Obyektivitas
Oleh
; Febri Satria Yazid
*pemerhati
sosial
Pagi
ini saya memperoleh pesan pribadi melalui perangkat seluler dari sahabat dekat lawan berat dalam berdebat, berisi
tentang kisah in memoriam seorang anak tentang bapaknya. Luar biasa kesan
subyektif dari seorang anak terhadap bapaknya dan sepertinya secara umum
begitulah kebanyakan anak menempatkan orang tuanya sebagai pahlawan ,bak kata
bijak mengatakan ‘ setiap pedagang pasti memuji barang dagangannya’. Lalu
postingan sahabat itu saya komentari , tulisan luar biasa dan menginspirasi,sayang
kehilangan keobyektifitasan, karena pada hakekatnya manusia pasti punya sisi
lemah yang menurut saya perlu juga dipaparkan untuk pembelajaran bagi mereka
yang membaca tulisan kita.
Saat
pernikahan putri saya, setelah prosesi ijab kabul, saya juga menyerahkan
catatan selama putri saya menjalani kehidupan bersama dalam keluarga kami. Saya
berusaha memaparkan seobyektif mungkin sejarah perjalan kehidupan putri saya, karena
menurut saya hal ini sangat penting bagi suaminya dalam melihat sosok istrinya
dan dengan mengetahui secara detail dan jelas, saya berharap suaminya akan
dapat meneruskan hal-hal baik dan menyempurnakan sisi-sisi yang selama ini
belum maksimal saya lakukan sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga. Itulah
hakekat sesungguhnya dari pelaksanaan pernikahan, kesinambungan tanggungjawab.
Bisa
jadi tulisan tentang in memoriam memang ‘mentabukan’ membahas dengan obyektif
atas dasar keyakinan tidak baik membahas hal-hal keburukan terhadap seseorang
yang telah tiada, sekalipun tujuan kita untuk menyampaikan pesan moral kepada
pembaca. Atau bisa juga pandangan
subyektifitas dipengaruhi oleh keberadaan orang yang kita kupas perjalanan
kehidupannya , apakah dia dipandang sebagai seorang pahlawan atau pengkhianat
di mata kita. Apalagi catatan kita mengupas tentang orang yang secara ajaran
agama adalah orang yang mesti kita muliakan dan dihormati keberadaannya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia , objektivitas/ob·jek·ti·vi·tas/ /objéktivitas/ n adalah
sikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan
dalam mengambil putusan atau tindakan; keobjektifan. Kita bebas menyampaikan
pemikiran kita tanpa terbelenggu oleh penilaian apakah pikiran kita tersebut
akan dinilai tidak sopan oleh pembaca. Pikiran yang disopan santunkan adalah
kemunafikan ( RG ).
Menulis
adalah suatu kegiatan mengungkapkan gagasan, pikiran, pengalaman dan
pengetahuan ke dalam bentuk catatan dengan menggunakan aksara, lambang atau
simbol yang dibuat secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh
orang lain dan mengandung pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembacanya.
Manusia merupakan
mahluk unik, tidak bisa lepas dari waktu dan tempat dimana mereka berada,
karena itu nilai yang mereka yakini dalam estetis, dan etis akan menjadi salah satu
faktor penting dalam hidup mereka baik dalam bertindak, bergaul, bahkan
mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Hal serupa tidak lepas dari seorang
penulis, terutama sekali dalam hal ini adalah sejarawan yang harus menulis masa
lalu dari manusia itu sendiri. Sejarah merupakan humaniora atau ilmu budaya
adalah ilmu yang mempelajari tentang cara membuat atau mengangkat manusia
menjadi lebih manusiawi dan berbudaya. Menurut bahasa latin, Humaniora biasa
disebut artes liberales yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan menurut
pendidikan Yunani Kuno, humaniora disebut dengan trivium, yaitu logika,
retorika dan gramatika. Pada hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang bersentuhan
dengan nilai-nilai kemanusiaan . Jadi yang terpenting bagi seorang penulis sejarah adalah tidak terjadinya antikuarian yaitu menjadikan obyek yang ditulis sebagai koleksi
atau mempelajari benda kuno (antik) dalam
penulisan sejarah. Karena sejarah harus di tulis tanpa harus melebih-lebihkan
atau mengurangi fakta sejarah, meraka tidak perlu juga terjebak dalam
kesimpulan yang provokatif, termasuk suka atau tidak suka dalam menilai
peristiwa sejarah tersebut. Meski sejarawan tidak akan bisa menemukan
objektivitas mutlak sama halnya seperti
objektivitas dalam ilmu alam ataupun sebagian ilmu sosial yang secara langsung
dapat melihat, merasakan, mendengar dan lain sebagainya apa yang menjadi
perhatian mereka, karena sejarah yang objektif tenggelam pada peristiwa aslinya
yang sudah terjadi dan tidak pernah berulang kembali sebagaimana aslinya. Namun
demikian seorang sejarawan tetap akan memulai tulisan mereka berdasarkan
peristiwa yang objektif, ditulis oleh subjek (manusia) dan pada akhirnya akan
menghasilkan gambaran dari peristiwa yang menjadi objek perhatiannya meskipun
tidak akan selengkap peristiwa aslinya.
Bung
Karno dalam salah satu pidatonya
membahas tentang pentingnya sejarah ,menekankan agar kita tidak melupakan
sejarah. Kata Bung Karno ‘jikalau engkau
meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas kekosongan’ , Menulis In memoriam, catatan perjalan
kehidupan, tentu mempunyai pesan sosial dan pesan moral yang hendak disampaikan
penulis kepada pembacanya, dan agar
pesan itu dapat sampai secara maksimal , tentu sebisa mungkin disajikan dengan
obyektif dan mengurangi faktor subyektivitas penulisnya. ( FSY )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar