Tradisi Pengkhianatan
Oleh ; Febri Satria Yazid
Pemerhati sosial
Cerita khianat mengkhianati mewarnai Pemilihan Presiden di Indonesia yang akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari tahun 2024 yang akan datang . Transaksi politik terjadi dengan membentuk koalisi yang seru dengan berubah-ubah dalam waktu singkat dan cepat, mempertaruhkan ‘Aqidah’ politik demi meraih target kekuasaan menjadi tontonan biasa, tidak lagi tabu dan memalukan di negeri ini.
Partai PSI yang tadinya mendukung Ganjar Pranowo sekarang banting setir mendukung Prabowo Subianto. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP waktu itu hendak mencapreskan Ganjar Pranowo, bubar begitu saja. Terbelah menjadi dua kubu yaitu PPP yang konsisten, tetap mendukung Ganjar Pranowo. Sedang Golkar dan PAN lebih memilih mendukung Prabowo Subianto. Muhaimin Iskandar hijrah ke kubu Anies Baswedan. PKB yang selama ini menjadi parpol pelengkap presidential treshold bagi pencapresannya Prabowo Subianto, justru hengkang dan bergabung ke koalisinya Anies Baswedan karena tidak jelasnya pencawapresan dirinya . Duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar ini menjadikan Partai Demokrat gerah dan hengkang mendukung Prabowo Subianto karena merasa dikhianati setelah sebelumnya AHY dicanangkan sebagai cawapresnya Anies dalam koalisi perubahan.
Adanya bongkar pasang koalisi karena adanya aroma pengkhianatan mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat cepat. Kini drama khianat mengkhianati telah berakhir. Dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang merupakan hasil dari koalisi partai Nasdem, PKS dan PKB. Pasangan kedua Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang diusung oleh koalisi partai PDI-P, PPP, Perindo dan Hanura.
Satu pasangan lagi yang mendeklarasikan diri pada tanggal 22 Oktober 2023 adalah Prabowo Subianto sebagai Capres dan Gibran Raka Buming Raka sebagai cawapres yang menjadwalkan akan mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 25 Oktober 2023. Pasangan ini didukung oleh partai Gerindra, Golkar, Demokrat PAN, PBB, Partai Gelora dan Garuda.
Di Indonesia, sejarah pengkhianatan mencakup berbagai kejadian yang melibatkan pengkhianatan terhadap kepercayaan, komitmen, atau loyalitas terhadap negara atau pihak-pihak tertentu. Sejarah pengkhianatan di Indonesia mencakup berbagai kejadian yang memiliki dampak besar terhadap bangsa dan negara. Konflik-konflik ini juga menunjukkan dinamika politik, sosial, dan budaya yang kompleks di Indonesia.
Jika muncul istilah pengkhianatan tentu hal ini menggambarkan tidak adanya kesetiaan yang merupakan sifat atau karakteristik dari seseorang yang memegang teguh komitmen, loyalitas, dan kepercayaan terhadap sesuatu atau seseorang. Orang yang setia cenderung memenuhi janji-janjinya, tidak berkhianat, dan dapat diandalkan dalam hubungan atau komitmen yang mereka miliki.
Dalam konteks hubungan antar manusia, setia sering kali merujuk pada kesetiaan dalam cinta dan persahabatan. Ini berarti seseorang akan tetap mendukung dan setia kepada pasangan atau teman mereka dalam kebaikan maupun kesulitan.
Kesetiaan juga dapat mengacu pada kesetiaan terhadap nilai-nilai, keyakinan, atau prinsip tertentu. Seseorang yang setia terhadap nilai-nilai ini akan konsisten dalam tindakan dan keputusan mereka sesuai dengan apa yang mereka yakini.
secara umum, setia adalah kemampuan dan keinginan untuk mempertahankan komitmen dan loyalitas terhadap sesuatu atau seseorang, terlepas dari godaan atau kesulitan yang mungkin muncul.
"Tradisi pengkhianatan" tidak merujuk pada istilah umum yang digunakan dalam konteks sejarah atau budaya. Namun, jika kita mencoba untuk mengartikannya secara konseptual, mungkin mengacu pada pola atau kecenderungan tertentu di mana tindakan pengkhianatan atau penyalahgunaan kepercayaan telah menjadi bagian dari sejarah atau budaya suatu masyarakat atau kelompok.
Sebagai contoh, dalam sejarah politik atau militer suatu negara, ada kalanya muncul pola pengkhianatan di mana individu atau kelompok yang seharusnya setia kepada negara atau pemerintah melakukan pengkhianatan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini bisa mencakup kasus-kasus spionase, pemberontakan, atau pengkhianatan terhadap komitmen dan janji-janji.
Namun, penting untuk diingat bahwa pengkhianatan bukanlah suatu "tradisi" positif atau diinginkan dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, tindakan pengkhianatan sering kali dianggap sebagai perilaku yang merugikan dan tidak etis.
Perbedaan antara pahlawan dengan penghianat sangatlah tipis. Demikian juga antara loyalis dengan pembangkang, sangat bergantung pada sudut pandang. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir pada zaman Hindia Belanda yang mengedepankan apa yang diyakini sebagai kebenaran, dicap sebagai pembangkang oleh rezim yang berkuasa di masa itu, sementara oleh kalangan tertindas yang merasa dirinya diperjuangkan, di saat yang sama mereka dipandang sebagai pejuang/pahlawan.
Mereka yang sekarang dianggap sebagai pembangkang di negeri ini bukan tidak mungkin dapat berbalik status menjadi pahlawan karena kebenaran dari nilai-nilai yang dianut yang pada akhirnya berfaedah bagi kemanusiaan.
Dalam konteks kepercayaan keagamaan, pengkhianatan sering kali dianggap sebagai tindakan yang sangat negatif. Banyak agama mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kepercayaan, dan kesetiaan. Pengkhianatan, yang melibatkan penyalahgunaan kepercayaan atau pelanggaran janji, sering kali dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini.
Setiap agama memiliki interpretasi dan nuansa sendiri terkait dengan nilai-nilai moral, dan perspektif individu dapat bervariasi. Namun, secara umum, pengkhianatan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan ajaran kebajikan dan moral dalam banyak agama.
Setelah waktu pendaftaran pasang calon Presiden dan Wakil Presiden berakhir pada tanggal 25 Oktober 2023 yang akan datang, tentu kita berharap istilah-istilah pengkhianatan akan berakhir berganti dengan kesetiaan dalam pertemanan koalisi dalam masa kampanye hingga hari H pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029, menuju kekuasaan menyongsong masa depan bangsa sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang ingin mewujudkan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur(fsy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar