Perubahan Nilai Kekeluargaan di Era Digital: Antara Individualisme dan Pergeseran Struktur Sosial Tradisional
Oleh: Febri Satria Yazid
*Pemerhati Sosial
Era digital mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk pola hubungan keluarga. Di tengah gelombang teknologi yang melaju tanpa jeda, era digital telah merevolusi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, dari cara kita bekerja, belajar, berinteraksi, hingga membangun dan memelihara hubungan pribadi. Keluarga, sebagai unit sosial terkecil dan paling mendasar dalam masyarakat, tak luput dari perubahan ini.
Dulu, interaksi keluarga banyak terjadi melalui pertemuan langsung, makan bersama di meja makan, berbincang di teras rumah, atau berkumpul dalam acara keluarga besar. Keintiman terjalin melalui tatapan mata, sentuhan, dan percakapan hangat yang penuh makna. Nilai kekeluargaan tradisional, kekompakan, gotong royong, dan kolektivitas terbangun dengan baik.
Namun kini, kehadiran teknologi seperti ponsel pintar, media sosial, dan platform komunikasi virtual telah menggeser pola hubungan itu ke arah yang lebih instan dan jarak jauh. Komunikasi dalam keluarga saat ini sering kali terjadi melalui pesan singkat, grup percakapan keluarga, atau panggilan video. Walau secara teknis memperpendek jarak fisik, hubungan tersebut kadang terasa hampa, kehilangan kehangatan emosional yang hanya bisa hadir lewat interaksi nyata. Ironisnya, dalam satu rumah yang sama, anggota keluarga bisa lebih sibuk dengan layar masing-masing ketimbang berbicara satu sama lain. Fenomena ini juga memperlihatkan meningkatnya fokus pada kebebasan individu, ekspresi diri, dan mobilitas personal.
Selain itu, nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun, seperti rasa hormat, kebersamaan, pengorbanan, dan solidaritas, mulai mengalami redefinisi. Generasi muda yang tumbuh di era digital cenderung mengutamakan kebebasan individu, aktualisasi diri, dan kenyamanan personal. Pola ini berbeda dari generasi sebelumnya yang memandang keluarga sebagai pusat loyalitas dan sumber utama identitas sosial. Teknologi, dengan segala manfaatnya, secara halus telah memperkenalkan paradigma baru, yaitu konektivitas tanpa keintiman, kecepatan tanpa kedalaman, dan kemandirian tanpa keterikatan. Tanpa disadari, struktur sosial tradisional keluarga perlahan berubah, dari ikatan kolektif yang kuat menjadi hubungan yang lebih fungsional, fleksibel, dan kadang-kadang terpisah secara emosional.
Digitalisasi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1967 yang ditandai dengan masuknya teknologi komputer. Komputer pertama kali dibuat pada tahun 1822 oleh ahli matematika asal Inggris bernama Charles Babbage.
Memahami bagaimana era digital membentuk ulang relasi keluarga menjadi penting, agar kita dapat menemukan kembali jalan tengah, menjaga esensi kekeluargaan sambil tetap terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ketika bulan Agustus 2024 lalu saya diwawancarai oleh Darul Tauhid Peduli (DT Peduli) #TanyaSahabat, Bincang Hikmah, mempertanyakan bagaimana realitas sosial generasi saat ini, saya sampaikan bahwa interaksi sudah kian berkurang dan cenderung individualis. Saat dimintai pesan untuk generasi sekarang, saya sampaikan agar generasi muda tetap konsisten menjalin dua hubungan, yaitu habluminallah (hubungan yang baik dengan Allah) dan habluminannas (hubungan baik dengan manusia), karena keseimbangan itu penting agar kita menyadari bahwa keberadaan manusia di permukaan bumi ini diciptakan Allah untuk apa. Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Nya.
Fenomena ini bukan hanya perubahan gaya hidup, melainkan juga pergeseran nilai mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya nilai kekeluargaan yang selama ini menjadi fondasi struktur sosial tradisional, dari "kita" ke "aku". Generasi terdahulu tumbuh dalam tatanan sosial yang menjunjung tinggi kebersamaan. Keluarga besar, gotong royong, musyawarah, dan kepedulian sosial adalah nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Namun kini, generasi muda lebih akrab dengan gagasan "hidup untuk diri sendiri", "mengejar passion pribadi", dan "self-branding". Media sosial menjadi panggung utama, tempat identitas dibentuk secara individual dan pencapaian pribadi dipamerkan sebagai tolok ukur keberhasilan.
