Senin, 10 Februari 2025

“Kalau kamu bisa, kenapa saya?, kalau kamu tidak bisa, apalagi saya !”

 

“Kalau kamu bisa, kenapa saya?, kalau kamu tidak bisa, apalagi saya !”

Oleh ; Febri Satria Yazid

*pemerhati sosial

 

            Dalam percakapan dengan anak teman saya ketika kami membahas tentang tanggung jawab seseorang yang dinilainya buruk, anak teman saya yang baru berusia 13 tahun mengeluarkan pernyataan yang mengagetkan bahwa dalam pikiran orang itu yang tertanam adalah, “Kalau kamu bisa, kenapa saya? dan kalau kamu tidak bisa, apalagi saya!", sehingga dengan tanpa rasa “berdosa”  seseorang yang berpegang pada pernyataan ini akan tenang-tenang saja dan tidak merasa kehormatannya terusik jika tanggung jawab yang semestinya dia emban diambil oleh pihak lain. Saya tertarik untuk mengulas pernyataan tersebut, karenanya saya tuangkan dalam bentuk tulisan dengan mengkaji hal yang melatar belakangi seseorang bersikap demikian dan pengaruh faktor lingkungan yang memberi jalan bagi tumbuhnya pemikiran tersebut di atas.

            Dengan enteng seseorang bisa berucap demikian , mencerminkan dua pola pikir, bagian pertama menunjukkan kurangnya keinginan yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu hal yang memerlukan pemikiran dan cenderung lebih senang jika orang lain yang menyelesaikan walaupun seharusnya merupakan tanggung jawabnya untuk memikirkan solusinya. Pernyataan , bagian kedua, menggambarkan mentalitas pesimis dan rasa minder. Sikap ini sering kali membuat seseorang ragu terhadap kemampuannya sendiri, bahkan sebelum mencoba. Kedua pernyataan tersebut memiliki substansi yang sama yaitu upaya untuk menghindar dari hal yang sesungguhnya merupakan kewajibannya untuk menyelesaikannya.

            Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui orang-orang yang enggan mengambil tanggung jawab. Mereka kerap mencari alasan atau bahkan melemparkan kewajiban kepada orang lain. Salah satu ungkapan yang mencerminkan sikap ini adalah: "Kalau kamu bisa, kenapa harus saya? Dan kalau kamu tidak bisa, apalagi saya?" Pernyataan ini sekilas terdengar logis, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ia mencerminkan mentalitas yang menghindari tanggung jawab serta kurangnya inisiatif dalam bekerja sama. Akar masalahnya adalah munculnya rasa ketakutan, kemalasan, atau kurangnya kepedulian dan menghindar dari tanggung jawab, disebabkan oleh adanya sikap :

1.       Ketakutan gagal. Sebagian orang enggan mengambil tanggung jawab karena takut melakukan kesalahan atau menghadapi konsekuensi dari kegagalan.

2.       Kemalasan dan zona nyaman. Rasa nyaman tanpa beban membuat seseorang enggan untuk berusaha lebih.

3.       Kurangnya kepedulian. Jika seseorang merasa tugas tersebut bukan bagian dari kepentingannya, ia cenderung mengabaikannya.

4.       Budaya saling lempar tanggung jawab. Dalam lingkungan kerja atau sosial yang tidak menekankan nilai tanggung jawab individu, kebiasaan ini bisa semakin berkembang.

            Sikap ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada lingkungan sekitar karena dapat menghambat kemajuan. Ketika setiap orang berusaha menghindar dari tanggung jawab, suatu kelompok atau organisasi akan berjalan lambat. Selain itu dapat berdampak kepada menurunkannya  kepercayaan dari rekan kerja, keluarga, atau teman. Sikap ini juga dapat menciptakan ketimpangan beban kerja.  Akibat dari sikap ini, hanya segelintir orang yang akhirnya bekerja lebih keras sementara yang lain terus mengelak.

