Selasa, 14 Juli 2020

Fenomena Dungu


Fenomena Dungu
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial

“Sungguh, akan datang kepada manusia tahun-tahun yang sangat menipu. Para pendusta pada zaman itu dianggap sebagai orang yang jujur, sementara orang yang jujur dianggap pendusta. Para pengkhianat pada zaman itu dipercaya, sementara orang-orang yang amanah dianggap pengkhianat. Pada zaman itu pula Ruwaibidhah banyak berbicara.” Rasulullah pun ditanya, “Siapa Ruwaibidhah, wahai Rasulullah?” Beliau kemudian menjawab, “Orang dungu yang membicarakan urusan manusia.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.).
Fenomena seperti hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra,diyakini sebagai fenomena akhir zaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Fenomena berasa dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti gejala,  hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra, fakta, kenyataan, kejadian.
Di Tanah Air kita dalam 2-3 tahun terakhir ini dalam  Pilgub DKI dan Pilpres 2019 fenomena ini sangat terasa, dikotomi antara kutub yang menempatkan dirinya sebagai kelompok orang-orang cerdas,pengguna akal sehat dan di kutub lain kelompok yang dihujat sebagai manusia-manusia dungu,bodoh. Meski Pilgub DKI dan Pilpres 2019 telah berakhir, namun iklim kehidupan yang saling mencerca ini, kian dahsyat dan siap merobek persatuan dan kesatuan Bangsa . Yang lebih tragis lagi, baik di media sosial atau di media elektronik lainnya, masing-masing kelompok menilai dirinya cerdas ,lalu siapa sesungguhnya yang dungu? Atau  ini merupakan sunatullah yang tidak dapat dihindari sebagai bagian dari system kehidupan yang dirancang Allah SWT , zaman yang mesti dilewati manusia. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi  fenomena saling mendungukan ini ?
Semangat menyuarakan kebenaran  itu tidak diimbangi dengan cara yang benar pula. Mereka memperjuangkan pemikiran sebagai hasil berpikir dari otaknya yang merupakan karunia dari Allah SWT dengan cara yang tidak disukai Allah SWT. Mestinya sebagai wujud rasa syukur yang dalam, maka kita mesti menggunakan  otak sesuai dengan tujuan Allah SWT menganugerahkannya kepada umatNya dengan cara-cara yang elegan.Karena kebenaran yang disampaikan seringkali disertai dengan saling mencela, mencaci dan mengejek kelompok lainnya. Apakah cara semacam ini mendapat restu dari Allah SWT pencipta alam semesta?.Bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang sudah tak beretika dalam dialog ?. Bagaimana sikap kita berhadapan dengan orang yang membahas argumentasi  dengan cacian?. Resep dari Sayyida Ali,’selalu adili dirimu, lebih keras dari mengadili orang lain’. Allah SWT memerintahkan Rasul untuk berpaling dari orang-orang bodoh  “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199). Manusia yang diingatkan Allah SWT agar jangan dipedulikan  adalah orang yang bodoh tapi merasa dirinya paling pintar dan paling benar. Siapapun yang berbeda dengannya pasti salah dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. “Orang yang paling dungu adalah orang yang menganggap dirinya paling berakal” (Imam Ali bin Abi Thalib).
            Ini yang sepertinya tidak disadari oleh mereka yang tak henti-hentinya mendungu-dungukan sesama dan menempatkan dirinya sebagai orang yang paling berakal, menyatakan dirinya sebagai pengguna akal sehat.  Berhadapan dengan tipe manusia begini , memerlukan  kearifan kita dan jadi ajang yang baik dalam memperbaiki kualitas diri kita. Hinaan bahkan dapat  memperkokoh dan memperjelas kemuliaan seseorang yang dihina. Banyak kita saksikan kejadian, orang yang dihina tetap bersikap  tenang dan arif,sehingga  masyarakat  jadi bisa melihat dengan jelas siapakah dan bagaimanakah sebenarnya orang yang yang dihina dan yang menghina dan pada akhirnya hinaa itu justru kian meninggikan derajat kita
Bahwa zaman dimana orang dungu sibuk membicarkan urusan manusia adalah suatu keniscayaan dan kita sudah diberi petunjuk dan tuntunan dalam menyikapi tipe manusia begini , dengan kearifan dan kesabaran . Bak kata pepatah  “kesabaran itu tuli walaupun telinga bisa mendengar” (FSY)


4 komentar: