Kamis, 20 Februari 2025

Mata Terbuka, Hati Terlupa

 

 Mata Terbuka, Hati Terlupa

Oleh Febri Satria Yazid

·         Pemerhati Sosial

            “Saat orang buta bisa melihat lagi, hal pertama yang dibuangnya adalah tongkat yang telah membantunya sepanjang masa”, pagi ini saya membaca postingan ini dari teman semasa SMA di grup alumni. Dalam sekali makna dari kalimat ini, sehingga sebagai seorang pemerhati sosial saya langsung berpikir kalimat di atas menarik untuk diulas  karena sangat relevan dengan kehidupan sosial di tengah masyarakat yang kehilangan keobjektifan dalam menempatkan dirinya saat berinteraksi dengan sesama. Bagaimana manusia sering melupakan perjuangan, bantuan, atau hal-hal yang dulu sangat berarti ketika mereka sudah berada di posisi yang lebih baik. Tongkat melambangkan sesuatu yang membantu seseorang bertahan dalam keterbatasan. Bagi orang buta tongkat memiliki berbagai kegunaan yang sangat penting untuk membantu mobilitas dan kemandirian mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari, membantu pengguna mengenali rintangan, permukaan jalan, dan perubahan medan, mendeteksi lubang, tangga, atau benda yang menghalangi jalan sebelum mereka menabraknya, memberi rasa aman dan meningkatkan kemandirian saat berjalan di tempat umum.

            Ketika keterbatasan itu hilang, dimana yang bersangkutan telah dapat melihat dunia dengan leluasa karena penglihatannya telah normal, bantuan tersebut justru ditinggalkan, seolah tidak lagi bernilai. Sering kali, saat seseorang mencapai kesuksesan atau keadaan yang lebih baik, mereka melupakan orang-orang atau hal-hal yang pernah membantunya. Pada saat seseorang mengalami peningkatan dalam hidupnya, ada kecenderungan untuk tidak lagi menghargai atau bahkan meremehkan masa lalu dan alat bantu yang dulu sangat menunjang mereka dalam keseharian diabaikan begitu saja.

            Kalimat ini bisa menjadi pengingat bagi kita agar tidak melupakan perjuangan, orang-orang yang berjasa, dan tetap rendah hati meskipun telah berada di posisi yang lebih baik. Kalimat ini juga bisa menggambarkan bagaimana manusia sering kali baru menghargai sesuatu setelah kehilangannya, tetapi begitu mendapat yang lebih baik, mereka justru mengabaikan atau melupakan yang lama. Hal senada sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, perilaku lupa diri diungkapkan dalam  peribahasa "kacang lupa dengan kulitnya" ditujukan kepada  seseorang yang lupa akan asal-usulnya atau melupakan orang-orang yang pernah berjasa dalam hidupnya setelah mencapai kesuksesan.

            Fenomena lupa diri dalam kehidupan nyata, dapat terjadi dalam kehidupan pribadi, seperti anak yang lupa pada apa yang telah dilakukan oleh orang tua mereka. Meski hal itu dilakukan orang tua atas dasar kewajibannya, namun agama juga mengajarkan akan pentingnya anak-anak mempunyai akhlak yang baik dan benar kepada orang tua mereka. Fenomena lupa diri juga dapat terjadi akibat perubahan lingkungan, gaya hidup, atau pengaruh eksternal yang membuat seseorang melupakan akar dan asal-usulnya. Anak yang lupa akan jasa dan pengorbanan orang tua sering kali disebabkan oleh kesibukan dalam mengejar karier, pergaulan yang kurang mendukung nilai-nilai kekeluargaan, atau pola pikir yang lebih individualistis.

            Meskipun benar bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, hubungan antara anak dan orang tua tidaklah sekadar hubungan kewajiban satu arah. Dalam ajaran agama dan nilai-nilai moral yang universal, anak-anak diajarkan untuk berbakti, menghormati, dan menghargai orang tua mereka, bukan hanya karena balas budi, tetapi juga sebagai bentuk akhlak mulia dan kepatuhan terhadap norma kehidupan. Lupa diri dalam konteks ini bukan hanya melupakan jasa orang tua, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai yang seharusnya menjadi bagian dari karakter seseorang. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk selalu mengingat bahwa kesuksesan yang mereka raih tidak terlepas dari doa, bimbingan, dan pengorbanan orang tua, serta untuk tetap menjaga hubungan baik dengan mereka sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan.

            Fenomena ini juga dapat terjadi dalam persahabatan, dalam dunia kerja dan bisnis. Demikian juga seorang pengusaha yang mengabaikan pihak yang dulu membantu membangun usahanya. Lupa diri dalam berbagai aspek kehidupan menunjukkan kecenderungan manusia untuk melupakan akar dan perjalanan mereka setelah mencapai tingkatan tertentu dalam hidup. Dalam persahabatan, perubahan status sosial sering kali membuat seseorang meninggalkan sahabat lamanya. Ketika seseorang mendapatkan lingkaran sosial baru yang lebih sesuai dengan pencapaiannya, ada kemungkinan bahwa hubungan lama menjadi terabaikan, baik secara sengaja maupun tidak. Padahal, sahabat lama adalah bagian dari perjalanan hidup yang pernah memberikan dukungan, kebersamaan, dan pelajaran berharga.

            Dalam dunia kerja dan bisnis, fenomena ini tampak ketika karyawan yang telah meraih posisi tinggi melupakan mentor atau rekan kerja yang dahulu membantu mereka berkembang. Seorang pemimpin atau profesional yang sukses sering kali lupa bahwa pencapaiannya juga berkat bimbingan, kerja sama tim, dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal yang sama berlaku bagi pengusaha yang, setelah mencapai puncak kesuksesan, mengabaikan pihak-pihak yang pernah membantunya membangun bisnis dari nol, mulai dari mitra awal, pelanggan pertama, hingga karyawan setia yang telah berjuang bersama sejak awal. Sikap ini mencerminkan kurangnya rasa terima kasih dan kesadaran akan arti kerja sama dalam mencapai keberhasilan.

            Dalam konteks kehidupan sosial, masyarakat yang melupakan sejarah dan perjuangan para pendahulu berisiko kehilangan identitas serta arah dalam membangun masa depan. Sejarah bukan hanya kumpulan peristiwa masa lalu, tetapi juga sumber nilai, pelajaran, dan kebijaksanaan yang dapat membimbing generasi berikutnya. Ketika nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan leluhur diabaikan, masyarakat cenderung mengulangi kesalahan yang sama atau bahkan kehilangan pijakan moral yang kokoh dalam menghadapi tantangan zaman.

            Oleh karena itu, menjaga rasa syukur, loyalitas, dan penghormatan terhadap masa lalu bukan hanya tentang etika, tetapi juga tentang keberlanjutan dan keseimbangan dalam kehidupan. Kesuksesan sejati tidak hanya diukur dari pencapaian pribadi, tetapi juga dari bagaimana seseorang tetap rendah hati dan menghargai mereka yang pernah menjadi bagian dari perjalanannya.

            Dari beberapa contoh kasus, tentu kita mesti mengantisipasi bagaimana agar fenomena tersebut di atas tidak terjadi pada diri kita dengan memperhatikan pentingnya untuk menjaga rasa syukur dan rendah hati. Menghargai proses yang telah membentuk diri kita, menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang pernah membantu, memahami bahwa kehidupan selalu berputar, suatu saat kita bisa kembali membutuhkan orang lain. Agar kita tidak melupakan akar perjuangan dengan sering merenungkan perjalanan hidup, tetap berhubungan dengan orang-orang yang pernah berjasa dalam kehidupan kita.

            Orang tua juga perlu mengajarkan tentang nilai-nilai  kesetiaan dan penghargaan kepada anak-anaknya. Orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan nilai kesetiaan dan penghargaan kepada anak-anak sejak dini. Kesetiaan mengajarkan anak untuk tetap menghargai dan menghormati orang-orang yang telah berjasa dalam hidup mereka, sementara penghargaan menumbuhkan rasa syukur atas bantuan dan kebaikan yang mereka terima. Nilai-nilai ini dapat diajarkan melalui keteladanan, seperti menunjukkan rasa hormat kepada keluarga, guru, dan sahabat lama, serta melalui percakapan reflektif tentang pentingnya mengenang perjuangan dan jasa orang lain. Dengan membiasakan anak untuk berterima kasih, tidak melupakan kebaikan, dan menjaga hubungan baik, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati, berintegritas, dan menghargai perjalanan hidup mereka sendiri.

            Kesuksesan seharusnya tidak menjadikan seseorang lupa diri, tetapi justru semakin bersyukur dan menghargai perjuangan yang telah dilewati. Ajakan untuk selalu menjaga rasa syukur, rendah hati, dan menghargai setiap bantuan yang pernah diterima. Dengan demikian, sikap bijaksana dalam merayakan keberhasilan bukan hanya tentang meraih impian, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai moral dan menghormati perjalanan yang telah ditempuh dan menempatkan mereka yang telah turut serta mewarnai kehidupan kita hingga bisa mencapai titik seperti saat ini pada posisi yang tepat. (fsy)

 

 

Senin, 10 Februari 2025

“Kalau kamu bisa, kenapa saya?, kalau kamu tidak bisa, apalagi saya !”

 

“Kalau kamu bisa, kenapa saya?, kalau kamu tidak bisa, apalagi saya !”

Oleh ; Febri Satria Yazid

*pemerhati sosial

 

            Dalam percakapan dengan anak teman saya ketika kami membahas tentang tanggung jawab seseorang yang dinilainya buruk, anak teman saya yang baru berusia 13 tahun mengeluarkan pernyataan yang mengagetkan bahwa dalam pikiran orang itu yang tertanam adalah, “Kalau kamu bisa, kenapa saya? dan kalau kamu tidak bisa, apalagi saya!", sehingga dengan tanpa rasa “berdosa”  seseorang yang berpegang pada pernyataan ini akan tenang-tenang saja dan tidak merasa kehormatannya terusik jika tanggung jawab yang semestinya dia emban diambil oleh pihak lain. Saya tertarik untuk mengulas pernyataan tersebut, karenanya saya tuangkan dalam bentuk tulisan dengan mengkaji hal yang melatar belakangi seseorang bersikap demikian dan pengaruh faktor lingkungan yang memberi jalan bagi tumbuhnya pemikiran tersebut di atas.

            Dengan enteng seseorang bisa berucap demikian , mencerminkan dua pola pikir, bagian pertama menunjukkan kurangnya keinginan yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu hal yang memerlukan pemikiran dan cenderung lebih senang jika orang lain yang menyelesaikan walaupun seharusnya merupakan tanggung jawabnya untuk memikirkan solusinya. Pernyataan , bagian kedua, menggambarkan mentalitas pesimis dan rasa minder. Sikap ini sering kali membuat seseorang ragu terhadap kemampuannya sendiri, bahkan sebelum mencoba. Kedua pernyataan tersebut memiliki substansi yang sama yaitu upaya untuk menghindar dari hal yang sesungguhnya merupakan kewajibannya untuk menyelesaikannya.

            Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui orang-orang yang enggan mengambil tanggung jawab. Mereka kerap mencari alasan atau bahkan melemparkan kewajiban kepada orang lain. Salah satu ungkapan yang mencerminkan sikap ini adalah: "Kalau kamu bisa, kenapa harus saya? Dan kalau kamu tidak bisa, apalagi saya?" Pernyataan ini sekilas terdengar logis, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ia mencerminkan mentalitas yang menghindari tanggung jawab serta kurangnya inisiatif dalam bekerja sama. Akar masalahnya adalah munculnya rasa ketakutan, kemalasan, atau kurangnya kepedulian dan menghindar dari tanggung jawab, disebabkan oleh adanya sikap :

1.       Ketakutan gagal. Sebagian orang enggan mengambil tanggung jawab karena takut melakukan kesalahan atau menghadapi konsekuensi dari kegagalan.

2.       Kemalasan dan zona nyaman. Rasa nyaman tanpa beban membuat seseorang enggan untuk berusaha lebih.

3.       Kurangnya kepedulian. Jika seseorang merasa tugas tersebut bukan bagian dari kepentingannya, ia cenderung mengabaikannya.

4.       Budaya saling lempar tanggung jawab. Dalam lingkungan kerja atau sosial yang tidak menekankan nilai tanggung jawab individu, kebiasaan ini bisa semakin berkembang.

            Sikap ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada lingkungan sekitar karena dapat menghambat kemajuan. Ketika setiap orang berusaha menghindar dari tanggung jawab, suatu kelompok atau organisasi akan berjalan lambat. Selain itu dapat berdampak kepada menurunkannya  kepercayaan dari rekan kerja, keluarga, atau teman. Sikap ini juga dapat menciptakan ketimpangan beban kerja.  Akibat dari sikap ini, hanya segelintir orang yang akhirnya bekerja lebih keras sementara yang lain terus mengelak.

            Agar dapat lepas dari sikap tersebut, seseorang mesti mengubah pola pikir dari menghindar menjadi bertanggung jawab dan tanpa rasa enggan melaksanakan tugas dengan sepenuh hati. Untuk membangun mentalitas yang lebih baik, yang bersangkutan harus melakukan beberapa langkah seperti menyadari bahwa tanggung jawab adalah bagian dari kehidupan dan setiap individu memiliki peran dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan sosial yang mesti dia mainkan. Selain itu yang bersangkutan mutlak membangun kesadaran diri, memahami bahwa mengambil tanggung jawab akan memberikan manfaat jangka panjang bagi pertumbuhan pribadi dan profesional. Selanjutnya yang bersangkutan perlu mengembangkan rasa kepemilikan, menganggap tugas atau kewajiban sebagai bagian dari diri sendiri akan membantu seseorang lebih berkomitmen. Dan yang tidak kalah penting, perlu melihat bahwa  tanggung jawab sebagai kesempatan, anggap tanggung jawab sebagai peluang untuk belajar, berkembang, dan membangun reputasi yang baik.

            Jika dibiarkan sikap seperti ini dapat merugikan individu maupun lingkungan sekitarnya. Mengubah pola pikir untuk lebih bertanggung jawab bukan hanya meningkatkan kualitas diri tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Dalam dunia yang semakin kompetitif dan dinamis, individu yang siap mengambil tanggung jawab adalah mereka yang akan terus berkembang dan mendapatkan kepercayaan lebih dari orang lain.

            Munculnya pernyataan seperti di atas tidak terlepas dari peran lingkungan dalam membentuk pola pikir seseorang. Lingkungan sekitar, baik keluarga, teman, sekolah, atau masyarakat, sangat mempengaruhi cara seseorang berpikir dan mengambil keputusan. Jika seseorang tumbuh di lingkungan yang penuh motivasi dan dukungan, ia cenderung memiliki pola pikir growth mindset yaitu percaya bahwa kemampuan bisa dikembangkan melalui usaha dan belajar.

            Sebaliknya, jika seseorang berada dalam lingkungan yang pesimis dan penuh keterbatasan, ia mungkin mengembangkan fixed mindset yaitu merasa bahwa kemampuan adalah sesuatu yang tetap dan sulit diubah. "Kalau kamu tidak bisa, apalagi saya. Ini menunjukkan pola pikir pesimis yang bisa muncul dari lingkungan yang kurang mendukung atau penuh keterbatasan. Seseorang merasa bahwa jika orang lain gagal, maka ia juga tidak memiliki kesempatan untuk berhasil. Cara berpikir seperti ini merupakan dampak dari lingkungan dimana yang bersangkutan berada. Lingkungan Positif mendorong seseorang untuk berusaha lebih keras, mencari solusi, dan percaya bahwa kegagalan adalah bagian dari prosesnya belajar. Sebaliknya lingkungan negatif, bisa membuat seseorang takut mencoba, merasa tidak mampu, dan cepat menyerah karena tidak memiliki panutan atau dukungan, yang pada akhirnya membuat yang bersangkutan enggan untuk bertanggungjawab. Menunjukkan bahwa pola pikir seseorang bukan hanya hasil dari pemikiran pribadi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk berada di lingkungan yang mendukung pertumbuhan, memberikan inspirasi, dan mendorong semangat juang agar seseorang memiliki keyakinan bahwa ia mampu meraih keberhasilan.

            Orang dengan kecenderungan narsistik sering kali menghindari tanggung jawab atau tugas yang tidak menguntungkan mereka. Jika pernyataan ini digunakan sebagai alasan untuk menghindari suatu pekerjaan atau kontribusi, itu bisa mencerminkan perilaku egois atau kurangnya empati, salah satu ciri narsisme. Bagian kedua dari pernyataan "Dan kalau kamu tidak bisa, apalagi saya?" menunjukkan sikap meremehkan diri sendiri atau kurangnya rasa percaya diri. Ini lebih berkaitan dengan learned helplessness (mentalitas ketidakberdayaan), bukan narsisme.

            Jika pernyataan ini diucapkan oleh seseorang yang merasa lebih unggul dan tidak sudi melakukan sesuatu karena merasa ada orang lain yang lebih pantas, maka ini bisa menjadi indikasi perilaku narsistik, terutama jika dibarengi dengan perasaan hak istimewa (sense of entitlement) dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain. Pernyataan ini bisa mencerminkan berbagai hal tergantung pada konteksnya. Jika digunakan untuk menghindari kerja sama atau menampilkan superioritas dengan meremehkan orang lain, maka ada unsur perilaku narsistik. Namun, jika lebih mengarah pada rendahnya kepercayaan diri, itu lebih menunjukkan sikap pesimis atau kurangnya motivasi daripada narsisme. (fsy)