Selasa, 02 September 2025

Etnosentrisme

 


Etnosentrisme: Antara Identitas Budaya dan Penghambat Harmoni Sosial

Oleh: Febri Satria Yazid 

Bangsa Indonesia baru saja merayakan Hari Kemerdekaannya. Sudah 80 tahun merdeka sebagai bangsa yang berdaulat, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan dapat hidup berdampingan dengan damai dalam ikatan yang kuat, dalam bingkai “ Bhinneka Tunggal Ika “. Keberagaman masyarakat Indonesia (suku, agama, budaya, bahasa) menjadi kekuatan bagi bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi yang tertuang dalam mukadimah Undang-undang Dasar tahun 1945. Dibalik kekuatan tersebut, potensi untuk terjadinya perpecahan siap mengancam jika pandangan etnosentrisme tidak kita kelola dengan baik, karena pandangan yang menilai budaya atau kelompoknya sendiri kebih unggul daripada budaya dan kelompok lain di NKRI jumlahnya cukup banyak.  Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Suku Jawa adalah kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlah yang mencapai 41% dari total populasi.  

Etnosentrisme adalah suatu pandangan atau sikap yang menilai budaya, tradisi, nilai, maupun identitas kelompok sendiri sebagai standar utama yang dianggap paling benar, paling unggul, dan lebih tinggi dibandingkan dengan budaya atau kelompok lain. Dalam cara pandang etnosentris, segala sesuatu yang berasal dari luar kelompok sering kali dipersepsi sebagai sesuatu yang kurang baik, salah, atau bahkan dianggap mengancam identitas kelompok sendiri. Istilah ethnocentrism pertama kali diperkenalkan oleh William G. Sumner pada tahun 1906. Ia menjelaskan bahwa etnosentrisme merupakan kecenderungan manusia untuk menilai budaya lain berdasarkan ukuran budaya sendiri. Hal ini muncul dari rasa bangga dan loyalitas terhadap kelompok, namun sering berkembang menjadi sikap menutup diri dan menolak keberagaman. Akibatnya, budaya yang berbeda sering dianggap lebih rendah, salah, atau bahkan tidak beradab.

Dalam kehidupan bermasyarakat, etnosentrisme sering muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, prasangka atau stereotip terhadap kelompok lain, fanatisme yang berlebihan terhadap suku, ras, agama, atau tradisi tertentu, hingga diskriminasi sosial yang membatasi interaksi antar individu maupun antar kelompok. Pada dasarnya, etnosentrisme adalah fenomena sosial yang wajar. Setiap orang tumbuh dalam lingkungan budaya masing-masing, sehingga secara alami cenderung menganggap budaya sendiri lebih baik atau lebih benar dibandingkan budaya lain. Namun, jika sikap ini tidak diimbangi dengan keterbukaan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan, etnosentrisme dapat berubah menjadi sumber konflik serta perpecahan, terutama dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Pernyataan bahwa “kedekatan etnis merupakan bentuk ikatan yang primitif” biasanya dikaitkan dengan pandangan klasik dalam sosiologi dan antropologi evolusioner, diungkapkan oleh Emile Durkheim (1858–1917). Dalam karyanya The Division of Labour in Society (1893), Durkheim menyebut bentuk ikatan sosial yang didasarkan pada kesamaan (misalnya etnis, tradisi, dan kepercayaan) sebagai “solidaritas mekanis”. Solidaritas ini dianggap masih sederhana/“primitif” karena kohesi sosial hanya bertumpu pada keseragaman, bukan diferensiasi fungsi seperti pada masyarakat modern yang disebutnya “solidaritas organis”. Ferdinand Tönnies (1855–1936). Dalam karyanya Gemeinschaft und Gesellschaft (1887), Tönnies membedakan antara Gemeinschaft (paguyuban) yang berbasis kedekatan emosional, kekerabatan, dan etnis, dengan paguyuban yang lebih modern, rasional, dan impersonal. Gemeinschaft sering diasosiasikan sebagai bentuk ikatan sosial “tradisional” atau “primitif”. Oleh karena itu, membahas dampak etnosentrisme terhadap kehidupan sosial dan pembangunan bangsa menjadi sangat penting. Di era sekarang, ketika persatuan nasional sedang diuji oleh berbagai kepentingan, sikap etnosentrisme yang tidak terkendali dapat memperlebar jurang perbedaan, menghambat kerjasama, serta merusak semangat persaudaraan dan persatuan yang menjadi fondasi bangsa.

Rasa bangga berlebihan terhadap kelompok sendiri, sehingga muncul perasaan eksklusif dan menutup diri. Stereotip dan prasangka terhadap kelompok lain, misalnya menilai kelompok tertentu malas, keras kepala, atau tidak cerdas dan menempatkan diri bahwa kelompok mereka yang paling rajin, beradab dan paling cerdas. Penolakan terhadap perbedaan, yang tampak dalam sikap enggan bergaul, menolak bekerja sama, atau bahkan memusuhi kelompok berbeda. Faktor penyebab munculnya etnosentrisme adalah pendidikan yang kurang menanamkan wawasan multikultural. Sejarah konflik antar kelompok yang meninggalkan luka kolektif. Lingkungan sosial yang homogen, sehingga kurang terbiasa dengan perbedaan. Penyebab lainnya adalah faktor politik, ketika identitas etnis atau agama dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan atau kekuasaan dengan cara memprovokasi kelompok tertentu.

Dampak positif dari etnosentrisme dapat memperkuat identitas budaya dan solidaritas kelompok, sehingga tradisi tetap terjaga. Menumbuhkan rasa cinta dan loyalitas terhadap budaya sendiri, yang menjadi modal dalam pelestarian warisan budaya. Sebaliknya perilaku etnosentrisme ini juga mempunyai dampak negatif, menimbulkan diskriminasi dan konflik antar kelompok yang berujung pada perpecahan sosial. Menghambat integrasi sosial dan persatuan bangsa, karena lebih mengutamakan identitas kelompok daripada kepentingan bersama. Mengurangi toleransi dan sikap terbuka terhadap perbedaan, sehingga menghalangi terciptanya masyarakat yang harmonis yaitu masyarakat inklusif, yang mampu menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan sumber konflik.

Konflik horizontal antar etnis atau agama di beberapa daerah, misalnya kerusuhan sosial yang dipicu perbedaan identitas kelompok. Praktik diskriminasi dalam pekerjaan atau pergaulan berdasarkan asal daerah, suku, atau bahasa. Fanatisme kelompok yang menganggap budayanya paling benar sehingga menolak keberadaan budaya lain. Contoh etnosentrisme dalam lingkup global, rasisme di berbagai negara, di mana kelompok kulit putih merasa lebih superior dibanding ras lain. Kolonialisme, ketika bangsa Barat menjajah bangsa Timur dengan dalih membawa peradaban. Supremasi budaya, seperti anggapan bahwa budaya Barat lebih modern dan patut dijadikan standar kehidupan. 

Beberapa hal yang perlu perhatian dan tindakan dalam menjaga perilaku etnosentrisme ini berada pada porsi yang tepat dan proposional adalah perlunya pendidikan multikultural, untuk menanamkan pemahaman sejak dini bahwa semua budaya memiliki nilai dan keunikan masing-masing. Dialog lintas budaya dan agama dilakukan guna memperkuat komunikasi, saling pengertian, dan kerja sama antar kelompok. Peran media dan literasi sangat penting, dengan menyajikan informasi yang adil dan berimbang sehingga tidak memperkuat stereotip negatif. Kebijakan pemerintah untuk mengkampanyekan kepada masyarakat berbagai program, seperti program pembangunan inklusif, perlindungan minoritas, serta penguatan semboyan  “berbeda-beda tetapi tetap satu jua.”. Pada tatanan kelompok terkecil yaitu keluarga agar menjalankan perannya dalam masyarakat, yang menjadi lingkungan pertama untuk menanamkan sikap toleransi, menghormati perbedaan, dan mengajarkan hidup rukun.

Etnosentrisme adalah fenomena sosial yang wajar, karena setiap orang tumbuh dalam budaya yang membentuk identitas dirinya. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, etnosentrisme dapat berkembang menjadi sikap yang merusak persatuan. Oleh sebab itu, penting untuk membangun kesadaran kolektif: bangga pada budaya sendiri tanpa harus merendahkan budaya lain. Harapannya, masyarakat Indonesia dapat semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan. Dengan semangat toleransi, inklusivitas, dan penghargaan terhadap keberagaman, bangsa ini akan mampu membangun kehidupan yang harmonis, damai, dan beradab. Dirgahayu Republik Indonesia(fsy)