Sabtu, 25 Januari 2025

"Mom Shaming" dan Kesehatan Metal Ibu

 

“Mom Shaming” dan Kesehatan Mental Ibu

Oleh ; Febri Satria Yazid

*pemerhati sosial

            Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, meluncurkan program makanan bergizi bagi anak-anak usia sekolah dasar. Program ini merupakan salah satu upaya strategis untuk menciptakan generasi muda yang sehat, cerdas, dan produktif, sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045. Program ini dirancang untuk memastikan semua anak di sekolah dasar memiliki akses ke makanan bergizi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan optimal.  Nutrisi yang baik berkontribusi pada kemampuan kognitif anak (kegiatan mental yang membuat individu bisa menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu peristiwa), sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi dan prestasi belajar.  Dengan memberikan akses yang sama ke makanan bergizi, program ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan gizi di seluruh Indonesia.

            Selain bertujuan meningkatkan gizi anak-anak usia sekolah, program makanan bergizi yang dilaksanakan pemerintah pada tahun 2025 juga memiliki dampak sosial yang signifikan, yaitu membantu meredam gejala “mom shaming”. Mom shaming adalah perilaku mempermalukan atau menghakimi ibu lain atas cara mereka mengasuh anak, yang sering kali membuat ibu merasa bersalah dan merasa usahanya tidak cukup baik, khususnya dalam hal pemenuhan gizi anak. Fenomena “mom shaming” merujuk pada tindakan mempermalukan, mengkritik, atau menghakimi seorang ibu atas cara mereka mengasuh anak-anaknya. Perilaku ini sering kali muncul dalam bentuk komentar negatif, baik secara langsung maupun melalui media sosial, yang menyiratkan bahwa seorang ibu tidak cukup baik dalam mengurus anak-anaknya. Hal ini mencakup kritik terhadap berbagai aspek, seperti cara mendidik, pemenuhan gizi, gaya pengasuhan, hingga pilihan pribadi yang diambil seorang ibu, misalnya bekerja atau menjadi ibu rumah tangga.

            Program ini dilaksanakan secara bertahap mulai awal tahun 2025, dengan target mencakup seluruh siswa sekolah dasar di Indonesia pada akhir tahun. Pemerintah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan sektor swasta untuk memastikan distribusi makanan yang efektif dan berkualitas. Makanan yang disediakan disesuaikan dengan kebutuhan gizi anak-anak usia sekolah, mengacu pada standar kesehatan nasional. Anak-anak dari berbagai latar belakang sosial dapat memperoleh makanan bergizi yang sama, sehingga meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup mereka, membantu meringankan beban orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, terutama bagi keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dengan akses makanan bergizi, program ini diharapkan mampu menurunkan angka stunting di Indonesia, yang masih menjadi tantangan besar dalam sektor kesehatan.   

            Di masyarakat, mom shaming sering kali terjadi tanpa disadari. Perilaku ini bisa muncul dalam perbincangan sehari-hari atau perbandingan antar ibu, seperti membandingkan kesehatan anak berdasarkan berat badan, prestasi di sekolah, atau pola makan. Tekanan sosial untuk memenuhi standar tertentu membuat banyak ibu merasa bersalah, tidak percaya diri, bahkan mengalami stres atau gangguan mental. Mom shaming tidak hanya melukai perasaan ibu yang menjadi target, tetapi juga dapat memengaruhi hubungan antara ibu dan anak, serta dinamika keluarga secara keseluruhan.

            Fenomena ini mencerminkan adanya budaya kompetisi dan kurangnya empati dalam masyarakat, yang memperparah beban emosional seorang ibu. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan edukasi tentang pentingnya mendukung ibu tanpa menghakimi, sehingga mereka dapat menjalankan perannya dengan percaya diri dan penuh kasih sayang.

