Rabu, 10 Januari 2024

Ketidakpastian

 

 

Ketidakpastian

Oleh ; Febri Satria Yazid

·         Pemerhati sosial

 

Seneca, filsuf penganut filsafat stoikisme. “Kita lebih menderita dalam imajinasi kita daripada dalam kenyataan.”

Ketidakpastian adalah sebutan yang digunakan dengan berbagai cara di sejumlah bidang, termasuk filosofi, fisika, statistika, ekonomika, keuangan, asuransi, psikologi, sosiologi, teknik, dan ilmu pengetahuan informasi. Ketidakpastian berlaku pada perkiraan masa depan hingga pengukuran fisik yang sudah ada atau yang belum diketahui. (Wikipedia)

            Beberapa filsuf telah menggali konsep ketidakpastian dalam konteks berbagai bidang filsafat. Beberapa pandangan dan pemikiran filosofis mengenai ketidakpastian melibatkan pertimbangan etika, epistemologi (teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia), dan ontologi (Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ontologi adalah cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup).

            Pyrrho dari Elis, mengajukan bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas dan bahwa kita seharusnya tidak membuat klaim tegas mengenai kebenaran. Mereka menekankan ketidakpastian sebagai suatu hal yang inheren (melekat, tidak dapat dipisahkan) dalam upaya manusia untuk mengetahui. Beberapa filsuf mempertanyakan bagaimana kita seharusnya bertindak dalam situasi ketidakpastian etika. Ketidakpastian etika dapat muncul dalam konteks pengambilan keputusan moral di mana konsekuensi dari tindakan tertentu mungkin tidak diketahui sepenuhnya.

            Filsuf ontologis menyoroti ketidakpastian dalam sifat dan eksistensi realitas itu sendiri. Beberapa teori filsafat, seperti teori quantum dalam fisika, menunjukkan bahwa sifat-sifat partikel dapat bersifat probabilistik dan tidak dapat diprediksi dengan pasti. Berfokus pada konsep risiko dan ketidakpastian dalam konteks keamanan dan bahaya. Filsuf mengajukan pertanyaan tentang bagaimana manusia seharusnya mengelola risiko dan ketidakpastian, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks keamanan.

            Filsuf pragmatis, seperti Charles Sanders Peirce dan William James, menekankan pentingnya konsep kegunaan dan konsekuensi dalam menanggapi ketidakpastian. Mereka berpendapat bahwa kebenaran suatu klaim dapat dinilai berdasarkan konsekuensinya yang dapat diamati.

            Dalam banyak kasus, filsuf mengakui bahwa ketidakpastian adalah bagian integral dari pengalaman manusia dan pengetahuan kita. Sebagai hasilnya, berbagai aliran filsafat menyelidiki cara manusia merespons, berinteraksi, dan hidup dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian.

Ketidakpastian adalah bagian alami dari kehidupan, dan mengakui ketidakpastian dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih baik dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan hasil.

Ketidakpastian sering kali merupakan suatu realitas yang melekat pada situasi atau keadaan tertentu. Mewujudkan ketidakpastian dapat mengacu pada pengakuan dan pemahaman bahwa tidak semua informasi atau hasil dapat diprediksi dengan pasti.

Beberapa cara untuk menghadapi atau mewujudkan ketidakpastian adalah dengan menerima bahwa terdapat batasan dalam pengetahuan kita. Tidak semua faktor atau variabel dapat diukur atau dipahami sepenuhnya. Selanjutnya, tetap terinformasi dan terus belajar tentang topik atau situasi yang relevan. Dengan memperbarui pengetahuan, kita dapat mengurangi tingkat ketidakpastian.

Kita juga perlu  melakukan analisis risiko untuk mengidentifikasi kemungkinan hasil dan dampaknya. Ini dapat membantu dalam merencanakan tindakan yang sesuai untuk mengurangi risiko atau mengelola dampak negatif. Membuat model matematis atau simulasi dapat membantu menggambarkan skenario yang berbeda dan membantu dalam memahami variasi hasil yang mungkin terjadi. Hal penting lainnya adalah ketika membuat keputusan, pertimbangkan berbagai kemungkinan hasil dan pertimbangkan langkah-langkah yang dapat diambil dalam skenario yang berbeda.

Kita juga perlu membangun fleksibilitas dalam rencana dan strategi dapat membantu dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang tidak terduga dan dalam situasi di mana ketidakpastian tinggi, penting untuk berkomunikasi dengan jelas. Mengakui ketidakpastian dan menyampaikan informasi yang ada dengan jelas dapat membantu melibatkan pihak terkait. Menyikapi ketidakpastian perlu dikembangkan rencana cadangan atau skenario alternatif dapat membantu dalam menghadapi ketidakpastian yang mungkin muncul. Melibatkan diri dalam refleksi dan pembelajaran dari pengalaman masa lalu dapat membantu meningkatkan kemampuan mengelola ketidakpastian di masa depan. Mewujudkan ketidakpastian bukanlah usaha untuk menghilangkan sepenuhnya ketidakpastian, tetapi lebih merupakan cara untuk mengelola dan merespons ketidakpastian tersebut dengan bijaksana.

            Menurut Dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fahrudin Faiz, ada 5 seni untuk menghadapi ketidakpastian yaitu pertama, Sadar hidup terhadap pola ketuhanan (sunatullah), pada dasarnya manusia itu memang diciptakan dengan keterbatasan. Tidak semua hal bisa dilakukan oleh manusia. Kedua, Filosofi Apatheia berasal dari kata (a = tidak, pathos = menderita) yang berarti tidak menderita. Dalam penyampaiannya, Fahruddin Faiz memberi perumpamaan filosofi apatheia seperti orang yang sedang memanah. Ketika menarik busur panah diibaratkan sebagai usaha dan ikhtiar maksimal yang dilakukan. Saat membidik target ibarat kecermatan dan fokus usaha dalam mengapai tujuan. Sedangkan melepaskan anak panah diumpamakan bentuk kerelaan akan sesuatu tersebut. Entah baik atau buruk hasil yang diterima, keputusan mutlak berada di tangan Tuhan. Tugas kita hanya berusaha, tak sampai menerka apalagi berprasangka. Ketiga adalah Self Awareness (kesadaran diri) “Hidupmu hari ini adalah versi terbaik dirimu.” Kata Fahruddin Faiz dalam kegiatan Ngaji Filsafat “Filsafat Masa Depan: Seni Menghadapi Ketidakpastian”. Kesadaran diri merupakan bentuk mengidentifikasi diri sendiri, seperti karakter, emosi, bakat, kelebihan, kekurangan dan lain sebagainya. Dalam dunia Islam kita biasa mengenalnya dengan istilah muhasabah. Yakni usaha introspeksi dan koreksi sejauh mana keadaan diri kita saat ini. Maka, dengan mengetahui apa yang ada pada diri kita tentu membuat kita lebih mampu berpikir realistis dalam mengambil keputusan. Keempat adalah kontrol keinginan, terkadang banyaknya masalah disebabkan karena ketidaksesuaian dalam menentukan keinginan (tidak realistis). Mengontrol keinginan bukan berarti bersikap apatis lalu membatasi potensi, melainkan lebih dalam bersikap realistis dengan adanya tahapan yang semestinya dilalui dan terakhir adalah dikotomi kendali. Kita harus sadar jika ada dimensi yang bisa kita kendalikan dan dimensi yang tidak bisa kita kendalikan. Mayoritas dari kita masih terjebak pada sesuatu yang seharusnya memang tidak bisa dikontrol. Opini orang lain, tindakan orang lain, perasaan orang lain, hingga takdir adalah beberapa hal yang di luar kontrol kita. Hal tersebut kadang diperparah dengan mendramatisir masalah yang tengah dihadapi dan pikiran negatif yang meliat kemana-mana. Sedangkan realitanya tak demikian.

            Dikutip dari web sang penulis, Weiner menuturkan bahwa kebijaksanaan diraih salah satunya dengan berhenti sejenak. Dalam filsafat, hal tersebut sangat penting karena “berhenti sejenak” memiliki kekuatan yang sangat besar. “Setiap hari kita sempatkan berhenti sejenak, dan bertanya apakah hidup kita sudah menjalani hidup yang kita inginkan, Socrates mengatakan bahwa filsafat berawal dengan pertanyaan, dan pertanyaan diawali dengan berhenti dan berpikir untuk bertanya. Socrates juga  mengingatkan bahwa kita perlu menjaga kewarasan di tengah ketidakpastian. Selamat datang tahun 2024, kita persiapkan perencanaan terbaik di tengah persaingan dan seleksi alam yang kian ketat jika tidak ingin kita hadir sebagai pecundang dan kemudian punah ditelan masa (fsy)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar