Jumat, 17 Juli 2020

Obyektivitas


Obyektivitas
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial

            Pagi ini saya memperoleh pesan pribadi melalui perangkat seluler dari sahabat  dekat lawan berat dalam berdebat, berisi tentang kisah in memoriam seorang anak tentang bapaknya. Luar biasa kesan subyektif dari seorang anak terhadap bapaknya dan sepertinya secara umum begitulah kebanyakan anak menempatkan orang tuanya sebagai pahlawan ,bak kata bijak mengatakan ‘ setiap pedagang pasti memuji barang dagangannya’. Lalu postingan sahabat itu saya komentari , tulisan luar biasa dan menginspirasi,sayang kehilangan keobyektifitasan, karena pada hakekatnya manusia pasti punya sisi lemah yang menurut saya perlu juga dipaparkan untuk pembelajaran bagi mereka yang membaca tulisan kita.
            Saat pernikahan putri saya, setelah prosesi ijab kabul, saya juga menyerahkan catatan selama putri saya menjalani kehidupan bersama dalam keluarga kami. Saya berusaha memaparkan seobyektif mungkin sejarah perjalan kehidupan putri saya, karena menurut saya hal ini sangat penting bagi suaminya dalam melihat sosok istrinya dan dengan mengetahui secara detail dan jelas, saya berharap suaminya akan dapat meneruskan hal-hal baik dan menyempurnakan sisi-sisi yang selama ini belum maksimal saya lakukan sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga. Itulah hakekat sesungguhnya dari pelaksanaan pernikahan, kesinambungan tanggungjawab.
            Bisa jadi tulisan tentang in memoriam memang ‘mentabukan’ membahas dengan obyektif atas dasar keyakinan tidak baik membahas hal-hal keburukan terhadap seseorang yang telah tiada, sekalipun tujuan kita untuk menyampaikan pesan moral kepada pembaca.  Atau bisa juga pandangan subyektifitas dipengaruhi oleh keberadaan orang yang kita kupas perjalanan kehidupannya , apakah dia dipandang sebagai seorang pahlawan atau pengkhianat di mata kita. Apalagi catatan kita mengupas tentang orang yang secara ajaran agama adalah orang yang mesti kita muliakan dan dihormati keberadaannya.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , objektivitas/ob·jek·ti·vi·tas/ /objéktivitas/ n adalah sikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil putusan atau tindakan; keobjektifan. Kita bebas menyampaikan pemikiran kita tanpa terbelenggu oleh penilaian apakah pikiran kita tersebut akan dinilai tidak sopan oleh pembaca. Pikiran yang disopan santunkan adalah kemunafikan ( RG ).
            Menulis adalah suatu kegiatan mengungkapkan gagasan, pikiran, pengalaman dan pengetahuan ke dalam bentuk catatan dengan menggunakan aksara, lambang atau simbol yang dibuat secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh orang lain dan mengandung pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembacanya.
Manusia merupakan mahluk unik, tidak bisa lepas dari waktu dan tempat dimana mereka berada, karena itu nilai yang mereka yakini dalam  estetis, dan etis akan menjadi salah satu faktor penting dalam hidup mereka baik dalam bertindak, bergaul, bahkan mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Hal serupa tidak lepas dari seorang penulis, terutama sekali dalam hal ini adalah sejarawan yang harus menulis masa lalu dari manusia itu sendiri. Sejarah merupakan humaniora atau ilmu budaya adalah ilmu yang mempelajari tentang cara membuat atau mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi dan berbudaya. Menurut bahasa latin, Humaniora biasa disebut artes liberales yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan menurut pendidikan Yunani Kuno, humaniora disebut dengan trivium, yaitu logika, retorika dan gramatika. Pada hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan . Jadi yang terpenting bagi seorang penulis sejarah adalah tidak terjadinya antikuarian  yaitu menjadikan obyek yang ditulis sebagai koleksi atau mempelajari benda kuno (antik)    dalam penulisan sejarah. Karena sejarah harus di tulis tanpa harus melebih-lebihkan atau mengurangi fakta sejarah, meraka tidak perlu juga terjebak dalam kesimpulan yang provokatif, termasuk suka atau tidak suka dalam menilai peristiwa sejarah tersebut. Meski sejarawan tidak akan bisa menemukan objektivitas mutlak  sama halnya seperti objektivitas dalam ilmu alam ataupun sebagian ilmu sosial yang secara langsung dapat melihat, merasakan, mendengar dan lain sebagainya apa yang menjadi perhatian mereka, karena sejarah yang objektif tenggelam pada peristiwa aslinya yang sudah terjadi dan tidak pernah berulang kembali sebagaimana aslinya. Namun demikian seorang sejarawan tetap akan memulai tulisan mereka berdasarkan peristiwa yang objektif, ditulis oleh subjek (manusia) dan pada akhirnya akan menghasilkan gambaran dari peristiwa yang menjadi objek perhatiannya meskipun tidak akan selengkap peristiwa aslinya.
            Bung Karno  dalam salah satu pidatonya membahas tentang pentingnya sejarah ,menekankan agar kita tidak melupakan sejarah. Kata  Bung Karno ‘jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas kekosongan’ ,  Menulis In memoriam, catatan perjalan kehidupan, tentu mempunyai pesan sosial dan pesan moral yang hendak disampaikan penulis kepada  pembacanya, dan agar pesan itu dapat sampai secara maksimal , tentu sebisa mungkin disajikan dengan obyektif dan mengurangi faktor subyektivitas penulisnya. ( FSY )

Selasa, 14 Juli 2020

Fenomena Dungu


Fenomena Dungu
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial

“Sungguh, akan datang kepada manusia tahun-tahun yang sangat menipu. Para pendusta pada zaman itu dianggap sebagai orang yang jujur, sementara orang yang jujur dianggap pendusta. Para pengkhianat pada zaman itu dipercaya, sementara orang-orang yang amanah dianggap pengkhianat. Pada zaman itu pula Ruwaibidhah banyak berbicara.” Rasulullah pun ditanya, “Siapa Ruwaibidhah, wahai Rasulullah?” Beliau kemudian menjawab, “Orang dungu yang membicarakan urusan manusia.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.).
Fenomena seperti hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra,diyakini sebagai fenomena akhir zaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Fenomena berasa dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti gejala,  hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra, fakta, kenyataan, kejadian.
Di Tanah Air kita dalam 2-3 tahun terakhir ini dalam  Pilgub DKI dan Pilpres 2019 fenomena ini sangat terasa, dikotomi antara kutub yang menempatkan dirinya sebagai kelompok orang-orang cerdas,pengguna akal sehat dan di kutub lain kelompok yang dihujat sebagai manusia-manusia dungu,bodoh. Meski Pilgub DKI dan Pilpres 2019 telah berakhir, namun iklim kehidupan yang saling mencerca ini, kian dahsyat dan siap merobek persatuan dan kesatuan Bangsa . Yang lebih tragis lagi, baik di media sosial atau di media elektronik lainnya, masing-masing kelompok menilai dirinya cerdas ,lalu siapa sesungguhnya yang dungu? Atau  ini merupakan sunatullah yang tidak dapat dihindari sebagai bagian dari system kehidupan yang dirancang Allah SWT , zaman yang mesti dilewati manusia. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi  fenomena saling mendungukan ini ?
Semangat menyuarakan kebenaran  itu tidak diimbangi dengan cara yang benar pula. Mereka memperjuangkan pemikiran sebagai hasil berpikir dari otaknya yang merupakan karunia dari Allah SWT dengan cara yang tidak disukai Allah SWT. Mestinya sebagai wujud rasa syukur yang dalam, maka kita mesti menggunakan  otak sesuai dengan tujuan Allah SWT menganugerahkannya kepada umatNya dengan cara-cara yang elegan.Karena kebenaran yang disampaikan seringkali disertai dengan saling mencela, mencaci dan mengejek kelompok lainnya. Apakah cara semacam ini mendapat restu dari Allah SWT pencipta alam semesta?.Bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang sudah tak beretika dalam dialog ?. Bagaimana sikap kita berhadapan dengan orang yang membahas argumentasi  dengan cacian?. Resep dari Sayyida Ali,’selalu adili dirimu, lebih keras dari mengadili orang lain’. Allah SWT memerintahkan Rasul untuk berpaling dari orang-orang bodoh  “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199). Manusia yang diingatkan Allah SWT agar jangan dipedulikan  adalah orang yang bodoh tapi merasa dirinya paling pintar dan paling benar. Siapapun yang berbeda dengannya pasti salah dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. “Orang yang paling dungu adalah orang yang menganggap dirinya paling berakal” (Imam Ali bin Abi Thalib).
            Ini yang sepertinya tidak disadari oleh mereka yang tak henti-hentinya mendungu-dungukan sesama dan menempatkan dirinya sebagai orang yang paling berakal, menyatakan dirinya sebagai pengguna akal sehat.  Berhadapan dengan tipe manusia begini , memerlukan  kearifan kita dan jadi ajang yang baik dalam memperbaiki kualitas diri kita. Hinaan bahkan dapat  memperkokoh dan memperjelas kemuliaan seseorang yang dihina. Banyak kita saksikan kejadian, orang yang dihina tetap bersikap  tenang dan arif,sehingga  masyarakat  jadi bisa melihat dengan jelas siapakah dan bagaimanakah sebenarnya orang yang yang dihina dan yang menghina dan pada akhirnya hinaa itu justru kian meninggikan derajat kita
Bahwa zaman dimana orang dungu sibuk membicarkan urusan manusia adalah suatu keniscayaan dan kita sudah diberi petunjuk dan tuntunan dalam menyikapi tipe manusia begini , dengan kearifan dan kesabaran . Bak kata pepatah  “kesabaran itu tuli walaupun telinga bisa mendengar” (FSY)


Minggu, 05 Juli 2020

Dilatih dan Didisiplinkan


Dilatih dan Didisiplinkan
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial

‘ saya selalu berpikir bahwa manusia itu seperti hewan, sementara teori konfusius mengatakan hal itu dapat diperbaiki . Saya tidak yakin manusia dapat diperbaiki, tapi mereka dapat dilatih , didisiplinkan .Anda dapat membuat seorang kidal menulis dengan tangan kanannya, tapi anda tidak benar-benar dapat mengubah insting alaminya ‘ ( Lee Kuan Yew )
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia latih/la·tih/ v, berlatih/ber·la·tih/ v 1 belajar dan membiasakan diri agar mampu (dapat) melakukan sesuatu. 2 berbuat agar menjadi biasa. Sedangkan mendisiplinkan/men·di·sip·lin·kan/ v membuat berdisiplin; mengusahakan supaya menaati (mematuhi) tata tertib.
            Atas keyakinan yang kuat itulah , Lee Kuan Yew membangun Singapura  selepas perang, penduduk setempat dibenarkan menjalankan pemerintahan sendiri tetapi masih belum mencapai kemerdekaan. Seterusnya pada tahun 1963 Singapura telah bergabung dengan Tanah Melayu bersama-sama dengan Sabah dan Sarawak untuk membentuk Malaysia,tetapi kemudian Singapura dikeluarkan dari Malaysia dan menjadi sebuah republik pada 9 Agustus 1965. Selepas keluarnya dari Malaysia, Singapura mulai muncul sebagai kuasa perdagangan dunia. Banyak fasilitas dan kemajuan dicapai semasa pemerintahan Lee Kuan Yew. Pada tahun 1990, Lee Kuan Yew mundur dari politik dan memberi kuasa pemerintahan kepada Goh Chok Tong. Pada tahun 2004 pula, Goh Chok Tong meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri dan memberi jalur kepada anak Lee Kuan Yew yaitu Lee Hsien Loong untuk memerintah.
Lee Kuan Yew sangat membenci kekumuhan, citra Singapura harus diubah, bukan lagi negara khas dunia ketiga. Pemerintahan di era Lee mengeluarkan bermacam aturan yang keras pada gaya hidup jorok. Singapura melarang warganya untuk buang ludah sembarangan dan juga makan permen karet. Bila nekat melanggar, denda ribuan dollar langsung diberikan. Dia juga mengajarkan warganya untuk disiplin. Tidak boleh ada sampah berceceran disana. Bahkan ada denda yang sangat tinggi yang diberikan kepada yang melanggar peraturan tersebut. Lee juga menyuruh warganya untuk menyiram toilet setelah membuang air besar dan kecil. Di Singapura, toilet umum banyak dijumpai di sudut-sudut jalan, dan memang kebersihannya tidak diragukan lagi. "Kami disebut negara pengasuh (karena mengurusi perilaku warga). Namun hasilnya adalah saat ini kami berperilaku lebih baik dan kami hidup di tempat yang lebih bisa diterima dibanding 30 tahun lalu," kata Lee saat diwawancara BBC. Tak lama setelah berkuasa , Lee Kuan Yew sudah memberangus oposisi politik. Dia menahan tanpa peradilan ratusan anggota Partai Komunis Singapura. Alasannya, stabilitas negara lebih penting daripada ekonomi.
Dan rumus itulah yang dia jalankan selama memerintah hingga 1992. Semua media massa milik pemerintah, tidak ada kritik, partai oposisi dikucilkan. Dia menyebutnya sebagai "Demokrasi berlandaskan nilai-nilai Asia." Lee mengenang segala terobosannya demi memajukan ekonomi Singapura. Dia menyatakan, untuk negara berkembang, demokrasi ala negara Barat merepotkan pembangunan. "Saya selalu berpikir, ini Singapura. Apa cara yang paling tepat untuk mengatasi masalah di sini? Dan saya bersyukur, saya berhasil meningkatkan harkat dua juta penduduk Singapura," tandasnya.
Saat diwawancarai New York Times 11 september 2010 Lee Kuan Yew menyatakan ; “ saya tidak mengatakan bahwa semua yang saya lakukan adalah benar, tapi semua yang saya lakukan adalah untuk tujuan yang terhormat. Saya harus melakukan beberapa hal buruk, memenjarakan teman tanpa diadili. Tutup petinya , lalu putuskan. Lalu anda menilai saya. Saya mungkin masih akan melakukan sesuatu yang bodoh sebelum petinya tertutup “.  Dengan niat mencapai kehormatan , Lee melatih dan mendisiplinkan rakyat Singapura, memenjarakan para koruptor dan mereka yang merepotkan pembangunan  agar stabilitas negara dapat dijamin.
Keberhasilan Singapura menjadi negara maju melalui  proses latihan kedesiplinan ,tentu didukung oleh berbagai faktor ,antara lain; penegakan hukum yang konsisten,pemanfaatan teknologi dan informasi untuk mengontrol penegakan hukum, melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan.,sehingga masyarakat secara bersama menyadari pentingnya kebersihan lingkungan, misalnya dengan melarang permen karet dan merokok  serta perbuatan  lain yang berdampak buruk kepada lingkungan sekitar dengan tindakan tegas kepada para pelanggar. Filosofi dan tata nilai masyarakat Singapura yang ditanamkan Lee Kuan Yew, tentang pentingnya menghargai waktu, pentingnya pendidikan dalam peningkatan sumber daya manusia dan menyadari keterbatasan sumber daya alam.
Kedisiplinan telah menjadi filosofi hidup masyarakat Singapura. Kejelian Lee Kuan Yew dalam melihat dengan obyektif  kondisi sosial masyarakat , melawan teori konfusius yang meyakini manusia dapat diperbaiki telah dipatahkan dengan teori bahwa yang dapat dilakukan adalah melatih dan mendisiplinkan manusia tanpa mengubah insting alaminya.
 Sebenarnya tiga Negara di kawasan Asia Tenggara , Indonesia, Singapura dan Malaysia dibangun dengan pola yang hampir sama. Baik Presiden Indonesia ,Perdana Menteri Singapura  Lee Kuan Yew , maupun Perdana Menteri Malaysia  Mahathir Muhammad ,  memimpin dengan cara keras dan tegas. Politik dikontrol sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas terjaga. Di atas stabilitas itulah pembangunan ekonomi digerakkan. Modernisasi dijalankan ketiganya dengan baik di atas fondasi sistem 'demokrasi terkendali' atau yang acap dikritik sebagai 'otoritaritarianisme terbatas'. Lalu kenapa akhirnya Indonesia tertinggal oleh Singapura dan Malaysia ?. Apa betul pernyataan Lee Kuan Yew bahwa  untuk negara berkembang, demokrasi ala negara Barat merepotkan pembangunan atau karena kita gagal mendisiplinkan diri akibat latihan yang tidak sungguh-sungguh atau karena berbeda niat dengan Lee Kuan Yew yang melakukan  semua tindakan dan kebijakan  untuk tujuan yang terhormat bagi bangsa dan rakyat Singapura, jauh dari tujuan KKN ( Korupsi ,Kolusi dan Nepotisme ) atau NKK ( Nolong Kawan-Kawan ), saatnya  kita introspeksi diri, menyadari bahwa akibat politik identitas, kita telah dibenturkan dengan isu SARA,dikotomi dengan dua kutub mayoritas vs minoritas, radikal vs PKI , liberal vs fundamental , pemerintah dibenturkan dengan rakyat, saling mencaci, saling membully. Bagi Lee Kuan Yew semangat  multi ras, multi bahasa, multi budaya , dan multi agama sangat dipertahankan untuk mengoptimalkan peluang dalam meraih kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Singapura ( FSY )