Jumat, 20 September 2019

Mental Kontras






MENTAL KONTRAS
Oleh ; Febri Satria Yazid
*pemerhati sosial
          Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mental itu  bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.
          Selama ini kita sering mendengar atau membaca anjuran berpikir positif ,agar batin manusia tentram dalam menyikapi perjalanan kehidupan yang dilalui,karena ilmu yang mempelajari tentang batin dan watak manusia terus berkembang ( karena memang manusia mahluk unik, banyak variabel tentang manusia yang terus dipelajari ilmuwan ), belakangan ilmu psikolog justru menemukan adanya potensi masalah dengan anjuran berpikir positif tersebut,  justru menghambat manusia , dengan memperoleh hasil yang lebih buruk, karena merasa seolah olah sudah mencapai apa yang kita inginkan, padahal kita sedang ‘menipu’ pikiran dan ini berdampak melemahkan  keuletan manusia dalam berusaha mencapainya.
          Nasehat yang sering kita dapatkan ,’ tidak usah berpikir neqatif, ayo berpikir positif’,ajakan yang sudah sangat popular, bahkan lingkungan mencap buruk kepada mereka yang memikirkan sisi-sisi neqatif dari setiap hal yang hendak dilakukan.Apakah betul buruk sikap mental orang yang berpikir neqatif ,bukankah berpikir neqatif diperlukan untuk mengantisipasi persiapan diri dalam menghadapi kegagalan?
          Artikel di Newsweek menyatakan positif thinking justru menyebabkan sebagian orang gagal dan merasa depresi , jika tidak mencapai sesuatu hal yang diharapkan dan secara ‘implisit’ menyalahkan diri sendiri.
          Penulis artikel ‘the problem with positif thinking’ ,mengusulkan agar menggabungkan positif thinking yang membayangkan hasil yang diharapkan telah dicapai dengan neqatif thinking  memikirkan hambatan-hambatan yang bakal ditemui dalam proses  pencapaian , yang disebut  dengan Mental Contrasting. Penelitian menunjukkan peserta yang melakukan mental contrasting memperoleh pencapaian lebih baik. Pikiran yang berbeda akan menghasilkan sikap, perasaan, emosi, dan tindakan yang juga berbeda.

            Peristiwa yang terjadi, yang menimpa atau dirasakan oleh manusia membuatnya merasakan suatu perasaan tertentu, memiliki emosi tertentu, berpikir, dan memiliki kesan tertentu terhadap peristiwa itu. Saat kita berada di bawah kendali pikiran alami kita, tindakan destruktif terjadi manakala kita memaknai peristiwa secara salah. Persepsi kita mengenai persitiwa tertentu tidak akurat. Demikian juga saat kita berada di bawah kendali sistem kepercayaan. Tindakan destruktif terjadi manakala sistem kepercayaan itu menuntun kita memaknai peristiwa itu secara salah atau tidak akurat. Menurut Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky, mempertimbangkan suatu pemikiran dari segi keakuratan lebih penting ketimbang sekadar mempertimbangkannya dari segi positif atau negatif.
          Terkadang, pemikiran/ persepsi yang kita kira negatif dan destruktif justru merupakan pemikiran yang akurat. Sebaliknya, pemikiran/ persepsi yang kita kira positif dan konstruktif justru tidak akurat menurut konteks kejadian yang kita alami. Padahal, seringkali dalam menyikapi suatu peristiwa, pemikiran yang akurat sangat diperlukan, entah pemikiran itu terkesan negatif atau pun terkesan positif. Dalam kasus penderita depresi, pemikiran positif mengenai orang lain seringkali justru membuat si penderita semakin depresi. Mengira bahwa orang lain adalah orang yang pandai, penuh semangat hidup, memiliki banyak teman, dan sebagainya adalah pemikiran yang  tampak positif. Tetapi, bagi si penderita depresi, pemikiran seperti ini bisa membawa dampak negatif ketika ia membandingkan diri sendiri (yang dipandangnya secara negatif) dengan orang lain (yang dipandangnya secara positif).
          Berpikir positif kerap dianggap sebagai kunci kesuksesan, juga kebahagiaan. Padahal jika dilakukan dengan proporsi yang salah, atau tidak pada tempatnya, berpikir positif malah jadi beban. Begitu menurut Svend Brinkmann, seorang profesor psikologi di Aalborg University Denmark. Manusia diciptakan lengkap dengan sisi emosional berbeda pula. Tak jarang, emosi yang terpendam membuat orang jadi tidak apa adanya. Dengan kata lain, menambah beban pikiran sebab berpura-pura.Untuk itu, dibanding terus berpikir bahwa berpikir positif selalu yang terbaik, mengekspresikan perasaan dengan jujur lebih penting. Dr Brinkmann percaya kebenaran tersebut. "Pikiran dan emosi kita harus mencerminkan dunia. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, kita harus diizinkan untuk memiliki pikiran dan perasaan negatif, karena begitulah cara manusia memahami dunia," katanya.
          Bagaimana dengan agama yang pastinya menawarkan cara memperoleh kedamaian di dunia dan di akhirat ?mengapa Allah menjadikan manusia berbeda-beda, dalam berfikir, bertindak dan beragama ?.  Terkadang, perbedaan itu menjadikan kita sering berselisih dengan orang yang berbeda dengan kita. Berbagai perbedaan, terlebih perbedaan agama sering membuat kita ribut dengan penganut agama lain, terkadang menganggap jelek penganut agama lain. Bahkan dalam agama dan keyakinan yang sama saja,kita bisa mencari –cari perbedaan interpretasi, mahzab dan ritual untuk dipertengkarkan  ( terbentur label dan politik identitas ).Ahli tafsir Indonesia, Quraish Shihab menuturkan bahwa Allah sangat mampu untuk menjadikan semua manusia menjadi satu dan tidak berbeda-beda. Hanya saja Allah tidak berkehendak untuk itu. Allah menjadikan umat manusia berbeda adalah untuk melatih manusia memilih dan berprinsip. Sehingga hal itu menjadi sebuah keniscayaan yang diberikan Allah kepada seluruh umat manusia. Jika Allah menjadikan semua manusia sama, termasuk dalam hal agama, maka manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah. Memiliki pilihan, hidup dengan pilihan yang berbeda-beda adalah bagian dari kehidupan.
          Dengan ‘mental contrasting’, kita dapat berpikir lebih akurat , obyektif ,jauh dari kepura-puraan dan ‘menipu’ diri. Allah SWT memberi kemerdekaan kepada manusia untuk memilih dan berprinsip tanpa harus memanipulasi cara berpikir. (FSY)