Mata Terbuka, Hati Terlupa
Oleh Febri Satria Yazid
· Pemerhati Sosial
“Saat orang buta bisa melihat lagi, hal pertama yang dibuangnya adalah tongkat yang telah membantunya sepanjang masa”, pagi ini saya membaca postingan ini dari teman semasa SMA di grup alumni. Dalam sekali makna dari kalimat ini, sehingga sebagai seorang pemerhati sosial saya langsung berpikir kalimat di atas menarik untuk diulas karena sangat relevan dengan kehidupan sosial di tengah masyarakat yang kehilangan keobjektifan dalam menempatkan dirinya saat berinteraksi dengan sesama. Bagaimana manusia sering melupakan perjuangan, bantuan, atau hal-hal yang dulu sangat berarti ketika mereka sudah berada di posisi yang lebih baik. Tongkat melambangkan sesuatu yang membantu seseorang bertahan dalam keterbatasan. Bagi orang buta tongkat memiliki berbagai kegunaan yang sangat penting untuk membantu mobilitas dan kemandirian mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari, membantu pengguna mengenali rintangan, permukaan jalan, dan perubahan medan, mendeteksi lubang, tangga, atau benda yang menghalangi jalan sebelum mereka menabraknya, memberi rasa aman dan meningkatkan kemandirian saat berjalan di tempat umum.
Ketika keterbatasan itu hilang, dimana yang bersangkutan telah dapat melihat dunia dengan leluasa karena penglihatannya telah normal, bantuan tersebut justru ditinggalkan, seolah tidak lagi bernilai. Sering kali, saat seseorang mencapai kesuksesan atau keadaan yang lebih baik, mereka melupakan orang-orang atau hal-hal yang pernah membantunya. Pada saat seseorang mengalami peningkatan dalam hidupnya, ada kecenderungan untuk tidak lagi menghargai atau bahkan meremehkan masa lalu dan alat bantu yang dulu sangat menunjang mereka dalam keseharian diabaikan begitu saja.
Kalimat ini bisa menjadi pengingat bagi kita agar tidak melupakan perjuangan, orang-orang yang berjasa, dan tetap rendah hati meskipun telah berada di posisi yang lebih baik. Kalimat ini juga bisa menggambarkan bagaimana manusia sering kali baru menghargai sesuatu setelah kehilangannya, tetapi begitu mendapat yang lebih baik, mereka justru mengabaikan atau melupakan yang lama. Hal senada sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, perilaku lupa diri diungkapkan dalam peribahasa "kacang lupa dengan kulitnya" ditujukan kepada seseorang yang lupa akan asal-usulnya atau melupakan orang-orang yang pernah berjasa dalam hidupnya setelah mencapai kesuksesan.
Fenomena lupa diri dalam kehidupan nyata, dapat terjadi dalam kehidupan pribadi, seperti anak yang lupa pada apa yang telah dilakukan oleh orang tua mereka. Meski hal itu dilakukan orang tua atas dasar kewajibannya, namun agama juga mengajarkan akan pentingnya anak-anak mempunyai akhlak yang baik dan benar kepada orang tua mereka. Fenomena lupa diri juga dapat terjadi akibat perubahan lingkungan, gaya hidup, atau pengaruh eksternal yang membuat seseorang melupakan akar dan asal-usulnya. Anak yang lupa akan jasa dan pengorbanan orang tua sering kali disebabkan oleh kesibukan dalam mengejar karier, pergaulan yang kurang mendukung nilai-nilai kekeluargaan, atau pola pikir yang lebih individualistis.
Meskipun benar bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, hubungan antara anak dan orang tua tidaklah sekadar hubungan kewajiban satu arah. Dalam ajaran agama dan nilai-nilai moral yang universal, anak-anak diajarkan untuk berbakti, menghormati, dan menghargai orang tua mereka, bukan hanya karena balas budi, tetapi juga sebagai bentuk akhlak mulia dan kepatuhan terhadap norma kehidupan. Lupa diri dalam konteks ini bukan hanya melupakan jasa orang tua, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai yang seharusnya menjadi bagian dari karakter seseorang. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk selalu mengingat bahwa kesuksesan yang mereka raih tidak terlepas dari doa, bimbingan, dan pengorbanan orang tua, serta untuk tetap menjaga hubungan baik dengan mereka sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan.
Fenomena ini juga dapat terjadi dalam persahabatan, dalam dunia kerja dan bisnis. Demikian juga seorang pengusaha yang mengabaikan pihak yang dulu membantu membangun usahanya. Lupa diri dalam berbagai aspek kehidupan menunjukkan kecenderungan manusia untuk melupakan akar dan perjalanan mereka setelah mencapai tingkatan tertentu dalam hidup. Dalam persahabatan, perubahan status sosial sering kali membuat seseorang meninggalkan sahabat lamanya. Ketika seseorang mendapatkan lingkaran sosial baru yang lebih sesuai dengan pencapaiannya, ada kemungkinan bahwa hubungan lama menjadi terabaikan, baik secara sengaja maupun tidak. Padahal, sahabat lama adalah bagian dari perjalanan hidup yang pernah memberikan dukungan, kebersamaan, dan pelajaran berharga.
Dalam dunia kerja dan bisnis, fenomena ini tampak ketika karyawan yang telah meraih posisi tinggi melupakan mentor atau rekan kerja yang dahulu membantu mereka berkembang. Seorang pemimpin atau profesional yang sukses sering kali lupa bahwa pencapaiannya juga berkat bimbingan, kerja sama tim, dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal yang sama berlaku bagi pengusaha yang, setelah mencapai puncak kesuksesan, mengabaikan pihak-pihak yang pernah membantunya membangun bisnis dari nol, mulai dari mitra awal, pelanggan pertama, hingga karyawan setia yang telah berjuang bersama sejak awal. Sikap ini mencerminkan kurangnya rasa terima kasih dan kesadaran akan arti kerja sama dalam mencapai keberhasilan.
Dalam konteks kehidupan sosial, masyarakat yang melupakan sejarah dan perjuangan para pendahulu berisiko kehilangan identitas serta arah dalam membangun masa depan. Sejarah bukan hanya kumpulan peristiwa masa lalu, tetapi juga sumber nilai, pelajaran, dan kebijaksanaan yang dapat membimbing generasi berikutnya. Ketika nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan leluhur diabaikan, masyarakat cenderung mengulangi kesalahan yang sama atau bahkan kehilangan pijakan moral yang kokoh dalam menghadapi tantangan zaman.
Oleh karena itu, menjaga rasa syukur, loyalitas, dan penghormatan terhadap masa lalu bukan hanya tentang etika, tetapi juga tentang keberlanjutan dan keseimbangan dalam kehidupan. Kesuksesan sejati tidak hanya diukur dari pencapaian pribadi, tetapi juga dari bagaimana seseorang tetap rendah hati dan menghargai mereka yang pernah menjadi bagian dari perjalanannya.
Dari beberapa contoh kasus, tentu kita mesti mengantisipasi bagaimana agar fenomena tersebut di atas tidak terjadi pada diri kita dengan memperhatikan pentingnya untuk menjaga rasa syukur dan rendah hati. Menghargai proses yang telah membentuk diri kita, menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang pernah membantu, memahami bahwa kehidupan selalu berputar, suatu saat kita bisa kembali membutuhkan orang lain. Agar kita tidak melupakan akar perjuangan dengan sering merenungkan perjalanan hidup, tetap berhubungan dengan orang-orang yang pernah berjasa dalam kehidupan kita.
Orang tua juga perlu mengajarkan tentang nilai-nilai kesetiaan dan penghargaan kepada anak-anaknya. Orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan nilai kesetiaan dan penghargaan kepada anak-anak sejak dini. Kesetiaan mengajarkan anak untuk tetap menghargai dan menghormati orang-orang yang telah berjasa dalam hidup mereka, sementara penghargaan menumbuhkan rasa syukur atas bantuan dan kebaikan yang mereka terima. Nilai-nilai ini dapat diajarkan melalui keteladanan, seperti menunjukkan rasa hormat kepada keluarga, guru, dan sahabat lama, serta melalui percakapan reflektif tentang pentingnya mengenang perjuangan dan jasa orang lain. Dengan membiasakan anak untuk berterima kasih, tidak melupakan kebaikan, dan menjaga hubungan baik, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati, berintegritas, dan menghargai perjalanan hidup mereka sendiri.
Kesuksesan seharusnya tidak menjadikan seseorang lupa diri, tetapi justru semakin bersyukur dan menghargai perjuangan yang telah dilewati. Ajakan untuk selalu menjaga rasa syukur, rendah hati, dan menghargai setiap bantuan yang pernah diterima. Dengan demikian, sikap bijaksana dalam merayakan keberhasilan bukan hanya tentang meraih impian, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai moral dan menghormati perjalanan yang telah ditempuh dan menempatkan mereka yang telah turut serta mewarnai kehidupan kita hingga bisa mencapai titik seperti saat ini pada posisi yang tepat. (fsy)