Rabu, 06 April 2022

 

Penjara Mental

 

Oleh: Febri Satria Yazid, Pemerhati Sosial

Bermula dari komentar atas penggalan dari buku saya Aura positif, saya terlibat diskusi panjang dengan adik kelas saya jaman SMP tentang kendali diri, manusia yang membingungkan, tabula rasa dan hal-hal tentang perilaku manusia, sesuai dengan keilmuan yang dipelajari adik kelas saya di Perguruan Tinggi, menambah wawasan dan pemahaman saya tentang uniknya makhluk yang bernama manusia, hingga akhirnya kami membahas tentang penjara mental.

Dianalogikan seperti kerbau besar yang dituntun dengan seutas tali tipis oleh anak kecil, yang kokoh bukan tali kekangnya,tapi keyakinannya. Awalnya merenggut keyakinan diri, berikutnya meyakinkan bahwa tidak bisa merubah diri sendiri, itulah penjara mental yang terpaksa berjalan mengikuti langkah orang lain. Sangat banyak orang yang secara sadar atau tidak sadar memasukkan diri mereka ke penjara yang tidak kasat mata, yang lebih mengerikan dan dapat mengurung diri mereka seumur hidup Satu-satunya cara untuk keluar dari penjara mental adalah dengan sadar menelaah setiap kepercayaan yang dipegang seseorang. Tidak ada kepercayaan baik atau buruk yang ada adalah kepercayaan yang mendukung atau menghambat.

Merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan dengan kata lain disebut tabula rasa (kertas kosong), lalu sedikit demi sedikit pengetahuannya diperoleh melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap dunia di luar dirinya

Gordon Alport seorang psikolog yang menyebutkan bahwa setiap manusia di muka bumi ini berbeda dengan manusia lain. Perbedaan itu yang menjadikan manusia unik dan khas yang tampak pada perilaku dan faktor kognisi masing-masing individu yang menyebabkan mereka tetap berlainan dengan yang lainnya. Kognisi adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa.

 Selain membiarkan diri dikendalikan orang lain, penjara mental bisa juga terjadi akibat berbagai kepercayaan salah yang mereka terima sebagai sesuatu yang benar, tanpa pernah mereka periksa keabsahan dan kebenaran kepercayaan itu. Kepercayaan seseorang mengendalikan cara berfikir, sikap, perilaku, bagaimana ia menggunakan waktunya, siapa kawannya, buku apa yang ia baca, gaya hidup, penghasilan, dan masih banyak aspek lain. Apapun kepercayaan yang kita pegang maka kepercayaan ini akan mempengaruhi hidup kita. Kita perlu mendobrak penjara sosial untuk memulihkan mental block yang membatasi ruang gerak manusia dalam menyikapi keadaan yang punya kenyataan atas keinginan kita Imam Ghazali berpesan, “Kita menjadi seperti apa yang kita yakini.” Ada dua prinsip kuat, meminjam istilah Prescott Lecky, yang dapat mengubah kepercayaan dan mengatasi ketakutan, hal yang hampir menimpa semua orang. Pertama, keyakinan bahwa kita mampu mengerjakan tanggung jawab kita sehingga kita cukup mampu menunjukkan kemandirian kita dan kedua, keyakinan bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang membuat kita sejajar dengan orang lain dalam hal bakat dan kemampuan, dan bahwa kita tidak semestinya meremehkan diri sendiri atau membiarkan diri kita merasa terhina. Hubungan antara kecerdasan hati dengan kemampuan berpikir mirip dengan hubungan antara mobil dengan pengendaranya. Seorang pengendara andal, bisa jadi, tidak bisa berbuat apa-apa, jika mobil yang dikendalikannya “tidak hebat”. Sebaliknya, sebuah mobil hebat pun tidak berguna sama sekali, jika pengendaranya tidak bisa mengendalikan kendaraan dengan baik.

Kecerdasan hati, ibarat seorang sopir, adalah pengendali. Keterampilan berpikir, laksana sebuah mobil, adalah potensi. keduanya laksana dua sisi uang logam, saling mendukung dan saling melengkapi, layaknya mobil dan pengendaranya dan kita semua jika berharap sukses dalam hidup ini, harus bisa memiliki keduanya, kecerdasan hati dan kemampuan berpikir. Karena itu, robohkan penjara itu. (Diposting oleh Khrisna Pabichara di 19.08)

Tidak percaya pada diri sendiri merupakan faktor utama yang menggiring kita pada penjara mental, karena kita cenderung mempercayai sesuatu yang keliru menjadi benar dalam banyak aspek kehidupan sosial, misalnya dalam menyikapi terjadi pandemi Covid 19, dalam menyikapi saat kita sakit yang dalam masyarakat dikaitkan dengan pemahaman mistis, dalam pemahaman kita tentang hutang dalam mengelola usaha dan banyak contoh lain yang akhirnya menjerumuskan kita pada kondisi terbelenggu. Apalagi jika kita berada dalam kondisi tertekan dan tidak bebas nilai dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan. Penjara mental memang menjadi hal yang sangat ditakuti oleh semua orang karena kerap terjadi lantaran adanya sejarah di dalam pengalaman yang membekas dalam diri dan pikiran seseorang.

Penjara mental akan merusak kepercayaan diri, menimbulkan rasa malas untuk mencoba sesuatu, karena sudah memikirkan hasil akhir sebelum mencobanya, takut ditolak dalam melamar kerja atau menyatakan rasa cinta misalnya. Bebas dari penjara mental mutlak dilakukan agar punya rasa percaya diri yang baik (fsy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar