Selasa, 14 Agustus 2018

Menghina



MENGHINA
Oleh: Febri Satria Yazid
Pemerhati sosial

"Jangan kamu berkata pada temanmu; wahai keledai, wahai anjing, wahai babi. Maka dia berkata pada hari kiamat : “Apakah kamu melihatku, bahwa aku diciptakan sebagai anjing, atau keledai atau babi?” ( HR Ibnu Abi Syaibah)

            Menghina dengan sebutan ‘Wahai anak anjing’, ‘Kamu anak lutung’, ‘Mereka itu sekumpulan binatang’, dan masih banyak lagi hinaan dan celaan yang sering terdengar di masyarakat. Model-model hinaan seperti itu termasuk  hukumnya haram dilemparkan kepada sesama . Itu adalah dosa besar. (fatwa.islamweb.net)
Menghina dengan sebutan binatang kepada sesama , selain itu termasuk dosa besar, perbuatan itu juga tentu berakibat negatif pada manusia yang dihina atau dicela. Hinaan dan celaan itu tentu akan menyakiti hati dan perasaan. Ketika hati seseorang tersakiti oleh kezaliman berupa celaan dan hinaan dengan ujaran kalimat binatang, rasa sakit itu sangat mungkin akan membekas kuat dalam hatinya.
Jika seseorang  yang dihina tidak memiliki kesabaran dan sifat lapang dada yang lebih, hinaan yang membekas dalam hatinya akan berubah menjadi rasa benci. Bahkan, bisa jadi akan ia wujudkan dalam aksi balasan. Tentu ini akan menimbulkan masalah baru dalam masyarakat berupa permusuhan dan perpecahan antar sesama manusia.
            Di Indonesia fenomena saling menghina ini marak sejak terpilihnya  Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Pemilihan Presiden tahun 2014. Tak henti henti dan kini kian marak menjelang Pilpres 2019 yang akan datang. Bahkan dalam media sosial kedua kubu saling serang dan saling adu argumentasi. Kalau kalah argumentasi, kedua pendukung akan mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu caci maki dengan kata-kata kotor. Mereka juga saling menyerang akun-akun dan mematikan akun-akun yang sering dianggap menyebarkan berita yang provokatif.
            Dalam media sosial dua kubu ini mempunyai nama panggilan khas, “Kecebong”, “Cebong”, atau “Bong” untuk kubu Jokowi dan “Kampret” untuk kubu Prabowo. Sebutan Kampret bukan tanpa sejarah. Dulu waktu Prabowo terjungkal secara menyakitkan (padahal sudah sujud syukur mencium marmer), terbentuklah oposisi yang menamakan diri KMP atau Koalisi Merah Putih.
Dasar kampret’ (Kampret adalah  bahasa jawa yang mempunyai makna  anak kelelawar) dan Kecebong  adalah nama lain dari hewan yang dikenal sebagai berudu. Berudu adalah tahapan kehidupan yang akan dialami oleh para amfibia. Amfibia adalah hewan yang bertulang belakang dan mampu hidup di dua alam, yaitu di darat dan juga air. Sudah barang tentu hanya “Cebong” yang bilang pendukung Prabowo “Kampret”. Sebaliknya, hanya “Kampret” saja yang selalu bilang pendukung Jokowi “Cebong”.
            Himbaun pemuka agama sekelas KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dalam kajian tauhid yang ia sampaikan di Masjid Istiqlal mengatakan, agar tidak memanggil dengan sebutan yang buruk seperti ‘cebong’ dan ‘kampret’, tidak diindahkan umat.  “Kita ini sesama manusia. Sudah, stop manggil seperti itu. Emangnya binatang?” kata Aa Gym. Lalu siapa lagi yang bisa menghentikan ucapan-ucapan tak beradab ini,padahal dalam keseharian kita melihat para penghujat ini adalah hamba Allah yang taat beribadah kepada Allah SWT. Apa mereka tidak menyadari bahwa ibadah kepada Allah SWT akan sia – sia jika kita tidak dapat menjaga hubungan baik dengan sesama. Kewajiban menjaga hubungan dengan Allah (hablumminallah) harus sejalan dengan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (hablumminannas), karena pada keduanya terdapat keterkaitan yang erat bagaimana dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Semoga dengan kesadaran dan pemahaman bahwa menghina dengan sebutan binatang sangat dilarang dalam ajaran agama, kita dapat menjaga adab berkomunikasi dengan sesama, tidak terjebak dalam fanatisme dangkal yang pada akhirnya membawa kemudhartan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ,karena umat menjadi terpolarisasi dan menganggap yang berbeda pilihan adalah musuh seperti dalam peperangan. (FSY)


















Kamis, 09 Agustus 2018

Prasangka


PRASANGKA
Oleh ; Febri Satria Yazid*
Pemerhati sosial

‘ saat pikiran tidak tenang,noda batin bisa mempengaruhi kita ‘
            Menurut KBBI , prasangka  berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional[1]
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.[2]
  • Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
  • Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
  • Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Apa yang dianggap benar, apa yang disukai dan kecenderungan bertindak , tanpa didukung oleh fakta yang relevan mengenai hal yang dipikirkan itulah yang memicu lahirnya segala prasangka.
            Lantas bagaimana metoda yang tepat dan benar agar kita dapat menghalau segala prasangka dan membiasakan diri mengambil keputusan setelah didukung oleh fakta-fakta tentang objek yang dibahas.,
Ada beberapa kiat ;
1.      Ingat-ingat kebaikan di masa lalu , misal pernah mengingatkan kita untuk tindakan keliru yang kita lakukan karena pedulinya kepada kita  atau pernah melakukan pengorbanan baik moril maupun material.
2.      Kurangi interaksi dengan orang-orang berpikiran buruk yang suka  menebar keburukan dan aib orang lain
3.      Klarifikasi, jangan berprasangka, tanyakan langsung kepada yang bersangkutan agar jelas dan didukung fakta.


Sebagaimana kita ketahui, bahwa berburuk sangka kepada orang lain adalah akhlak yang tercela dan dilarang dalam agama. Allah berfirman:
 Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”  (QS. Al-Hujuraat: 12).
Jika telah kita pahami penjelasan di atas,  ada beberapa prasangka ;
  1. Prasangka yang diharamkan  kepada Allah dan kepada sesame manusia  tanpa bukti atau pertanda yang nyata.
  2. Prasangka  yang dibolehkan,  kepada sesama manusia yang memang dikenal penuh keraguan, sering melakukan maksiat.
  3. Prasangka  yang dianjurkan,  kepada musuh dalam suatu pertarungan. Abu Hatim Al Busti menyatakan:
 “orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam masalah agama atau masalah dunia, yang hal tersebut mengancam keselamatan jiwanya, karena makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk terhadap tipu daya dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya musuhnya sehingga bisa binasa”
  1. Prasangka yang wajib, yang dibutuhkan dalam rangka kemaslahatan syariat.
            Prasangka identik dengan pemikiran buruk terhadap sesuatu atau seseorang sebelum mengetahui kondisi yang sebenarnya. Dalam kehidupan sosial, sulit sekali bagi manusia terlepas dari prasangka-prasangka. Ini bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri,mendatangkan dosa dan merusak hati.
Anas bin Malik RA berkata: Adapun Nabi SAW banyak membaca: “Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku agar ia berada di atas agamaMu.” Jelas bahwa manusia mempunyai potensi untuk mudah berubah, mudah menduga-duga ,tidak istiqomah dalam putusan ,sehingga Rasulullah SAW sampai berdoa seperti itu kepada Allah SWT.
            Tentu munculnya prasangka tidak terlepas dari cara berpikir seseorang. Menurut Khodijah dalam buku Psikologi Belajar, secara sederhana, berfikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berfikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berfikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item.Morgan, dkk., masih dalam buku Khodijah “Psikologi Belajar” membagi dua jenis berfikir, yaitu berfikir autistik dan berfikir langsung. Berfikir austik atau austic thinking yaitu proses berfikir yang sangat pribadi menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi. Sedangkan berfikir langsung atau directed thinking yaitu berfikir untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, menurut Kartono dalam buku “Psikologi Belajar” karangan Khadijah mengemukakan bahwa terdapat enam pola berpikir, yaitu:
  • Berpikir konkret, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat tertentu.
  • Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasannya
  • Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir mengenai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu
  • Berpikir analogis, yaitu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar kemiripannya
  • Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih kompleks disertai pembuktian-pembuktian
  • Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan seringkali tidak logis.
Bisa jadi akibat berpikir pendek inilah yang tanpa didukung fakta kebenaran dan tidak logis terjadinya prasangka seseorang dalam menyikapi suatu kejadian atau suatu bahasan masalah.
Pembentukan pendapat merupakan peletakan hubungan antara dua atau lebih pengertian. Pendapat tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat  dan agar terhindar dari prasangka, maka pola piker pendek sebaiknya dihindari. Berpikirlah dengan konkret, klasifikatoris, dan ilmiah , dengan demikian kita dapat terhindar dari  prasangka yang diharamkan , yaitu  kepada Allah dan  kepada sesama manusia  tanpa bukti atau pertanda yang nyata.(FSY)