            Mom shaming dapat memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan mental ibu. Ketika seorang ibu merasa dihakimi atau dipermalukan atas pilihan atau cara pengasuhannya, hal ini dapat memicu berbagai gangguan psikologis. Ibu yang sering menjadi korban mom shaming cenderung meragukan kemampuannya dalam mengasuh anak. Kritikan yang terus-menerus dapat membuatnya merasa tidak kompeten, meskipun ia telah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Mom shaming sering kali memicu rasa bersalah yang tidak proporsional. Ibu merasa bahwa apa yang telah dilakukannya selalu kurang atau salah, sehingga beban emosionalnya semakin berat.

            Kritik sosial yang terus-menerus dapat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan seorang ibu. Ibu mungkin merasa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis yang diciptakan oleh masyarakat atau media sosial. Dalam kasus yang lebih parah, mom shaming dapat memicu atau memperburuk depresi. Ibu yang merasa dihakimi mungkin merasa terisolasi, kehilangan motivasi, dan mengalami kesedihan yang mendalam. Tekanan psikologis akibat mom shaming dapat memengaruhi cara ibu berinteraksi dengan anak-anaknya. Rasa stres dan frustrasi dapat menyebabkan ibu menjadi kurang sabar atau emosional, yang pada akhirnya dapat memengaruhi hubungan mereka.

             Ibu yang sering menjadi sasaran mom shaming mungkin menarik diri dari lingkungan sosial karena takut dihakimi. Hal ini dapat memperburuk perasaan kesepian dan kurangnya dukungan sosial. Kombinasi dari tekanan sosial, tanggung jawab pengasuhan. Ibu merasa kelelahan secara fisik, mental, dan emosional sehingga kesulitan menjalankan perannya dengan baik. Untuk mengurangi dampak ini, penting bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, penuh empati, dan bebas dari penghakiman. Selain itu, ibu juga perlu mendapatkan akses ke sumber daya kesehatan mental, seperti konseling atau dukungan komunitas, untuk membantu mereka mengatasi tekanan akibat mom shaming.

            Dengan adanya program makanan bergizi, pemerintah memberikan akses yang merata kepada seluruh anak sekolah dasar di Indonesia untuk mendapatkan nutrisi yang seimbang. Hal ini secara tidak langsung membantu mengurangi tekanan pada ibu, khususnya dari kalangan keluarga kurang mampu, yang sebelumnya mungkin merasa disalahkan atau dinilai tidak cukup cakap dalam memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka.

            Selain itu, banyak perilaku di masyarakat, baik yang disadari maupun tidak, memperburuk situasi ini. Contohnya adalah membandingkan kesehatan anak berdasarkan berat badan, tinggi badan, atau kondisi fisik lainnya yang sering dikaitkan dengan kecukupan gizi. Perbandingan ini semakin nyata ketika ibu membawa anak-anak mereka ke posyandu dan menerima kartu sehat, yang kadang menjadi alat pembanding antar keluarga. Ibu yang anaknya dianggap kurang sehat sering kali menjadi sasaran komentar negatif atau pandangan merendahkan dari lingkungan sekitar.

            Dengan adanya program nasional ini, diharapkan tidak ada lagi perbedaan mencolok dalam pemenuhan gizi anak, sehingga mom shaming terkait gizi dapat diminimalkan. Selain itu, langkah ini juga dapat mengedukasi masyarakat untuk lebih memahami pentingnya mendukung satu sama lain, alih-alih saling menghakimi. Pemerintah, melalui program ini, tidak hanya memastikan anak-anak mendapatkan nutrisi terbaik, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya lingkungan sosial yang lebih suportif bagi para ibu.

            Mom shaming adalah perilaku mengkritik, menyalahkan, atau merendahkan seorang ibu atas pilihan atau cara ia mengasuh anaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk melalui media sosial. Contohnya mencakup komentar tentang metode menyusui, pola asuh, karier, hingga penampilan fisik ibu. Perilaku ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental ibu. Ibu sering merasa tertekan, cemas, bahkan kehilangan rasa percaya diri akibat tekanan sosial untuk menjadi "ibu sempurna." Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu stres kronis, depresi pasca melahirkan.

             Tindakan yang merugikan mental ibu harus dihindari. Dukungan, empati, dan pengertian dari lingkungan sekitar sangat penting untuk membantu ibu menjaga kesehatan mentalnya dan menjalankan peran sebagai orang tua dengan lebih percaya diri.(fsy)

 

 

 

 

Selasa, 07 Januari 2025

Memahami Fenomena "Playing Victim" dan Dampaknya

 

Memahami Fenomena  “Playing Victim”  dan Dampaknya

Oleh ; Febri Satria Yazid

·         Pemerhati Sosial

                Playing victim adalah perilaku di mana seseorang berpura-pura atau melebih-lebihkan perannya sebagai korban dalam suatu situasi, meskipun sebenarnya ia tidak sepenuhnya berada di posisi tersebut. Tujuan utama dari perilaku ini sering kali untuk mendapatkan simpati, perhatian, pembelaan, atau bahkan untuk menghindari tanggung jawab atas kesalahan atau situasi yang sebenarnya ia ciptakan dengan menyalahkan orang lain atas masalah yang ia alami. Selain itu, ia tidak mau menerima kritik atau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan,  justru memosisikan diri sebagai pihak yang dirugikan. Ia juga menggunakan rasa kasihan orang lain untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri, seperti perhatian atau pembelaan. Selain itu ia selalu merasa bahwa dirinya diperlakukan tidak adil, meskipun kenyataannya tidak demikian. Kehidupannya penuh dengan drama yang sensasional.

            Perilaku “playing victim”, bisa disebabkan oleh trauma masa lalu dengan beberapa faktor penyebab  yang memengaruhinya seperti pernah mengalami kekerasan fisik, emosional, atau penelantaran mungkin merasa bahwa menjadi korban adalah bagian dari identitasnya. Hal ini bisa berasal dari rasa tidak berdaya yang dialami selama trauma. Bisa juga disebabkan oleh rasa ketidakadilan yang belum terselesaikan, trauma yang tidak diakui atau tidak mendapatkan resolusi sering menimbulkan perasaan bahwa dunia tidak adil. Individu merasa harus selalu melindungi diri dengan menunjukkan bahwa mereka adalah korban.

            Trauma menciptakan pola pikir defensif sebagai cara melindungi diri dari ancaman lebih lanjut. Dengan memosisikan diri sebagai korban. Trauma masa lalu dapat mengubah cara seseorang melihat dunia. Beberapa distorsi yang umum adalah pandangan dunia sebagai tempat yang berbahaya. Individu merasa semua orang berpotensi menyakitinya, sehingga yang bersangkutan lebih mudah merasa "diserang."

Hal lain yang dirasakan oleh “playing victim” adalah rasa rendah diri yang mendalam, merasa tidak mampu atau tidak layak, sehingga menggunakan peran korban sebagai cara untuk mendapatkan penerimaan.

            Untuk mengatasi perilaku "playing victim" akibat trauma, diperlukan pendekatan yang mendalam terhadap penyebab trauma dengan melakukan terapi psikologis, konseling atau terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yaitu pendekatan psikoterapi yang terstruktur dan berbasis bukti yang dirancang untuk membantu individu mengidentifikasi, memahami, dan mengubah pola pikir serta perilaku yang negatif atau tidak sehat. CBT berfokus pada hubungan antara pikiran, perasaan, dan tindakan, dengan tujuan membantu individu mengatasi masalah emosional dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Pikiran negatif dapat memengaruhi perasaan dan perilaku seseorang. Misalnya, keyakinan seperti "Saya tidak cukup baik" dapat menyebabkan perasaan sedih atau tidak berdaya, yang kemudian memengaruhi tindakan, seperti menarik diri dari interaksi sosial. Dengan pemahaman yang lebih baik dan dukungan yang tepat, individu yang menunjukkan perilaku "playing victim" akibat trauma masa lalu dapat belajar untuk mengatasi luka mereka dan membangun hubungan yang lebih sehat.     

            Fenomena playing victim memiliki relevansi yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan pribadi maupun profesional, karena perilaku ini dapat memengaruhi dinamika hubungan antar individu, suasana kerja, dan kualitas interaksi sosial secara keseluruhan. Dalam hubungan keluarga, persahabatan, atau asmara, perilaku playing victim dapat memicu konflik yang dapat meluas. Seseorang yang selalu memosisikan dirinya sebagai korban sering kali menyalahkan pihak lain, sehingga menimbulkan ketegangan. Orang yang mempraktikkan playing victim sering menggunakan rasa kasihan untuk memanipulasi pasangan atau anggota keluarga dan teman kerja, yang dapat menyebabkan ketidakadilan emosional bagi pihak lain. Kebiasaan berpura-pura menjadi korban dapat membuat orang di sekitarnya kehilangan kepercayaan, sehingga hubungan menjadi tidak sehat.

            Dalam dunia kerja, seorang rekan yang sering playing victim cenderung menghindari tanggung jawab atas tugas yang tidak terselesaikan. Hal ini dapat meningkatkan beban kerja anggota tim lain dan menurunkan produktivitas secara keseluruhan. Perilaku ini dapat menciptakan suasana kerja yang penuh drama, di mana konflik dan kesalahpahaman sering terjadi akibat pola komunikasi yang manipulative

             Jika playing victim menjadi pola umum dalam suatu komunitas, masalah yang sebenarnya membutuhkan tanggung jawab kolektif cenderung tidak terselesaikan, karena setiap individu lebih sibuk mencari simpati daripada solusi. Fenomena ini dapat menimbulkan skeptisisme di masyarakat. Orang menjadi lebih sulit membedakan antara korban sejati dan mereka yang hanya berpura-pura, yang pada akhirnya dapat mengurangi empati terhadap korban yang sebenarnya.

            Penting memahami relevansi ini untuk  mengetahui kesadaran diri, agar seseorang dapat mengenali apakah dirinya atau orang lain terjebak dalam pola ini. Dengan memahami dampaknya, individu dapat berupaya untuk membangun hubungan yang lebih jujur dan saling mendukung. Mengatasi perilaku playing victim membantu menciptakan lingkungan pribadi dan profesional yang lebih positif dan produktif. Memahami relevansi playing victim bukan hanya membantu individu untuk menghindari perilaku ini, tetapi juga untuk menghadapi orang yang melakukannya dengan cara yang konstruktif, karenanya penting untuk  memahami perilaku playing victim untuk menjaga hubungan sosial yang sehat.

            Beberapa dampak bagi  pelaku playing victim adalah ia akan kehilangan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya, kesulitan memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Sedangkan bagi korban  (orang yang dimanipulasi) akan muncul perasaan frustrasi, lelah secara emosional, dan kehilangan rasa percaya, terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat. Sementara itu bagi lingkungan sosial  bisa berdampak  terjadinya konflik dan perpecahan dalam kelompok atau komunitas.

            Diperlukan cara yang tepat untuk menghadapi dan mengatasi playing victim oleh diri sendiri dengan metode melakukan introspeksi dan meningkatkan kesadaran diri. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah. Jika sudah berada pada situasi akut, perlu mencari bantuan profesional, seperti konselor atau psikolog, jika diperlukan. Bagi yang menghadapi pelaku playing victim diperlukan sikap yang tetap tenang dan tidak terpancing emosi dan menetapkan batasan yang jelas serta memberikan dukungan tanpa memanjakan perilaku manipulatif.

        “Menjadi korban bukanlah kelemahan, tetapi berpura-pura menjadi korban hanya akan melemahkan dirimu dan hubunganmu dengan orang lain”.  Berhentilah terjebak dalam peran korban yang semu hadapi kenyataan dengan keberanian, karena hanya dengan menerima tanggung jawab, kita dapat menemukan kekuatan sejati dan membangun hubungan yang lebih harmonis.(fsy)