            Agar dapat lepas dari sikap tersebut, seseorang mesti mengubah pola pikir dari menghindar menjadi bertanggung jawab dan tanpa rasa enggan melaksanakan tugas dengan sepenuh hati. Untuk membangun mentalitas yang lebih baik, yang bersangkutan harus melakukan beberapa langkah seperti menyadari bahwa tanggung jawab adalah bagian dari kehidupan dan setiap individu memiliki peran dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan sosial yang mesti dia mainkan. Selain itu yang bersangkutan mutlak membangun kesadaran diri, memahami bahwa mengambil tanggung jawab akan memberikan manfaat jangka panjang bagi pertumbuhan pribadi dan profesional. Selanjutnya yang bersangkutan perlu mengembangkan rasa kepemilikan, menganggap tugas atau kewajiban sebagai bagian dari diri sendiri akan membantu seseorang lebih berkomitmen. Dan yang tidak kalah penting, perlu melihat bahwa  tanggung jawab sebagai kesempatan, anggap tanggung jawab sebagai peluang untuk belajar, berkembang, dan membangun reputasi yang baik.

            Jika dibiarkan sikap seperti ini dapat merugikan individu maupun lingkungan sekitarnya. Mengubah pola pikir untuk lebih bertanggung jawab bukan hanya meningkatkan kualitas diri tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Dalam dunia yang semakin kompetitif dan dinamis, individu yang siap mengambil tanggung jawab adalah mereka yang akan terus berkembang dan mendapatkan kepercayaan lebih dari orang lain.

            Munculnya pernyataan seperti di atas tidak terlepas dari peran lingkungan dalam membentuk pola pikir seseorang. Lingkungan sekitar, baik keluarga, teman, sekolah, atau masyarakat, sangat mempengaruhi cara seseorang berpikir dan mengambil keputusan. Jika seseorang tumbuh di lingkungan yang penuh motivasi dan dukungan, ia cenderung memiliki pola pikir growth mindset yaitu percaya bahwa kemampuan bisa dikembangkan melalui usaha dan belajar.

            Sebaliknya, jika seseorang berada dalam lingkungan yang pesimis dan penuh keterbatasan, ia mungkin mengembangkan fixed mindset yaitu merasa bahwa kemampuan adalah sesuatu yang tetap dan sulit diubah. "Kalau kamu tidak bisa, apalagi saya. Ini menunjukkan pola pikir pesimis yang bisa muncul dari lingkungan yang kurang mendukung atau penuh keterbatasan. Seseorang merasa bahwa jika orang lain gagal, maka ia juga tidak memiliki kesempatan untuk berhasil. Cara berpikir seperti ini merupakan dampak dari lingkungan dimana yang bersangkutan berada. Lingkungan Positif mendorong seseorang untuk berusaha lebih keras, mencari solusi, dan percaya bahwa kegagalan adalah bagian dari prosesnya belajar. Sebaliknya lingkungan negatif, bisa membuat seseorang takut mencoba, merasa tidak mampu, dan cepat menyerah karena tidak memiliki panutan atau dukungan, yang pada akhirnya membuat yang bersangkutan enggan untuk bertanggungjawab. Menunjukkan bahwa pola pikir seseorang bukan hanya hasil dari pemikiran pribadi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk berada di lingkungan yang mendukung pertumbuhan, memberikan inspirasi, dan mendorong semangat juang agar seseorang memiliki keyakinan bahwa ia mampu meraih keberhasilan.

            Orang dengan kecenderungan narsistik sering kali menghindari tanggung jawab atau tugas yang tidak menguntungkan mereka. Jika pernyataan ini digunakan sebagai alasan untuk menghindari suatu pekerjaan atau kontribusi, itu bisa mencerminkan perilaku egois atau kurangnya empati, salah satu ciri narsisme. Bagian kedua dari pernyataan "Dan kalau kamu tidak bisa, apalagi saya?" menunjukkan sikap meremehkan diri sendiri atau kurangnya rasa percaya diri. Ini lebih berkaitan dengan learned helplessness (mentalitas ketidakberdayaan), bukan narsisme.

            Jika pernyataan ini diucapkan oleh seseorang yang merasa lebih unggul dan tidak sudi melakukan sesuatu karena merasa ada orang lain yang lebih pantas, maka ini bisa menjadi indikasi perilaku narsistik, terutama jika dibarengi dengan perasaan hak istimewa (sense of entitlement) dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain. Pernyataan ini bisa mencerminkan berbagai hal tergantung pada konteksnya. Jika digunakan untuk menghindari kerja sama atau menampilkan superioritas dengan meremehkan orang lain, maka ada unsur perilaku narsistik. Namun, jika lebih mengarah pada rendahnya kepercayaan diri, itu lebih menunjukkan sikap pesimis atau kurangnya motivasi daripada narsisme. (fsy)

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar