Jumat, 15 November 2019

Shaf Pertama


Shaf Pertama
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial
         
          Jam di Mesjid besar ini sudah menunjukkan jam 11.37 wib, waktu sholat Jum’at sudah masuk. Dibeberapa masjid sekitar sini khatib sudah naik mimbar dan adzan-pun dikumandangkan. Jamaah heran kenapa di masjid ini khatib belum juga naik mimbar, dan rasa heran itu-pun terjawab ketika pengurus DKM naik mimbar menyampaikan bahwa mohon waktu beberapa saat menunggu rombongan komisi I  DPR-RI. Pantas tempat duduk dua baris di depan mimbar dikosongkan, rupanya dipersiapkan untuk rombongan tersebut. Setelah sekitar 15 menit menanti rombongan yang tak kunjung muncul, entah apa yang terjadi tiba-tiba jamah maju mengisi tempat-tempat kosong yang disiapkan dan khatib segera naik mimbar.
          Dalam khotbahnya khatib menguraikan tentang tugas pokok manusia sesuai firman Allah SWT dalam surat Adh-Dhaariyat  ayat 56  bahwa  tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Minimal 17 x umat Islam mengucapkan hanya kepada-Mu kami mengabdi tidak ke yang lain, beribadah dengan keikhlasan semata-mata karena Allah tidak karena yang lain. Syarat lain diterimanya ibadah adalah ilmu agar ibadah tidak asal melakukan. Ibadah yang sah itu ketika memenuhi syarat dan rukun dan tidak ada yang membatalkan,maka ibadah itu sah secara hukum.
Nabi Muhammad SAW bersabda:“Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 721 dan Muslim 437). Karena dimaknai secara harfiah, orang hanya berfikiran tentang mengambil posisi shaf paling depan tanpa dapat memahami makna tersirat bahwa berada pada shaf paling depan itu artinya datang lebih awal ke masjid, menunjukkan niat yang lebih besar dalam beribadah, kemudian dia bisa memanfaatkan waktu luang sebelum waktu sholat masuk  untuk sholat sunah, berdzikir  atau mengaji dan kegiatan beribadah lainnya. Menempati shaf pertama juga menunjukkan ketaatan atas perintah merapikan shaf , mengisi tempat kosong sesuai dengan kedatangan. 
Kurang pemahaman manfaat sebenarnya dari shaf pertama. Orang yang datang terlambat, tidak seharusnya berada di tempat paling depan, biarpun dia seorang pejabat penting. Kalau tidak dapat tempat, sepantasnya dia sholat di belakang pada shaf yang masih tersedia,karena menempati shaf pertamapun tidak ada manfaatnya , malahan hanya mengganggu orang lain yang dia langkahi.
          Penjelasan khatib tentang pentingnya niat dalam beribadah bahwa  hanya kepada-Mu kami mengabdi tidak ke yang lain, ikhlas semata-mata karena Allah tidak karena yang lain dan disertai dengan ilmu dari setiap ibadah yang kita laksanakan tidak sekedar gugurnya kewajiban atau memburu nilai amalan yang hanya kita pahami secara harfiah seperti keutamaan berada pada shaf terdepan sehingga karena keberadaan kita sebagai pejabat lalu tetap mendapatkan tempat di shaf terdepan meski datang dipenghujung waktu dilaksanakannya sholat Jum’at tidak perlu lagi dilakukan. Bukankah yang menjadi ukuran derajat manusia disisi Allah SWT adalah ketaqwaannya ( surat Al-Hujurat – 13) bukan kedudukan atau hal lainnya.
          Dengan firmanNya dan melalui hadist Rasulullah SAW, manusia telah diberi pemahaman tentang tujuan ibadah dan bagaimana meraihnya dengan cara-cara yang benar tanpa merugikan sesama. Apalah ‘kata’ Allah SWT kalau  umatNya masih saja melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu seperti  menyediakan tempat pada shaf terdepan bagi mereka yang punya kedudukan ( pejabat ) meski yang bersangkutan datang terlambat bahkan sampai menggulur waktu khotbah hanya karena menunggu kedatangannya. (FSY).





         

Minggu, 10 November 2019

Spesial


‘Spesial’ Melalui Kemalangan Diri
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial

          Memahami sepenuhnya perasaan orang yang sedang mengalami penderitaan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan siapapun, karenanya sering sekali kita mendengar  “ kau tidak mengerti perasaanku” , ketika kita mencoba berempati atau bersimpati dan memberikan solusi ketika dia merasa sakit, terluka ,menderita batin akibat kekecewaan yang dalam,mengungkapkan perasaan inferior ( rendah diri ).
          Alfred Adler seorang psikolog  menyatakan  bahwa “ dalam kebudayaan kita, kelemahan bisa menjadi senjata yang sangat kuat dan ampuh “. Melalui kemalangan yang dialami seseorang memanfaatkan agar dirinya memperoleh sesuatu yang spesial  dari keluarga , teman atau orang yang berada di sekitar dirinya.
          Teman saya yang sedang menderita sakit, setiap awal bulan selalu menyapa sahabat-sahabatnya dengan menyampaikan kemalangan terkininya yang ditargetkannya dapat menggugah emosi sahabatnya untuk kemudian menempatkan dirinya memperoleh perhatian spesial dan dibalik itu kemudian memperoleh ‘sesuatu’ yang dapat menolongnya dari kemalangan yang dia derita.
          Banyak lagi kemalangan-kemalangan baik yang terjadi dari penampilan fisik atau dari faktor pendidikan , yang dijadikan sebagai suatu cara untuk memperoleh perlakuan spesial.
          Yang lebih tragis adalah seseorang yang tidak bisa menerima ketidak becusan dirinya ,lalu bersikap superior . Sering kita melihat seseorang yang memamerkan hubungan baiknya dengan orang orang berpengaruh, dengan pejabat  misalnya , berfoto lalu memajangnya di media sosial lalu membuat cerita , kenal baik, teman dekat saya, adik kelas saya, tetangga ,sekampung dan lain sebagainya. Dia ingin mengumumkan bahwa dia spesial. Atau ketika sedang diskusi atau debat seseorang menyatakan    ‘ saya diam  bukan  berarti tidak paham , tapi malas untuk membahas persoalan ini ’ , perilaku ini  yang dikenal sebagai perasaan superior buatan .
          Pada diri orang yang inferior dan superior buatan sedang mengalami kondisi ada yang hilang dari dirinya . Cara yang paling tepat dan sehat adalah berupaya mengisinya lewat kerja keras dan pengembangan diri, menjadi diri sendiri
          Perasaan inferior yang sehat tidak timbul dari membandingkan diri sendiri dengan orang lain, akan lebih tepat membandingkan diri dengan keadaan diri yang ideal ( menilai diri dengan obyektif ). Kata kuncinya adalah kita setara tapi tidak sama, setiap orang berbeda dalam pengetahuan , pengalaman dan tanggungjawab yang bisa diambil.
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: An Nisa:1). Dari firman Allah SWT jelas bahwa hidup bukanlah persaingan Teruslah melangkah maju tanpa bersaing , membandingkan diri dan mengubar kemalangan untuk memperoleh perlakuan spesial. (FSY)