Memberi dan Diberi
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial
Dari kecil dalam memperkenalkan tentang perbuatan baik, mayoritas orang tua mengajarkan tentang pentingnya memberikan sesuatu kepada sesama tanpa mengingat-ingat pemberian apalagi berharap kembali, karena itu sama saja tidak ikhlas dan kalau tidak ikhlas, kebaikan tersebut tidak tercatat sebagai amalan .
Atas dasar pemahaman tersebut, lalu kita berupaya menerapkan ajaran dan didikan tersebut dalam kehidupan, akan tetapi ternyata yang kita alami dalam berinteraksi dengan sesama , hubungan yang terjadi akibat kebaikan tersebut terkadang malah jadi boomerang dan akibatkan rusaknya hubungan sosial dengan sesama. Kenapa bisa demikian , dimana letak kesalahannya, lalu hubungan seperti apa yang sesungguhnya lebih baik, yang lebih dapat melanggengkan hubungan sosial dengan sesama, yang tidak menekankan memberi harus ikhlas dan penerima mesti berterima kasih yang menyebabkan penerima jadi terpenjara mental atas kebaikan yang diterima dari pemberi atau kejadian sebaliknya dalam menyikapi pemberian, ketika penerima merasa senantiasa diperhatikan oleh pemberi, penerima menempatkan dirinya sebagai selebriti yang dikagumi oleh pemberi sebagai fans-nya, sehingga timbul kesemena-menaan di dalam interaksi mereka dan lambat laun pemberi mulai merasa tidak mendapatkan penghargaan yang pas seperti ajaran yang pernah kita peroleh sewaktu belajar ilmu agama tentang bagaimana semestinya sikap pemberi dan penerima.
Idealnya, hubungan itu seperti akar pada tumbuhan. Semakin sehat, akarnya akan berkembang semakin kuat dan mampu menyerap makanan untuk disalurkan ke setiap batang dan dahan yang tumbuh semakin rindang. Akar yang mampu menopang untuk memberi penghidupan dan berbuah kebahagiaan.Saling berusaha, saling menjaga saling peduli di saat senang ataupun saat sulit, di saat sehat ataupun sakit, dalam suka maupun duka sama-sama mau untuk saling berusaha membina komunikasi yang terbuka dan tidak hanya salah satu saja yang berusaha, sehingga hubungan yang simbiosis mutualisme yaitu hubungan antara sesama yang saling menguntungkan. Berbeda dari kedua simbiosis yang lainnya (simbiosis parasitisme dan komensalisme), simbiosis mutualisme membuat dua makhluk hidup saling menguntungkan dan membutuhkan. Hanya dengan pola hubungan simbiosis mutualisme ini, kelanggengan hubungan akan diperoleh atas dasar suka sama suka tanpa salah satunya merasa tertekan, tertindas dan yang satunya mendominasi hubungan tersebut yang dapat berdampak terjadinya pelecehan sosial dan hilangnya kemerdekaan hidup salah satunya.
Di dalam salah satu film terbaik sepanjang masa, The Godfather, tokoh Vito Corleone digambarkan sebagai seorang kepala mafia yang memiliki prinsip bahwa persahabatan adalah segalanya. Vito Corleone rela membantu siapapun, memberikan segala hal yang dia punya, hanya dengan satu syarat, orang yang nanti dibantu wajib menganggap Don Corleone sebagai sahabat. Disini dapat kita lihat Vito Corleone menanamkan prinsip dari simbiosis mutualisme yakni saling menguntungkan.
Sikap mental dan keyakinan dalam memantapkan hati dalam membangun hubungan yang sehat sangat diperlukan, agar hubungan sosial tidak berujung menjadi hubungan yang tidak sehat. Alasan seseorang dalam menjalin hubungan sosial juga penting diketahui dari awal, apakah hanya karena tak ingin merasa kesepian, pelarian, memanfaatkan sifat seseorang yang suka memberi, memanfaatkan fasilitas yang dimiliki seseorang , yang pada akhirnya akan sangat menyakitkan perasaan dan dapat merusak keikhlasan pemberi kebaikan. Hubungan yang sehat itu pada dasarnya memerlukan kebebasan untuk bisa saling menghargai. Sedangkan di dalam sebuah hubungan yang tidak sehat kerap kali terjadi tanpa adanya rasa saling itu.
Banyak alasan yang mendasari terjadinya hubungan sosial dengan sesama, salah satunya didorong oleh rasa empati dimana seseorang melibatkan dan menempatkan diri pada posisi mereka dan memahami mengapa mereka merasakan hal tertentu, lalu mencoba melakukan upaya-upaya yang dapat melepaskan orang tersebut dari keadaan yang dia alami. Misalnya adanya korban dari perang yang terjadi yang menyebabkan seorang anak menjadi yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal dunia atau seseorang yang menderita tersebut adalah orang yang kita cintai yang dapat mengakibatkan emosi seseorang menjadi lumpuh, dapat tergerak hati seseorang melihat keadaan tersebut. Studi pemindaian otak oleh ahli saraf Tania Singer dari Max Planck Society di Jerman menunjukkan bahwa ketika seseorang menyaksikan orang lain kesakitan, terjadi aktivitas di bagian otaknya yang terkait dengan rasa sakit seakan-akan ia turut merasakan sakit itu.
"Meskipun kebahagiaan yang dirasakan bersama tentu merupakan keadaan yang sangat menyenangkan, berbagi penderitaan kadang-kadang sulit," tulis Singer dan koleganya Olga Klimecki, seorang ahli saraf di Universitas Jenewa. Dalam keadaan terburuk, orang merasakan "tekanan empatik", yang bisa menjadi penghalang untuk bertindak. Menurut Singer dan Klimecki, tekanan seperti itu bisa mengarah pada sikap apatis, penarikan diri, dan perasaan tidak berdaya, dan bahkan dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Para ilmuwan tidak menyarankan bahwa empati harus dihilangkan secara aktif, karena ada kalanya menempatkan diri di posisi seseorang adalah langkah pertama menuju tindakan positif, perhatian, dan bantuan untuk orang lain. Hal yang lebih diperlukan adalah membuat perbedaan yang lebih jelas antara rasa empati dan rasa kasih sayang. Jika empati adalah tentang menempatkan diri di posisi orang lain, maka kasih sayang adalah "perasaan peduli terhadap penderitaan orang lain yang disertai dengan motivasi untuk membantu", Untuk menjadi orang yang penyayang, tidak berarti kita harus berbagi perasaan dengan seseorang. Ini lebih tentang memperluas kebaikan terhadap orang lain. Terinspirasi oleh hasil pemindaian otak para biksu Buddha, Singer mendapati bahwa rasa belas kasihan pada diri seseorang bisa ditingkatkan, melalui metode latihan sederhana yang berdasarkan kesadaran (mindfulness), dengan tujuan merasakan perasaan positif dan hangat tentang orang lain tanpa berfokus pada pengalaman yang dialaminya yang dapat menyebabkan keletihan dan apatis, serta mencegah kita untuk menolong orang-orang yang paling membutuhkan. Lebih buruk lagi, tendensi orang-orang untuk berempati bahkan bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi mereka agar bertindak agresif.
Saling merupakan kata kunci dari uraian di atas dalam membangun hubungan sosial yang baik agar bisa langgeng, tanpa ada dominasi, tanpa adanya tekanan, tanpa adanya pikiran untuk memanfaatkan, dengan demikian keikhlasan dapat terkawal kesuciannya dalam hubungan yang harmonis menjadi manusia bernilai, memberi manfaat pada sesama. (fsy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar