MENTAL
KONTRAS
Oleh ; Febri
Satria Yazid
*pemerhati
sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mental
itu bersangkutan dengan batin dan watak
manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.
Selama
ini kita sering mendengar atau membaca anjuran berpikir positif ,agar batin
manusia tentram dalam menyikapi perjalanan kehidupan yang dilalui,karena ilmu
yang mempelajari tentang batin dan watak manusia terus berkembang ( karena
memang manusia mahluk unik, banyak variabel tentang manusia yang terus dipelajari
ilmuwan ), belakangan ilmu psikolog justru menemukan adanya potensi masalah
dengan anjuran berpikir positif tersebut,
justru menghambat manusia , dengan memperoleh hasil yang lebih buruk,
karena merasa seolah olah sudah mencapai apa yang kita inginkan, padahal kita
sedang ‘menipu’ pikiran dan ini berdampak melemahkan keuletan manusia dalam berusaha mencapainya.
Nasehat
yang sering kita dapatkan ,’ tidak usah berpikir neqatif, ayo berpikir
positif’,ajakan yang sudah sangat popular, bahkan lingkungan mencap buruk
kepada mereka yang memikirkan sisi-sisi neqatif dari setiap hal yang hendak
dilakukan.Apakah betul buruk sikap mental orang yang berpikir neqatif ,bukankah
berpikir neqatif diperlukan untuk mengantisipasi persiapan diri dalam menghadapi
kegagalan?
Artikel
di Newsweek menyatakan positif thinking justru menyebabkan sebagian orang gagal
dan merasa depresi , jika tidak mencapai sesuatu hal yang diharapkan dan secara
‘implisit’ menyalahkan diri sendiri.
Penulis
artikel ‘the problem with positif thinking’ ,mengusulkan agar menggabungkan
positif thinking yang membayangkan hasil yang diharapkan telah dicapai dengan
neqatif thinking memikirkan
hambatan-hambatan yang bakal ditemui dalam proses pencapaian , yang disebut dengan Mental Contrasting. Penelitian
menunjukkan peserta yang melakukan mental contrasting memperoleh pencapaian
lebih baik. Pikiran yang
berbeda akan menghasilkan sikap, perasaan, emosi, dan tindakan yang juga
berbeda.
Peristiwa
yang terjadi, yang menimpa atau dirasakan oleh manusia membuatnya merasakan
suatu perasaan tertentu, memiliki emosi tertentu, berpikir, dan memiliki kesan
tertentu terhadap peristiwa itu. Saat kita berada di bawah kendali pikiran
alami kita, tindakan destruktif terjadi manakala kita memaknai peristiwa secara
salah. Persepsi kita mengenai persitiwa tertentu tidak akurat. Demikian juga
saat kita berada di bawah kendali sistem kepercayaan. Tindakan destruktif
terjadi manakala sistem kepercayaan itu menuntun kita memaknai peristiwa itu
secara salah atau tidak akurat. Menurut Dennis Greenberger dan Christine A.
Padesky, mempertimbangkan suatu pemikiran dari segi keakuratan lebih penting
ketimbang sekadar mempertimbangkannya dari segi positif atau negatif.
Terkadang,
pemikiran/ persepsi yang kita kira negatif dan destruktif justru merupakan
pemikiran yang akurat. Sebaliknya, pemikiran/ persepsi yang kita kira positif
dan konstruktif justru tidak akurat menurut konteks kejadian yang kita alami.
Padahal, seringkali dalam menyikapi suatu peristiwa, pemikiran yang akurat
sangat diperlukan, entah pemikiran itu terkesan negatif atau pun terkesan
positif. Dalam kasus penderita depresi, pemikiran positif mengenai orang lain
seringkali justru membuat si penderita semakin depresi. Mengira bahwa orang
lain adalah orang yang pandai, penuh semangat hidup, memiliki banyak teman, dan
sebagainya adalah pemikiran yang tampak
positif. Tetapi, bagi si penderita depresi, pemikiran seperti ini bisa membawa
dampak negatif ketika ia membandingkan diri sendiri (yang dipandangnya secara
negatif) dengan orang lain (yang dipandangnya secara positif).
Berpikir positif kerap dianggap
sebagai kunci kesuksesan, juga kebahagiaan. Padahal jika dilakukan dengan
proporsi yang salah, atau tidak pada tempatnya, berpikir positif malah jadi
beban. Begitu menurut Svend Brinkmann, seorang profesor psikologi di Aalborg
University Denmark. Manusia diciptakan lengkap dengan sisi emosional berbeda
pula. Tak jarang, emosi yang terpendam membuat orang jadi tidak apa adanya.
Dengan kata lain, menambah beban pikiran sebab berpura-pura.Untuk itu,
dibanding terus berpikir bahwa berpikir positif selalu yang terbaik, mengekspresikan perasaan dengan jujur lebih penting. Dr Brinkmann percaya kebenaran
tersebut. "Pikiran dan emosi kita harus mencerminkan dunia. Ketika sesuatu
yang buruk terjadi, kita harus diizinkan untuk memiliki pikiran dan perasaan
negatif, karena begitulah cara manusia memahami dunia," katanya.
Bagaimana dengan agama yang pastinya
menawarkan cara memperoleh kedamaian di dunia dan di akhirat ?mengapa Allah
menjadikan manusia berbeda-beda, dalam berfikir, bertindak dan beragama ?. Terkadang, perbedaan itu menjadikan kita
sering berselisih dengan orang yang berbeda dengan kita. Berbagai perbedaan,
terlebih perbedaan agama sering membuat kita ribut dengan penganut agama lain,
terkadang menganggap jelek penganut agama lain. Bahkan dalam agama dan
keyakinan yang sama saja,kita bisa mencari –cari perbedaan interpretasi, mahzab
dan ritual untuk dipertengkarkan (
terbentur label dan politik identitas ).Ahli tafsir Indonesia, Quraish Shihab
menuturkan bahwa Allah sangat mampu untuk menjadikan semua manusia menjadi satu
dan tidak berbeda-beda. Hanya saja Allah tidak berkehendak untuk itu. Allah
menjadikan umat manusia berbeda adalah untuk melatih manusia memilih dan berprinsip.
Sehingga hal itu menjadi sebuah keniscayaan yang diberikan Allah kepada seluruh
umat manusia. Jika Allah menjadikan semua manusia sama, termasuk dalam hal
agama, maka manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah. Memiliki
pilihan, hidup dengan pilihan yang berbeda-beda adalah bagian dari kehidupan.
Dengan ‘mental contrasting’, kita
dapat berpikir lebih akurat , obyektif ,jauh dari kepura-puraan dan ‘menipu’
diri. Allah SWT memberi kemerdekaan kepada manusia untuk memilih dan berprinsip
tanpa harus memanipulasi cara berpikir. (FSY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar