Sabtu, 03 Mei 2025

Perubahan NIlai Kekeluargaan di Era Digital : Antara Individualisme dan Pergeseran Struktur Sosial Tradisional

 

Perubahan Nilai Kekeluargaan di Era Digital: Antara Individualisme dan Pergeseran Struktur Sosial Tradisional

Oleh: Febri Satria Yazid

*Pemerhati Sosial

Era digital mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk pola hubungan keluarga. Di tengah gelombang teknologi yang melaju tanpa jeda, era digital telah merevolusi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, dari cara kita bekerja, belajar, berinteraksi, hingga membangun dan memelihara hubungan pribadi. Keluarga, sebagai unit sosial terkecil dan paling mendasar dalam masyarakat, tak luput dari perubahan ini.

Dulu, interaksi keluarga banyak terjadi melalui pertemuan langsung, makan bersama di meja makan, berbincang di teras rumah, atau berkumpul dalam acara keluarga besar. Keintiman terjalin melalui tatapan mata, sentuhan, dan percakapan hangat yang penuh makna. Nilai kekeluargaan tradisional, kekompakan, gotong royong, dan kolektivitas terbangun dengan baik.

Namun kini, kehadiran teknologi seperti ponsel pintar, media sosial, dan platform komunikasi virtual telah menggeser pola hubungan itu ke arah yang lebih instan dan jarak jauh. Komunikasi dalam keluarga saat ini sering kali terjadi melalui pesan singkat, grup percakapan keluarga, atau panggilan video. Walau secara teknis memperpendek jarak fisik, hubungan tersebut kadang terasa hampa, kehilangan kehangatan emosional yang hanya bisa hadir lewat interaksi nyata. Ironisnya, dalam satu rumah yang sama, anggota keluarga bisa lebih sibuk dengan layar masing-masing ketimbang berbicara satu sama lain. Fenomena ini juga memperlihatkan meningkatnya fokus pada kebebasan individu, ekspresi diri, dan mobilitas personal.

Selain itu, nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun, seperti rasa hormat, kebersamaan, pengorbanan, dan solidaritas, mulai mengalami redefinisi. Generasi muda yang tumbuh di era digital cenderung mengutamakan kebebasan individu, aktualisasi diri, dan kenyamanan personal. Pola ini berbeda dari generasi sebelumnya yang memandang keluarga sebagai pusat loyalitas dan sumber utama identitas sosial. Teknologi, dengan segala manfaatnya, secara halus telah memperkenalkan paradigma baru, yaitu konektivitas tanpa keintiman, kecepatan tanpa kedalaman, dan kemandirian tanpa keterikatan. Tanpa disadari, struktur sosial tradisional keluarga perlahan berubah, dari ikatan kolektif yang kuat menjadi hubungan yang lebih fungsional, fleksibel, dan kadang-kadang terpisah secara emosional.

Digitalisasi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1967 yang ditandai dengan masuknya teknologi komputer. Komputer pertama kali dibuat pada tahun 1822 oleh ahli matematika asal Inggris bernama Charles Babbage.

Memahami bagaimana era digital membentuk ulang relasi keluarga menjadi penting, agar kita dapat menemukan kembali jalan tengah, menjaga esensi kekeluargaan sambil tetap terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ketika bulan Agustus 2024 lalu saya diwawancarai oleh Darul Tauhid Peduli (DT Peduli) #TanyaSahabat, Bincang Hikmah, mempertanyakan bagaimana realitas sosial generasi saat ini, saya sampaikan bahwa interaksi sudah kian berkurang dan cenderung individualis. Saat dimintai pesan untuk generasi sekarang, saya sampaikan agar generasi muda tetap konsisten menjalin dua hubungan, yaitu habluminallah (hubungan yang baik dengan Allah) dan habluminannas (hubungan baik dengan manusia), karena keseimbangan itu penting agar kita menyadari bahwa keberadaan manusia di permukaan bumi ini diciptakan Allah untuk apa. Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Nya.

Fenomena ini bukan hanya perubahan gaya hidup, melainkan juga pergeseran nilai mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya nilai kekeluargaan yang selama ini menjadi fondasi struktur sosial tradisional, dari "kita" ke "aku". Generasi terdahulu tumbuh dalam tatanan sosial yang menjunjung tinggi kebersamaan. Keluarga besar, gotong royong, musyawarah, dan kepedulian sosial adalah nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Namun kini, generasi muda lebih akrab dengan gagasan "hidup untuk diri sendiri", "mengejar passion pribadi", dan "self-branding". Media sosial menjadi panggung utama, tempat identitas dibentuk secara individual dan pencapaian pribadi dipamerkan sebagai tolok ukur keberhasilan.

Perubahan ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Individualisme dapat mendorong kemandirian, kreativitas, dan kemajuan personal. Namun ketika nilai-nilai ini menggeser secara ekstrem prinsip kekeluargaan dan solidaritas sosial, maka yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan keterasingan. Salah satu dampak nyata dari individualisme ini adalah terpecahnya struktur keluarga tradisional. Dahulu, anak-anak tinggal bersama orang tua hingga menikah, bahkan dalam banyak kasus, keluarga besar hidup bersama dalam satu atap atau saling bertetangga. Kini, anak-anak berlomba-lomba keluar rumah sejak usia muda, merantau sejauh mungkin, dan membangun hidup baru yang tak jarang terlepas dari ikatan emosional dengan keluarga. Orang tua tidak lagi menjadi pusat rujukan nilai dan kebijakan. Bahkan dalam pengambilan keputusan penting, generasi muda cenderung mencari jawaban dari internet, influencer, atau komunitas virtual. Hubungan keluarga menjadi lebih fungsional daripada emosional. Orang tua menjadi "penyedia", bukan "pengasuh nilai". Kakek dan nenek sering kali hanya hadir saat Lebaran atau momen perayaan, kehilangan peran sebagai penutur kisah dan penjaga warisan budaya.

Pergeseran ini bukan hanya berdampak pada ranah domestik. Di tingkat sosial yang lebih luas, kita melihat menurunnya semangat gotong royong, meningkatnya individualisme dalam komunitas, dan memudarnya rasa tanggung jawab terhadap sesama. Masyarakat desa yang dulu saling bantu kini berubah menjadi komunitas-komunitas kecil yang eksklusif. Di kota-kota besar, tetangga tak saling mengenal, dan bantuan sering kali baru datang setelah viral di media sosial. Lebih jauh lagi, kesenjangan generasi menjadi makin lebar. Orang tua sulit memahami anak-anaknya, dan anak-anak menganggap nilai-nilai orang tua sebagai kuno. Ketika tidak ada ruang dialog, yang tersisa hanyalah jurang ketidakpedulian.

Kita tidak bisa memutar ulang waktu atau menolak perubahan. Individualisme adalah bagian dari perkembangan zaman. Namun, hal ini tidak berarti kita harus melepaskan nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi warisan luhur bangsa. Solusinya bukan kembali ke masa lalu, tetapi menanamkan kembali nilai-nilai kekeluargaan dalam bentuk yang relevan dengan zaman. Membuka ruang dialog lintas generasi, membangun komunitas berbasis solidaritas, dan menjadikan teknologi sebagai sarana memperkuat, bukan memisahkan, hubungan sosial.

Indonesia dibangun di atas semangat kekeluargaan dan gotong royong. Jika akar ini tercabut sepenuhnya, maka fondasi bangsa akan rapuh. Maka tugas kita hari ini bukan menolak individualisme, tetapi menyeimbangkannya dengan jiwa kolektif dan rasa tanggung jawab sosial. Lebih penting dari itu adalah menghidupkan kembali budaya kolektif di lingkungan hulu, membangun kembali nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian sosial di lingkungan yang paling awal membentuk karakter seseorang, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hulu adalah tempat anak belajar pertama kali, maka penting untuk menanamkan nilai saling tolong, berbagi, dan peduli sejak dini. Ini bisa dilakukan melalui contoh nyata dari orang tua yang mampu menjadi panutan, bukan hanya pengasuh fisik, pendidikan karakter di sekolah, serta kegiatan komunitas yang melibatkan partisipasi bersama. Jika hulu sehat dan kuat, maka hilir akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berjiwa sosial. Masyarakat harus membuka ruang gotong royong nyata, bukan hanya slogan. Individualisme tidak harus dimusuhi. Ia bisa menjadi bahan bakar untuk pencapaian, asal diarahkan oleh jiwa kolektif yang memberi makna. Anak-anak yang kuat secara pribadi, namun juga sadar sosial, adalah generasi ideal Indonesia masa depan.

Integrasikan nilai gotong royong, toleransi, dan empati ke dalam kurikulum dan budaya sekolah. Berikan pelatihan kepada orang tua tentang membangun keluarga yang hangat, terbuka, dan penuh komunikasi. Ciptakan program kepedulian sosial di tingkat akar rumput seperti forum remaja, posyandu remaja, dan kampung ramah anak. Program pelatihan disiplin harus bersifat remedial dan terbatas, serta didampingi pendekatan psikologis, sosial, dan edukatif.

"Hilir bisa berubah, tapi perubahan sejati harus mengalir dari hulu."

 Jika kita hanya membenahi anak-anak yang rusak, tanpa membenahi sistem keluarga, pendidikan, dan masyarakat yang melahirkan mereka, maka kita hanya akan mengganti wajah-wajah nakal dengan wajah baru. Kebijakan yang bijak adalah yang mengobati luka sambil menutup sumber perihnya. Perubahan nilai kekeluargaan adalah keniscayaan di era digital, namun bukan berarti nilai-nilai luhur harus hilang. Pentingnya menemukan keseimbangan antara kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Membangun model keluarga baru yang adaptif tetapi tetap berakar pada nilai gotong royong, saling peduli, dan cinta kasih.(FSY)

 

 

Rabu, 23 April 2025

Tantangan Pemuda : Pengangguran dan Kesehatan Mental

 

Tantangan Pemuda: Pengangguran dan Kesehatan Mental

Oleh ; Febri Satria Yazid

*pemerhati sosial

 

            Tingkat pengangguran di kalangan pemuda Indonesia tetap tinggi. Hingga saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) belum merilis data resmi mengenai jumlah pengangguran di Indonesia untuk tahun 2025. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 telah dilaksanakan pada 8–28 Februari 2025, namun hasilnya belum dipublikasikan secara nasional. ​

            Sementara menunggu data terbaru, informasi terakhir yang tersedia adalah dari Februari 2024, di mana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 4,82 persen, setara dengan sekitar 7,2 juta orang pengangguran ( Jumlah Angkatan Kerja: 149,38 juta orang. Jumlah Penduduk yang Bekerja: 142,18 juta orang). ​Usia 15–19 tahun: 22,34%  ; Usia 20–24 tahun: 15,34% dan Usia 25–29 tahun: 7,14%.​ Sementara itu, 25,8% pemuda masuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training), yang berarti mereka tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan apa pun. ​Meskipun tingkat pengangguran pemuda menunjukkan tren penurunan, angka NEET yang tinggi tetap menjadi perhatian serius. Hal ini mencerminkan tantangan dalam transisi dari pendidikan ke dunia kerja serta kebutuhan akan pelatihan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil mendorong program pelatihan kerja, literasi digital, dan layanan kesehatan mental yang lebih mudah diakses. Isu kesehatan mental remaja menjadi perhatian serius, dipicu oleh tekanan akademik, sosial, dan ekonomi. Penyalahgunaan narkoba dan judi Online juga meningkat di kalangan remaja.

Remaja dalam Badai Sunyi: Menyelamatkan Jiwa Muda Indonesia

            Di balik sorotan prestasi akademik dan statistik ekonomi yang kerap kita banggakan, ada cerita yang pelan-pelan menggurat luka yaitu kesehatan mental remaja Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tekanan akademik datang bertubi, seakan nilai ujian menentukan segalanya. Di rumah, harapan orang tua menjadi beban tak kasatmata. Di dunia maya, standar kesempurnaan dipajang tanpa ampun. Remaja kita terjepit dalam ruang sempit antara menjadi "anak hebat" dan "anak gagal". Lalu perlahan, mereka mulai diam. Diam, bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.

Banyak dari mereka lalu mencari pelarian. Narkoba yang menjanjikan ketenangan, atau judi online yang seolah menawarkan jalan pintas menuju keberhasilan. Namun semua itu hanya ilusi yang pada akhirnya merampas mimpi, mencuri masa depan.

            Statistik mencatat peningkatan kasus penyalahgunaan zat dan kecanduan judi digital di kalangan pelajar dan mahasiswa. Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan lonjakan jumlah remaja yang mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Sayangnya, masih banyak dari mereka yang tak mendapatkan akses bantuan profesional karena stigma, biaya, atau minimnya fasilitas.

            Generasi Z yaitu  generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka adalah generasi setelah Milenial dan sebelum Generasi Alpha. Saat ini, Gen Z berusia antara 12 hingga 28 tahun. Tekanan media sosial pada Generasi Z, yang sering disebut sebagai "digital natives", berdampak signifikan pada kesehatan mental dan kesejahteraan mereka. Generasi Z, yang sangat bergantung pada media sosial untuk komunikasi dan informasi, seringkali terjebak dalam siklus perbandingan sosial, FOMO (Fear of Missing Out), dan tuntutan untuk selalu tampil sempurna, dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan bahkan depresi pada Generasi Z.

            Media sosial juga menjadi sarang bagi cyberbullying, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis Generasi Z.  Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan adiksi digital, yang mengganggu keseharian dan bahkan pola tidur. Penggunaan gadget sebelum tidur dapat mengganggu kualitas tidur dan menyebabkan gangguan tidur. Generasi Z cenderung mengikuti tren dan norma yang dipopulerkan di media sosial, yang dapat mengorbankan ekspresi diri dan identitas pribadi. Tekanan untuk selalu up to date dengan tren terkini dapat memicu gaya hidup konsumtif yang tidak sehat, yang dapat berdampak negatif pada keuangan mereka.  Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat, menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z.(Wien AR.#Penceramah inspirasi Bintaro)

            Namun di balik kabar kelam itu, cahaya tetap menyala. Pemerintah bersama lembaga masyarakat sipil mulai membuka ruang konseling gratis, menghadirkan program pelatihan kerja dan mempersiapkan remaja terjun sebagai wirausaha remaja memainkan peran penting dalam membuka lapangan kerja di Indonesia. Dengan semangat inovatif dan adaptif, mereka tidak hanya menciptakan peluang kerja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain.​ Mengurangi pengangguran pemuda dengan pengembangan kewirausahaan di kalangan pemuda dapat mengurangi pengangguran dan membuka lapangan kerja baru, sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan. Mendorong inovasi dan kreativitas pemuda memiliki potensi dalam energi, kreativitas, dan penguasaan teknologi, yang dapat menjadi peluang dalam pengembangan wirausaha. Meningkatkan partisipasi ekonomi.

            Pada tahun 2022, sebanyak 19,48% pemuda di Indonesia menjadi wirausaha, meningkat dari tahun sebelumnya. Mereka berkontribusi dalam berbagai sektor seperti jasa, Fashion, pertanian, dan manufaktur.

 

Dukungan Pemerintah

            Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mendorong pemuda untuk berwirausaha sebagai upaya menciptakan lapangan kerja baru. Dengan sikap adaptif dan kolaboratif, wirausaha muda dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan di Indonesia. ​ Pemilihan Wirausaha Muda Pemula (WMP) Berprestasi. Program ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendukung wirausaha muda yang berpotensi dalam menciptakan lapangan kerja.​Pelatihan Kewirausahaan Gratis. Beberapa lembaga menyediakan pelatihan kewirausahaan gratis untuk remaja, lengkap dengan uang saku, sertifikat, dan modal usaha.​

            Dengan dukungan yang tepat, wirausaha remaja dapat menjadi motor penggerak dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia serta memperluas literasi digital yang sehat. Inisiatif ini adalah jembatan harapan, langkah awal untuk menyelamatkan generasi yang sedang bertarung dalam senyap. Kita tidak bisa membiarkan mereka berjalan sendiri. Sekolah bukan hanya tempat belajar matematika dan bahasa, tapi juga harus menjadi rumah yang aman secara emosional. Orang tua bukan hanya pencari nafkah, tapi juga penjaga jiwa. Dan kita semua, sebagai masyarakat, punya peran untuk mendengarkan lebih dalam, merangkul lebih hangat, dan menciptakan ruang aman bagi suara-suara muda yang selama ini kita abaikan.

Karena menyelamatkan satu jiwa muda, berarti menyelamatkan masa depan bangsa.

Satu Jiwa Muda, Seribu Harapan Bangsa

            Di tengah lalu-lalang dunia yang begitu cepat, kita sering lupa bahwa di balik seragam sekolah yang lusuh, di balik ransel yang penuh tugas, ada jiwa-jiwa muda yang sedang berjuang. Bukan hanya melawan soal matematika atau ujian nasional, tapi melawan rasa sepi, cemas, takut, dan kadang, putus asa yang tak terlihat mata. Remaja-remaja kita bukan sekadar angka dalam demografi, bukan hanya calon-calon pekerja dalam grafik ekonomi. Mereka adalah manusia utuh, dengan hati yang sedang belajar mencinta, pikiran yang sedang mencari arah, dan jiwa yang masih rapuh.

            Ketika satu jiwa muda merasa tak didengar, ketika satu anak duduk sendiri di sudut kelas tanpa tahu bagaimana meminta tolong, maka itu bukan hanya kehilangan bagi keluarga, itu adalah kehilangan bagi bangsa. Karena setiap remaja yang menyerah, setiap impian yang patah sebelum terbang, adalah potongan masa depan yang tak akan pernah kita miliki lagi. Menyelamatkan satu jiwa muda, berarti lebih dari sekadar memberi ruang aman untuk menangis atau mendengarkan keluh kesah. Itu berarti kita memilih untuk hadir. Untuk benar-benar melihat. Untuk menghapus stigma.

            Dan dari satu jiwa yang bangkit kembali, seribu harapan bisa tumbuh. Ia bisa menjadi guru yang menggugah muridnya mencintai belajar, menjadi dokter yang tak hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga menyentuh jiwa. Ia bisa menjadi penulis, aktivis, petani, pemimpin, apa pun yang ia mau selama ia percaya bahwa hidupnya layak dijalani. Maka jangan pernah anggap remeh satu pelukan, satu kata “kamu berharga”, satu ruang untuk bercerita tanpa dihakimi. Karena dari sanalah, peradaban bisa tumbuh. Karena dari sanalah, Indonesia punya alasan untuk terus percaya. Karena menyelamatkan satu jiwa muda, adalah menyelamatkan masa depan yang lebih manusiawi. Satu Pelukan, Satu Harapan: Peran Orang Tua dalam Menyiapkan Anak Hadapi Dunia Nyata

            Hari ini, dunia kerja bukan hanya tentang ijazah atau keterampilan. Ini adalah medan perjuangan yang menuntut mental tangguh, keberanian mencoba, dan daya tahan terhadap penolakan. Di tengah persaingan yang makin ketat, bukan hanya perusahaan yang memilih calon terbaik, tetapi juga tekanan yang terus menyeleksi siapa yang kuat dan siapa yang tumbang. Dalam pusaran itu, anak-anak muda kita kadang melangkah dengan dada sesak. Bukan karena mereka tak mampu, tapi karena mereka merasa sendiri. Mereka telah belajar banyak hal di bangku sekolah, tetapi jarang belajar bagaimana mencintai diri sendiri, bagaimana menghadapi kegagalan, atau bagaimana tetap berdiri saat dunia tak ramah.

Peran Orang Tua menjadi Penentu Arah

            Bukan pada seberapa sering kita bertanya, “Sudah kerja di mana?” atau “Kapan jadi pegawai tetap?” Melainkan pada seberapa sering kita berkata, “Kamu sudah berusaha, dan itu luar biasa.” Jangan remehkan kekuatan satu pelukan, satu kalimat “kamu berharga”, atau satu sore yang dihabiskan hanya untuk mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi, tanpa membandingkan. Karena dari situlah mereka merasa dicintai tanpa syarat. Dan cinta tanpa syarat adalah fondasi dari keberanian. Ketika seorang anak merasa didukung, ia akan berani mencoba. Berani melamar kerja meski berkali-kali ditolak. Berani membangun usaha meski modal hanya secuil. Berani bertahan, meski dunia bilang "tidak".

            Dan bahkan jika mereka jatuh, mereka tahu bahwa rumah akan tetap menerima. Orang tua bukan penonton yang menilai hasil akhir, tapi pelatih yang tak pernah berhenti memberi semangat. Anak-anak masa kini menghadapi dunia yang berbeda dengan kita dahulu. Mereka harus menjadi lebih kreatif, lebih fleksibel, dan lebih cepat beradaptasi. Tapi satu hal yang tak pernah berubah, mereka tetap membutuhkan tempat untuk pulang. Dan tempat itu adalah kita, orang tua. Maka mari kita bantu mereka bukan hanya dengan biaya pendidikan atau nasihat panjang, tapi dengan kehadiran yang utuh. Dengan telinga yang mau mendengar, dengan tangan yang siap merangkul, dan dengan hati yang percaya bahwa anak kita akan menemukan jalannya sendiri, asal kita tak pernah berhenti menjadi cahaya di langkahnya. Karena satu pelukan hari ini bisa menjadi kekuatan besar besok.Dan satu kalimat “kamu berharga” mungkin jadi alasan mereka untuk tidak menyerah.(fsy)