Perubahan ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Individualisme dapat mendorong kemandirian, kreativitas, dan kemajuan personal. Namun ketika nilai-nilai ini menggeser secara ekstrem prinsip kekeluargaan dan solidaritas sosial, maka yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan keterasingan. Salah satu dampak nyata dari individualisme ini adalah terpecahnya struktur keluarga tradisional. Dahulu, anak-anak tinggal bersama orang tua hingga menikah, bahkan dalam banyak kasus, keluarga besar hidup bersama dalam satu atap atau saling bertetangga. Kini, anak-anak berlomba-lomba keluar rumah sejak usia muda, merantau sejauh mungkin, dan membangun hidup baru yang tak jarang terlepas dari ikatan emosional dengan keluarga. Orang tua tidak lagi menjadi pusat rujukan nilai dan kebijakan. Bahkan dalam pengambilan keputusan penting, generasi muda cenderung mencari jawaban dari internet, influencer, atau komunitas virtual. Hubungan keluarga menjadi lebih fungsional daripada emosional. Orang tua menjadi "penyedia", bukan "pengasuh nilai". Kakek dan nenek sering kali hanya hadir saat Lebaran atau momen perayaan, kehilangan peran sebagai penutur kisah dan penjaga warisan budaya.
Pergeseran ini bukan hanya berdampak pada ranah domestik. Di tingkat sosial yang lebih luas, kita melihat menurunnya semangat gotong royong, meningkatnya individualisme dalam komunitas, dan memudarnya rasa tanggung jawab terhadap sesama. Masyarakat desa yang dulu saling bantu kini berubah menjadi komunitas-komunitas kecil yang eksklusif. Di kota-kota besar, tetangga tak saling mengenal, dan bantuan sering kali baru datang setelah viral di media sosial. Lebih jauh lagi, kesenjangan generasi menjadi makin lebar. Orang tua sulit memahami anak-anaknya, dan anak-anak menganggap nilai-nilai orang tua sebagai kuno. Ketika tidak ada ruang dialog, yang tersisa hanyalah jurang ketidakpedulian.
Kita tidak bisa memutar ulang waktu atau menolak perubahan. Individualisme adalah bagian dari perkembangan zaman. Namun, hal ini tidak berarti kita harus melepaskan nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi warisan luhur bangsa. Solusinya bukan kembali ke masa lalu, tetapi menanamkan kembali nilai-nilai kekeluargaan dalam bentuk yang relevan dengan zaman. Membuka ruang dialog lintas generasi, membangun komunitas berbasis solidaritas, dan menjadikan teknologi sebagai sarana memperkuat, bukan memisahkan, hubungan sosial.
Indonesia dibangun di atas semangat kekeluargaan dan gotong royong. Jika akar ini tercabut sepenuhnya, maka fondasi bangsa akan rapuh. Maka tugas kita hari ini bukan menolak individualisme, tetapi menyeimbangkannya dengan jiwa kolektif dan rasa tanggung jawab sosial. Lebih penting dari itu adalah menghidupkan kembali budaya kolektif di lingkungan hulu, membangun kembali nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian sosial di lingkungan yang paling awal membentuk karakter seseorang, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hulu adalah tempat anak belajar pertama kali, maka penting untuk menanamkan nilai saling tolong, berbagi, dan peduli sejak dini. Ini bisa dilakukan melalui contoh nyata dari orang tua yang mampu menjadi panutan, bukan hanya pengasuh fisik, pendidikan karakter di sekolah, serta kegiatan komunitas yang melibatkan partisipasi bersama. Jika hulu sehat dan kuat, maka hilir akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berjiwa sosial. Masyarakat harus membuka ruang gotong royong nyata, bukan hanya slogan. Individualisme tidak harus dimusuhi. Ia bisa menjadi bahan bakar untuk pencapaian, asal diarahkan oleh jiwa kolektif yang memberi makna. Anak-anak yang kuat secara pribadi, namun juga sadar sosial, adalah generasi ideal Indonesia masa depan.
Integrasikan nilai gotong royong, toleransi, dan empati ke dalam kurikulum dan budaya sekolah. Berikan pelatihan kepada orang tua tentang membangun keluarga yang hangat, terbuka, dan penuh komunikasi. Ciptakan program kepedulian sosial di tingkat akar rumput seperti forum remaja, posyandu remaja, dan kampung ramah anak. Program pelatihan disiplin harus bersifat remedial dan terbatas, serta didampingi pendekatan psikologis, sosial, dan edukatif.
"Hilir bisa berubah, tapi perubahan sejati harus mengalir dari hulu."
Jika kita hanya membenahi anak-anak yang rusak, tanpa membenahi sistem keluarga, pendidikan, dan masyarakat yang melahirkan mereka, maka kita hanya akan mengganti wajah-wajah nakal dengan wajah baru. Kebijakan yang bijak adalah yang mengobati luka sambil menutup sumber perihnya. Perubahan nilai kekeluargaan adalah keniscayaan di era digital, namun bukan berarti nilai-nilai luhur harus hilang. Pentingnya menemukan keseimbangan antara kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Membangun model keluarga baru yang adaptif tetapi tetap berakar pada nilai gotong royong, saling peduli, dan cinta kasih.(FSY)