patologis merupakan masalah yang membuat seseorang melakukan kebohongan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini berbeda dengan berbohong biasa yang memiliki tujuan khusus.  Pengidap mythomania biasanya berbohong tanpa disertai tujuan khusus untuk menutupi kesalahan, memutar balikkan fakta atau penyebab lainnya, tetapi merupakan satu jenis gangguan mental yang memerlukan tindakan medis.  Penderita  mythomania melontarkan kebohongan, tapi tidak memiliki keuntungan, cerita yang diutarakan biasanya dramatis, pelik dan sangat detail, menjadi tokoh utama penyelamat atau korban, mempercayai bahwa cerita mereka benar-benar terjadi.  Kebohongan tersebut disampaikan berkali-kali dan terus-menerus.

            Penting untuk diingat bahwa kejujuran adalah nilai penting dalam hubungan dan masyarakat. Kebenaran membantu membangun kepercayaan dan menghargai integritas individu, sementara kebohongan cenderung memperburuk situasi jangka panjang dan merusak hubungan yang ada. Dalam banyak kasus, kebohongan / dusta bisa menjadi kebiasaan yang sulit diubah karena mungkin memberikan manfaat sementara atau menghindarkan dari masalah sementara. Pada beberapa kondisi mungkin dalam diri kita atau kita pernah mendengar orang lain membahas tentang kesuksesan, keberhasilan atau kondisi lain yang berakhir dengan membandingkan entah diri sendiri maupun orang lain. Hasil dari perbandingan ini kadang bisa meningkatkan semangat untuk menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, ada saat dimana dorongan dan motivasi ini berbanding terbalik dan justru menjadikan orang  berdusta untuk  menyamai orang yang menjadi tolok ukur tersebut.(fsy)

 

 

Rabu, 07 Juni 2023

Nakhoda

 

Nakhoda

Oleh ; Febri Satria Yazid

·         Pemerhati sosial

 

            Nakhoda merupakan pemimpin di atas kapal yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan kapal, penumpang, dan barang muatan selama proses pelayaran dari pelabuhan pemuatan sampai di pelabuhan tujuan. Agar tanggung jawab tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan maksimal, maka Nakhoda mesti diberi otoritas penuh dalam melaksanakan tugas tersebut. Nakhoda dalam menjalankan kepemimpinannya akan menjadi contoh atau panutan bagi ABK ( Anak Buah Kapal ). Segala tingkah laku dan sikap yang dilakukan oleh Nakhoda menjadi tolak ukur bagi ABK karena ABK akan melihat dan menilai gerak - gerik, cara memimpin dan cara Nakhoda menyelesaikan permasalahan di atas kapal. Selain ABK pada kapal juga terdapat Mualim III yang merupakan  seorang pelaut bertugas sebagai pengatur, memeriksa, memelihara semua alat-alat keselamatan kapal dan juga bertugas sebagai pengatur arah navigasi, yang bertanggung jawab kepada nakhoda.

            Peran awak  kapal yang terdiri dari Nakhoda , Mualim III  dan ABK yang terdapat pada sebuah kapal, sering dijadikan analogi pada  kehidupan rumah tangga.  Nakhoda sering digunakan sebagai analogi  bagi suami yang bertindak sebagai pemimpin, imam , kepala rumah tangga. Demikian juga Mualim III yang mempunyai banyak peran dan keleluasaan  diibaratkan sebagai istri dalam kehidupan berumahtangga yang bertanggungjawab atas anak-anak ( diibaratkan sebagai ABK).

            Bangsa perempuan itu kuat. Lihat saja dalam permainan catur , ‘Queen’ itu jauh lebih sakti dibandingkan dengan ‘King’. Queen bisa bergerak lincah kemana-mana, mempunyai daya jelajah dan paling serius dalam mengancam lawan. Jangan coba-coba kehilangan Queen di tengah permainan catur, daya serang akan menjadi lemah dan sungguh menyesakkan bila dalam permainan catur kehilangan Queen. ‘King’ meski bergerak selangkah-selangkah dalam permainan catur, tetapi begitu Raja nya mati, maka permainan selesai sudah. Perempuan berhak mandiri, mendapatkan kesempatan di ranah publik untuk berprestasi. Perempuan juga harus mandiri secara ekonomi. Namun, kemandirian perempuan ini semestinya juga diimbangi dengan keharmonisan di rumah tangga. Perempuan dan laki-laki, dalam rumah tangga, perlu lebih bijak menyikapi kemandirian perempuan. Bagaimanapun dalam rumah tangga, hanya diperlukan satu nakhoda. Meski bukan berarti satu pihak tunduk kepada pihak lainnya, tanpa saling membebaskan dan memberikan dukungan mengembangkan potensi diri.  Kemandirian perempuan secara ekonomi , mesti disikapi dengan bijak , tidak lantas merusak keharmonisan , karena tidak sedikit perempuan yang secara ekonomi mandiri, namun relasi dengan suami kurang harmonis, karena laki-laki  menjadi tidak nyaman jika kemandirian ini menjadikan minimnya penghormatan terhadap suami sebagai nakhoda dalam rumah tangga, malah jadi pesaing nakhoda dalam rumah tangga. Karena rumah tangga tidak boleh memiliki dua nakhoda, jika tidak menghendaki kapal rumah tangga karam di tengah pusaran gelombang kehidupan. Apalagi dalam masyarakat kita  yang menganut sistem patriarki (serapan dari bahasa Latin: patriarchia) adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Seyogianya perempuan berkualitas yang dapat menjadikan pertahanan dan daya serang lebih kuat dalam menerjang badai ( seperti peran Queen dalam permainan catur ) memberi dukungan kepada  nakhoda  saat  mengendalikan kapal menuju pelabuhan / dermaga dalam mengantarkan anak-anak meraih kemandirian hidup dan menjaga keharmonisan keluarga.

             Dalam ajaran agama Islam kita memahami derajat suami lebih tinggi daripada istri dalam kepemimpinan rumah tangga. Dalam surat An-Nisa’ ayat 34 Allah SWT berfirman bahwa  Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz  yaitu  yang meninggi, menonjol, durhaka, menentang, atau bertindak kasar. di antara suami dan istri atau perubahan sikap suami atau istri, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.

            Alquran menetapkan suami lebih wajar memimpin dalam rumah tangga karena dua hal. Pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ), Prof. M. Quraish Shihab mengatakan dalam bukunya Islam yang Disalahpahami, pertama, karena suami berkewajiban membayar mahar atau mas kawin saat pernikahan. Ia juga berkewajiban menyiapkan kebutuhan hidup sang istri dan anak-anaknya. Kedua, suami memiliki kemampuan dalam memimpin secara teratur dan berkesinambungan. Beberapa ilmuwan menyebut, lelaki memiliki emosi yang lebih stabil dan dapat lebih sabar menghadapi lawan jenisnya dibandingkan perempuan. Namun, perlu digarisbawahi, tugas kepemimpinan itu baru wajar diperoleh suami apabila dia mampu melaksanakan tugas-tugasnya terhadap keluarga sebagaimana yang disebutkan dua hal tadi. Di sisi lain, perlu diingat, Islam menuntun pasangan suami-istri selalu bermusyawarah dalam kehidupan rumah tangga. Ini mencerminkan musyawarah tersebut dilakukan bukan bersifat sewenang-wenang atau memaksa istri melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama atau mencabut hak-hak pribadi dari sang istri. Misal, menyangkut kepercayaan atau harta benda.

            Sang Maha Pencipta  telah menciptakan khalifah dibumi, laki-laki dan perempuan menurut kodrat, indra dan akal yang berbeda-beda serta mempunyai ketetapan syariat untuk masing-masingnya. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Najm ayat 45, “Dan bahwasanya Dialah (Allah) yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan”.  Ilmu dalam pernikahan adalah harus memaknai dan memahami satu sama lainnya. Dalam penilaian hal bersifat teknis, Laki-laki diibaratkan seperti obat nyamuk yang putarannya ke dalam, penjelasannya adalah laki-laki menyelesaikan masalah dengan logika. Berbeda dengan perempuan yang diibaratkan sebagai obat nyamuk putarannya keluar, yang menyelesaikan masalah dengan perasaan atau hati.  Jika dalam ilmu psikologi perbedaan laki-laki dan perempuan sangat terlihat jelas, karena keduanya memiliki sesuatu yang unik. Maka, itulah Allah telah menciptakan keduanya berpasang-pasangan. Perbedaan dalam ilmu psikologi antara keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah Kepercayaan diri, Cara pandang, Emosi, Ketepatan waktu, Perilaku, Daya ingat, Pengendalian diri, Intelegensi Quote, Hasrat (hawa nafsu), dan Komunikasi.

            Jika dalam suatu pernikahan pasangan suami istri mau melakukan literasi atau kemelekan kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, maka, kedua insan (laki-laki dan perempuan) akan saling mengetahui bagaimana cara menghadapi masalah mereka dengan baik dan benar.  Dengan demikian keharmonisan yang diidam-idamkan manusia dalam menjalani kehidupan berumah tangga akan dapat diraih dan dirasakan.(fsy)