MENGHINA
Oleh: Febri
Satria Yazid
Pemerhati sosial
"Jangan kamu berkata pada
temanmu; wahai keledai, wahai anjing, wahai babi. Maka dia berkata pada hari
kiamat : “Apakah kamu melihatku, bahwa aku diciptakan sebagai anjing, atau
keledai atau babi?” ( HR Ibnu Abi Syaibah)
Menghina dengan sebutan ‘Wahai
anak anjing’, ‘Kamu anak lutung’, ‘Mereka itu sekumpulan
binatang’, dan masih banyak lagi hinaan dan celaan yang sering terdengar di
masyarakat. Model-model hinaan seperti itu termasuk hukumnya haram dilemparkan kepada sesama . Itu
adalah dosa besar. (fatwa.islamweb.net)
Menghina dengan sebutan binatang kepada sesama , selain itu
termasuk dosa besar, perbuatan itu juga tentu berakibat negatif pada manusia
yang dihina atau dicela. Hinaan dan celaan itu tentu akan menyakiti hati dan
perasaan. Ketika hati seseorang tersakiti oleh kezaliman berupa celaan dan
hinaan dengan ujaran kalimat binatang, rasa sakit itu sangat mungkin akan
membekas kuat dalam hatinya.
Jika seseorang yang
dihina tidak memiliki kesabaran dan sifat lapang dada yang lebih, hinaan yang
membekas dalam hatinya akan berubah menjadi rasa benci. Bahkan, bisa jadi akan
ia wujudkan dalam aksi balasan. Tentu ini akan menimbulkan masalah baru dalam
masyarakat berupa permusuhan dan perpecahan antar sesama manusia.
Di Indonesia
fenomena saling menghina ini marak sejak terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Republik
Indonesia dalam Pemilihan Presiden tahun 2014. Tak henti henti dan kini kian
marak menjelang Pilpres 2019 yang akan datang. Bahkan dalam media sosial kedua
kubu saling serang dan saling adu argumentasi. Kalau kalah argumentasi, kedua
pendukung akan mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu caci maki dengan kata-kata
kotor. Mereka juga saling menyerang akun-akun dan mematikan akun-akun yang
sering dianggap menyebarkan berita yang provokatif.
Dalam media
sosial dua kubu ini mempunyai nama panggilan khas, “Kecebong”, “Cebong”, atau
“Bong” untuk kubu Jokowi dan “Kampret” untuk kubu Prabowo. Sebutan Kampret
bukan tanpa sejarah. Dulu waktu Prabowo terjungkal secara menyakitkan (padahal
sudah sujud syukur mencium marmer), terbentuklah oposisi yang menamakan diri
KMP atau Koalisi Merah Putih.
‘Dasar kampret’ (Kampret adalah bahasa jawa yang mempunyai makna anak kelelawar) dan Kecebong adalah nama lain dari hewan yang dikenal
sebagai berudu. Berudu adalah tahapan kehidupan yang akan dialami oleh para
amfibia. Amfibia adalah hewan yang bertulang belakang dan mampu hidup di dua
alam, yaitu di darat dan juga air. Sudah barang tentu hanya “Cebong” yang
bilang pendukung Prabowo “Kampret”. Sebaliknya, hanya “Kampret” saja yang
selalu bilang pendukung Jokowi “Cebong”.
Himbaun
pemuka agama sekelas KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dalam kajian tauhid yang
ia sampaikan di Masjid Istiqlal mengatakan, agar tidak memanggil dengan sebutan
yang buruk seperti ‘cebong’ dan ‘kampret’, tidak diindahkan umat. “Kita ini sesama manusia. Sudah, stop manggil
seperti itu. Emangnya binatang?” kata Aa Gym. Lalu siapa lagi yang bisa
menghentikan ucapan-ucapan tak beradab ini,padahal dalam keseharian kita
melihat para penghujat ini adalah hamba Allah yang taat beribadah kepada Allah
SWT. Apa mereka tidak menyadari bahwa ibadah kepada Allah SWT akan sia – sia jika
kita tidak dapat menjaga hubungan baik dengan sesama. Kewajiban menjaga
hubungan dengan Allah (hablumminallah) harus sejalan dengan menjaga hubungan
baik dengan sesama manusia (hablumminannas), karena pada keduanya terdapat
keterkaitan yang erat bagaimana dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Semoga dengan kesadaran dan pemahaman bahwa menghina dengan sebutan
binatang sangat dilarang dalam ajaran agama, kita dapat menjaga adab
berkomunikasi dengan sesama, tidak terjebak dalam fanatisme dangkal yang pada
akhirnya membawa kemudhartan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ,karena
umat menjadi terpolarisasi dan menganggap yang berbeda pilihan adalah musuh
seperti dalam peperangan. (FSY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar